“Sora... Sora Quinza!”
Panggilan pertama yang menyebut namanya bahkan dengan lengkap tidak gadis itu hiraukan. Ia pura-pura tuli.
"Kamu mau ke mana dengan pakaian seperti itu?!" Lagi dengan nada teguran yang jelas. Hingga akhirnya terpaksa Sora menghentikan langkah saat mendengar suara tersebut. Ia pikir, 'orang itu' belum pulang.
"Bukan urusan kamu!” Jawab Sora dengan nada jengkel tanpa perlu bersikap baik.
Sebenarnya, ia cukup terkejut dengan keberadaan 'orang itu'. Bukankah akhir-akhir ini dia sering lembur? Kenapa tiba-tiba sekarang pulang cepat?
"Aku suami kamu. Jadi, jelas aku berhak tahu mau ke mana istriku pergi menjelang malam begini. Apalagi dengan pakaian seperti itu," konsisten dengan tegurannya, dia yang mengaku sebagai 'suami' Sora.
Sora menoleh dengan tatapan malasnya. Ia menatap ke bawah, ke arah pakaiannya. Padahal, ia pikir tidak ada yang salah dengan pakaiannya saat ini.
"Aku cuma mau ke pesta pertunangan teman aku. Kenapa? Mau ngelarang, karena kamu merasa kamu berhak - sebagai suami aku?!" kesal Sora.
"Tunangan? Siapa? Kenapa nggak memberitahu atau bahkan mengajak aku kalau kamu ada acara malam seperti ini?"
"Ngajak kamu? No way! Kamu gila?! Yang ada teman-temanku akan tahu kalau aku sudah nikah. Nggak! Nggak mau." Sora menolak mentah-mentah tawaran 'suaminya' itu.
Sedangkan pria bernama Ersya itu hanya menggeleng-gelengkan kepalanya. Sudah hampir dua bulan mereka menikah, tetapi Sora masih saja belum berubah. Sora masih menjadi gadis yang sulit diatur.
Gadis? Ya. Jangankan melakukan hubungan suami-istri. Mengakui Ersya sebagai suaminya saja Sora tidak mau.
Namun, merupakan sebuah keajaiban besar bagi Sora, dapat menemukan pria dengan kesabaran yang luar biasa seperti Ersya.
"Pintunya kok dikunci?" bingung Sora, ketika ia gagal membuka pintu utama rumahnya.
"Sudah mau malam. Aku pikir kamu tidak akan ke mana-mana lagi," jawab Ersya. Dari jawaban Ersya, Sora yakin pria itu yang telah mengunci pintu rumah mereka.
"Ya sudah, mana kuncinya!" Sora menyodorkan tangannya. Siap menerima kunci dari Ersya. Namun, lelaki itu malah menatapnya datar dan tidak menunjukkan tanda akan segera menyerahkan kuncinya.
Sora berjalan mendekat, masih dengan tangan terulur ke depan. "Mana kuncinya? Udah telat nih!"
"Aku nggak mengizinkan kamu pergi malam sendirian!" balas Ersya dingin. Lelaki itu segera meninggalkan Sora yang masih menatapnya dengan kesal.
"Hah?!" Otak Sora terlalu lama memproses respons menjengkelkan dari Ersya. "Ish, maksud kamu apaan sih? Kok mulai berani ngelarang-ngelarang aku?!" Sora protes sambil berusaha menyusul langkah lebar Ersya.
"Ya berani aja. Aku kan suami kamu. Aku yang bertanggung jawab atas diri kamu. Termasuk soal keselamatanmu," balas Ersya santai.
"Apa banget deh? Orang cuma mau ke pesta tunangan teman! Nggak akan tiba-tiba ada penembakan massal juga di sana," oceh Sora.
Namun, Ersya tetap tidak peduli. Ia melanjutkan langkahnya, dan baru berhenti saat ia sampai di depan pintu. Ia menoleh ke belakang - ke arah Sora hingga membuat gadis itu terkejut dan mengerem mendadak.
"Kamu-"
"Mau terus ikuti aku? Kalo gitu, silakan!" Ersya membuka pintu kamarnya setelah ia memotong ucapan Sora beberapa detik yang lalu.
Sora menelan salivanya kasar. Ia menatap horor ke arah sang suami.
"Gila kamu?!"
"Apanya yang gila? Aku cuma mempersilakan istriku buat masuk ke kamarku. Siapa tahu aja kamu mau bantu nyiapin air buat aku mandi, atau ikut tidur di sini nanti malam," ucap Ersya.
Sora semakin mendelik sebal. Tanpa banyak kata, gadis itu segera berbalik. Ia berjalan sembari menghentak-hentakkan kakinya dengan keras seperti anak kecil yang sedang merajuk. Melihat hal itu, Ersya terkekeh. Ia selalu tak bisa menahan tawanya saat melihat sosok lain dari istrinya yang menjengkelkan satu itu.
