Ersya bergabung di perusahaan keluarganya sejak ia berhasil menamatkan pendidikan S2-nya di Jerman. Di tahun pertama bekerja di kantor, saat itu usianya masih 24 tahun, ia menjabat sebagai staff biasa. Setahun kemudian, ia diangkat menjadi Kepala Bagian Produksi, hingga akhirnya di usia 27 tahun ia mendapat kepercayaan sebagai salah satu direktur di perusahaan tersebut.
Waktu tiga tahun terbilang cukup singkat bagi seseorang hingga akhirnya ia sampai di kursi direktur. Namun, hal itu terjadi bukan saja karena dia merupakan anak direktur utama sekaligus pemegang saham terbesar perusahaan tempatnya bekerja. Perjuangan Ersya yang berani memulai dari bawah juga harus diacungi jempol. Di masa tiga tahun perjuangannya itu, ia benar-benar melakukan perannya tanpa bayang latar belakang keluarga. Bahkan kebanyakan pegawai tidak tahu jika Ersya adalah calon pewaris perusahaan tempat mereka bekerja.
Dan berkat pengalaman yang luar biasa itu, Ersya sering kali diundang menjadi pembicara dalam sebuah seminar. Salah satunya adalah sebuah seminar yang ditujukan untuk para mahasiswa baru di sebuah kampus, dua tahun yang lalu - saat Ersya baru beberapa bulan menduduki kursi direktur.
"Seperti berita yang saya dengar. Anda memang sangat luar biasa, Pak Ersya. Saya paling salut saat mendengar perjuangan Anda semasa mengenyam pendidikan S2 di Jerman. Saya pikir, Anda memang dikirim Ayah Anda untuk berkuliah di sana. Tapi ternyata itu semua berkat usaha dan kegigihan Anda mencari beasiswa sendiri," ujar seorang dosen, setelah Ersya selesai memberikan materi.
"Ya. Saat itu Ayah saya menginginkan saya mengambil jurusan bisnis di kampus terkemuka di US. Tapi saya nekat daftar beasiswa di Jerman karena saat itu saya sedang sangat suka mempelajari bahasa negara tersebut. Dan ternyata, saya lolos," balas Ersya.
"Saya hanya ingin menanamkan di pikiran mereka - mumpung mereka baru saja masuk ke dunia perkuliahan, kalau di mata pendidikan, semua punya kesempatan yang sama untuk maju. Ada banyak beasiswa di dunia ini, dengan beragam ketentuan yang berbeda-beda. Dan mungkin beberapa di antaranya, seharusnya bisa mereka perjuangkan sejak dini," imbuh Ersya.
"Tidak salah kami mengundang Anda di acara seminar kali ini. Ya ... walau memang harus menunggu cukup lama, tapi hasilnya sepadan. Saya yakin, ilmu yang Anda berikan akan sangat bermanfaat bagi para anak didik di sini," ucap dosen tadi.
Ersya mengangguk dan tersenyum. Tak lama setelah itu, ia pamit mengundurkan diri. Ia berjalan keluar di antar beberapa staff sambil mengobrol ringan. Sesekali, ia menatap sekeliling melihat beberapa mahasiswa yang berlalu-lalang hingga tatapannya terkunci ke arah satu titik.
Langkah Ersya memelan - merasa sayang jika ia melewatkan pemandangan itu terlalu cepat.
"Ada apa, Pak?" tanya seorang staff saat menyadari perubahan jalan Ersya.
Ersya tersenyum tipis dengan tatapan tak beralih sedikit pun.
"Yang lagi makan sama anak kecil itu, mahasiswi sini juga, kan? Kalau tidak salah dia tadi hadir dalam seminar," Ersya bertanya.
"Oh ... iya, Pak. Dia mahasiswi baru di kampus ini. Dan yang bersamanya itu anak OB di sini. Saya juga nggak tahu kenapa mereka bisa makan bareng di sana," jawab staff tersebut.
"Anak OB?"
"Iya. Kan anak sekolah sedang libur. Dia jadi ikut ayahnya ke sini. Memang udah beberapa kali begitu sampai ayahnya pernah kena tegur juga," terang staff tersebut.
Ersya menghentikan langkahnya. Ia semakin fokus menatap gadis manis yang tampak akrab dengan anak kecil itu. Mereka makan berdua di taman - memakan makanan cepat saji dengan merk yang cukup terkenal di Indonesia.
"Bagaimana, Pak Ersya?"
"Ah ... saya mau berkeliling sebentar. Mulai dari sini, saya bisa jalan sendiri. Tidak perlu diantar," ucap Ersya.
Staff kampus yang menemaninya pun tidak membantah. Dia segera pamit pergi, membiarkan Ersya dengan kesibukannya saat ini.
'Bukankah tadi dia juga sempat bertanya saat seminar? Kalau tidak salah, namanya ... Sora?' Ersya ragu. Namun satu nama itu sempat terlintas di pikirannya.
Ersya berjalan mendekat. Berpura-pura melewati jalan di sekitar taman. Entah apa yang sebenarnya terjadi hingga ia tampak begitu penasaran dengan gadis yang ia duga bernama Sora itu.
Bukan hanya karena parasnya yang menawan. Namun, ada hal menarik lain yang membuat Ersya tak bisa mengalihkan tatapannya sedikit pun dari gadis itu.
"Enak banget, Kak! Makasih ya, udah beliin aku ini. Seumur-umur aku baru makan ini sekali. Dan ternyata rasanya memang enak," ucap anak lelaki yang makan bersama Sora.
"Iya iya. Cepat habiskan! Besok lagi, janji ya, jangan paksa Ayah kamu buat membeli sesuatu kalau Ayah kamu memang lagi nggak ada uang! Toh ayah kamu pasti akan membelinya kalau dia lagi ada rezeki lebih," balas Sora.