"Bayi kok suka clubbing," cibirnya lirih. Ersya tahu apa rencana Sora hari ini. Maka dari itu, ia sengaja pulang lebih awal untuk mencegah Sora dapat merealisasikan rencananya.
***
Setelah mandi dan beristirahat sebentar, Ersya keluar dari kamarnya. Ia segera menuju ke meja makan. Dan ternyata, Bi Wati masih ada di sana setelah menyiapkan makan malam untuk dirinya dan Sora.
"Sora masih di kamarnya, Bi?" tanya Ersya.
'Kamarnya'? Lebih tepatnya kamar Sora. Meski sudah menikah, Ersya dan Sora menempati kamar yang berbeda. Tentunya itu atas kemauan Sora yang langsung mengamuk setelah Ersya mengajaknya tidur bersama di hari pertama setelah pernikahan mereka. Malam itu juga, Ersya harus membantu Bi Wati untuk membersihkan kamar sebelah yang tidak pernah dihuni agar dapat digunakan Sora.
"Uhm... Anu, Den. Non Sora katanya nggak mau makan," ujar Bi Wati.
Ersya menghela napas panjang, lalu melanjutkan niatnya untuk segera mengambil makanan.
"Eh, Aden nggak mau coba bujuk Non Sora dulu? Siapa tahu kalau Aden bujuk, Non Sora nya mau turun buat makan malam," bingung Bi Wati.
Bi Wati adalah satu-satunya orang yang tahu tentang hubungan suami-istri Sora dengan Ersya. Mau bagaimana lagi? Mereka tinggal satu atap, meski saat malam biasanya Bi Wati lebih suka pulang ke kontrakannya yang tak jauh dari rumah Ersya.
"Dia akan makan kalau lapar, nggak perlu saya bujukin, Bi. Dia kurang ahli kalau soal ngambek-ngambekan. Sama anak TK aja kalah," jawab Ersya yang membuat Bi Wati terkikik geli.
Baru tiga suap Ersya menyantap makanannya, Indera pendengaran lelaki itu menangkap suara langkah kaki mendekat. Ersya berusaha tampak tak peduli. Toh ia tahu siapa yang menimbulkan suara itu.
"Ersya, kamu benaran mau melarang aku ke pesta tunangan teman aku?" tanya Sora dengan nada merajuk.
Ersya tak menjawab. Ia masih sibuk menikmati makanannya.
"Aku nggak mau makan kalau kamu nggak kasih aku izin pergi. Biarin aja aku sakit! Biar kamu diomeli Papa," ancam Sora. Sebenarnya ia tidak peduli dengan apa pun reaksi ayahnya, hubungan Sora dan ayahnya semakin renggang setelah Sora di nikahkan dengan Ersya.
Akhirnya, Ersya meletakkan sendoknya dengan sedikit kasar. Ia menatap jengkel ke arah Sora yang masih menunggu jawaban darinya.
"Oke—“ jawab Ersya.
Mata Sora langsung berbinar mendengar jawaban itu. "Jadi, kamu ngizinin aku pergi, kan? Oke. Kalau gitu, aku mau makan sekarang. Habis itu, touch up make up lagi, baru pergi," ujar Sora dengan penuh semangat.
Gadis itu langsung mendudukkan dirinya di hadapan Ersya. Ia membalik piring dan bersiap mengisinya dengan nasi dan berbagai lauk di hadapannya. Namun ...
"Oke. Kamu boleh skip makan malam kamu hari ini, daripada aku harus kasih izin kamu buat pergi," lanjut Ersya.
Sora langsung meletakkan kembali centong nasinya. "Maksud kamu?"
"Keputusanku sudah bulat. Kamu nggak boleh kelayapan malam ini-"
"Tapi ini nggak kelayapan. Aku mau ke pesta tunang-"
"Kalau pun memang benar mau ke pesta pertunangan teman kamu, aku baru akan kasih izin kalau aku boleh ikut," potong Ersya.
Sora kembali mendelik kesal. Ia mendorong kursinya dengan kasar, lalu melangkah kembali ke kamarnya. Ersya benar-benar sudah berhasil mempermainkan kesabaran gadis itu.
Tapi, apakah itu artinya Sora akan menyerah? Terlebih setelah ia membuat janji dengan teman-temannya untuk berpesta malam ini?
Tentu saja tidak!
Gadis itu punya 1001 cara untuk tetap bisa menikmati kebebasannya. Jangankan Ersya yang baru mengenalnya beberapa bulan. Bahkan sang ayah pun sampai angkat tangan menghadapi tingkah polah Sora yang memang sulit diatur.