"Ya habisnya, Ayah kan udah janji bakal beliin aku makanan kayak gini kalau aku peringkat satu. Tapi pas aku minta, Ayah malah nggak jadi beli. Aku kan kesal," adu anak itu pada Sora.
"Kan Ayah kamu udah bilang alasannya. Besok lagi nggak boleh begitu, ya! Harus jadi anak baik! Semua orang tua pasti akan berusaha mati-matian untuk membahagiakan anaknya. Jadi, kalau saat itu ayah kamu bilang nggak ada uang, berarti beliau memang lagi nggak ada uang. Jangan kamu marah!" Sora memberi nasihat.
Anak kecil itu mengangguk, lalu menunduk sedih. "Aku jadi merasa bersalah sama Ayah."
"Nggak apa-apa. Nanti kamu minta maaf, ya! Nanti Kakak antar. Sekalian nanti kamu ikut Kakak jalan yuk! Sama teman-teman Kakak yang tadi," ajak Sora.
"Ke mana, Kak?"
"Ke mall, mau? Nanti kita cari tas sama sepatu baru buat kamu. Sebagai hadiah karena kamu berhasil mendapat peringkat satu," jawab Sora.
"Wah ... serius, Kak?!"
Ersya tertegun mendengar percakapan mereka. Ternyata selain cantik, cerdas dan aktif, gadis itu juga memiliki hati yang mulia. Hanya sebuah aksi sederhana, tetapi bagi Ersya itu memiliki arti yang luar biasa.
'Bagaimana mungkin ada gadis sesempurna itu di dunia ini?' batinnya.
Apakah artinya, Ersya telah jatuh cinta pada pandangan pertama?
Sepertinya selama ini ia terlalu sibuk dengan kariernya, hingga tutup mata pada para gadis di sekelilingnya. Namun hal sederhana yang ia lihat dari sosok mahasiswa baru yang tadi hadir di seminarnya itu, telah membuat Ersya serasa masuk ke dunia lain - dunia yang asing.
Ersya pikir, perasaannya kala itu hanya rasa kagum yang akan bertahan sementara. Namun ternyata, ia salah. Minggu demi minggu berlalu. Namun paras dan suara gadis itu tak pernah bisa lenyap dari otak Ersya.
"Sora Quinza? Nama yang indah," gumam Ersya.
Ia baru saja mencari tahu tentang gadis itu. Dan ternyata, semakin dalam menggali, Ersya justru semakin terperangkap dalam pesona gadis yang baru berusia 19 tahun tersebut.
"Apa aku harus menemuinya? Kira-kira akan seperti apa responsnya jika orang asing sepertiku tiba-tiba mengajaknya berkenalan?" lirih Ersya.
Ersya yang selama ini hanya tahu tentang dunia pendidikan dan pekerjaan, tidak tahu bagaimana cara memulai hubungan yang baik dengan seorang gadis. Ia merasa begitu payah. Bahkan menyapa gadis yang ia suka pun, ia tidak tahu caranya.
Ia terkekeh. "Dia masih berusia sembilan belas, sedangkan aku adalah direktur berusia dua puluh tujuh tahun. Kalau tiba-tiba aku mengajaknya berkenalan, mungkin dia akan berpikir kalau aku adalah om-om hidung belang yang sedang mencari sugar baby."
“Pak Ersya... pak,” sebuah seruan mengembalikan Ersya dari lamunan. Sebuah kenangan di masa lalu, kenangan awal ia mengenal Sora.
“Sorry, saya melamun...” bisik Ersya.
Seseorang yang tengah bersamanya, sopir sekaligus Personal asistennya mengangguk tak masalah, “kita sudah sampai di rumah.”
Ersya menoleh ke luar kaca mobil memang sudah sampai, tepat itu bersamaan pandangannya jatuh pada Sora yang tengah berjalan melewati pintu. Dengan pakaian santai sebuah T-shirt ketat yang bahkan jika ia mengangkat tangan akan memperlihatkan perutnya, juga celana di atas lutut.
Dia Sora yang sama, yang pertama kali menarik perhatiannya saat Seminar beberapa tahun lalu di kampus. Namun, saat ini ada yang jelas sangat berbeda. Jika dulu Sora sangat manis, kini dia bertingkah sangat nakal, bar-bar dan juga sesuka hati. Perubahan yang Ersya tahu tercipta oleh bentuk kecewanya pada ujian hidup setelah kehilangan Ibunya lalu sang Ayah menikah lagi dengan perempuan muda yang tak lain asisten ibunya.
“Besok malam Ayah mertua saya mengundang makan malam.”
“Bapak ragu untuk memberitahu Sora?” tanya Personal asistennya yang juga tahu.
Ia mengangguk, tepat “ya, hubungan Sora dan ayahnya semakin memburuk sejak pernikahan ini terjadi. Sora menolak komunikasi dengan ayahnya. Apalagi ikut makan malam.”
“Tapi, Pak... menolak ajakan Ayahnya sora pun tidak enak. Beliau pasti sangat berharap Pak Ersya dan Nona Sora bisa datang.”
Ersya kembali menarik napas dalam, kemudian tangannya menyentuh pintu, “saya akan bicara dan memaksanya untuk ikut.”
Tidak ada pilihan, Ersya kini suami Sora juga seorang menantu. Satu-satunya harapan yang mungkin ia bisa lakukan sesuatu agar hubungan Ayah dan Sora membaik lagi meski dengan cara memaksa yang tak akan Sora sukai.
Pada dasarnya Sora adalah gadis manis yang ia kenal dulu, Ersya yakin cepat atau lambat, meski sulit bisa membuat Sora kembali menjadi seperti dulu.