Sora uring-uringan sambil memapah Ayla yang sejak tadi meracau. Kedua temannya benar-benar mengacau dan menyusahkan dirinya.
Begitu keluar dari kelab, Sora menegakkan tubuh sahabatnya itu. Ia mencengkeram kedua bahu Ayla agar Ayla dapat berdiri tegap menghadap ke arahnya.
"Kamu ada masalah apa sih, Ay? Hah? Nggak biasanya kamu sampai benar-benar mabuk kayak gini. Apalagi nempelin orang sembarangan," heran Sora.
David yang baru saja muncul sambil memapah Fika terkekeh melihat kekesalan kekasihnya.
"Percuma. Dia nggak akan bisa jawab pertanyaan kamu dengan serius. Udahlah, besok aja kamu cari tahunya!" usul David.
"Aku nggak terlalu kaget kalau itu Fika. Dia memang suka mabuk. Tapi Ayla? Di antara kami bertiga, kamu tahu sendiri kalau Ayla tuh yang paling lurus," balas Sora mengakui. Dalam setiap pertemanan, Sora tahu jika ada teman yang lurus, lebih baik, seperti pertemanan mereka bertiga.
David mengangkat kedua bahunya. Ia tidak terlalu peduli dengan kedua teman Sora itu. "Udah, mending sekarang kita antar mereka pulang. Kalau nggak, biar Fika menginap di kos Ayla deh. Bisa habis kalau Fika balik ke rumah orang tuanya."
Sora mengangguk. Ide David jauh lebih baik dibanding mereka harus membiarkan Fika bertatap muka dengan kedua orang tuanya dalam keadaan yang seperti ini. Setiap kali Fika berulah, pulang party sampai pagi memang mereka lebih sering menginap di tempat kos Ayla atau kadang Sora membuka kamar di hotel.
"Ya udah yuk, bawa ke mobilku! Kamu sendiri, mau gimana? Balik ke rumah?"
Sora terdiam. Pulang? Yang pasti ia akan langsung dicecar berbagai pertanyaan oleh Ersya. Lebih parahnya, mungkin Ersya akan memberinya hukuman atas kesalahan-kesalahan yang telah Sora lakukan hari ini seperti ancamannya saat itu.
"Aku menginap di kos Ayla sekalian aja deh," jawab Sora mencari aman.
"Nggak mau nginep di apartemenku aja? Pintu apartemenku selalu terbuka kok buat kamu," tawar David sambil mengerlingkan mata nakal.
Sora memutar bola matanya malas. Ia memilih tak mengindahkan ucapan David, dan fokus membawa Ayla menuju ke tempat di mana mobil David diparkirkan.
Deg!
Namun, begitu tiba di area parkiran, seketika langkah Sora terhenti kala indera penglihatannya berhasil menangkap sosok yang harusnya ia hindari untuk saat ini. Bagaimana bisa, lagi-lagi dia tertangkap basah?! Ingin lari, tapi posisinya yang sedang memapah Ayla tidak memungkinkannya untuk melakukan hal demikian. Ia tidak tega bila menjatuhkan Ayla.
"Kenapa berhenti?" bingung David. Ia masih tidak tahu apa yang sebenarnya sedang terjadi saat ini - ia tidak tahu, Sora kesayangannya sedang berada dalam bahaya.
"Seperti yang aku duga! Nggak akan jauh-jauh dari club," ucap seorang pria sambil berjalan santai ke arah Sora.
Sora mundur dua langkah. Nyalinya mulai ciut. Namun, gadis itu masih berusaha mempertahankan diri dengan memasang raut wajah garang.
"Ngapain kamu di sini? Mau dugem juga?" tanya Sora. Padahal jelas tahu tujuan suaminya berada di sana. Ersya lebih menyebalkan dari Papah!
Lelaki itu - Ersya - hanya menyunggingkan senyum miring. Ia menggerakkan matanya, memberi kode pada beberapa pria berpakaian hitam untuk segera mengambil alih tubuh Ayla dari Sora.
Sora sempat menahan, tak membiarkan Ayla mereka ambil. Tapi Sora kalah, dan akhirnya memilih berhadapan langsung dengan Ersya.
"Kamu mau apain sahabat aku?!" sentak Sora.
"Sudah waktunya mereka pulang. Anak buahku akan mengantar mereka ke hotel yang sudah aku pesankan," jawab Ersya.
"Hotel?" bingung Sora.
"Sangat repot kalau aku harus mencari alamat mereka satu per satu," ujar Ersya.
"Dan kamu! Yang cowok!" Ersya beralih menatap David yang tampak seperti orang linglung. Selain karena ia memang tidak tahu apa-apa - dan siapa pria yang sedang berdiri di hadapan Sora itu, tampaknya David blank karena efek minuman yang ia teguk tadi.
"Abang ngomong sama saya?!" tanya David.
"Hm. Kamu sepertinya masih bisa pulang sendiri. Jadi, kamu serahkan saja teman Sora itu pada anak buah saya!" titah Ersya.
David tampak keberatan. Ia paling tidak suka disuruh-suruh.
"Kenapa? Apa perlu saya minta orang-orang saya buat nganterin kamu pulang juga?" tantang Ersya.
"Kamu apaan-apaan sih, Ersya?!" protes Sora. "Lagian aku masih mau sama teman-temanku. Aku mau nginep kos Ayla. Dan David mau kok nganterin. Jadi mending kamu pulang sana!"
Sora hendak beranjak, tetapi lengannya sudah lebih dulu ditangkap oleh Ersya. "Pulang, Sora!"
"Sama kamu? Nggak!" tolak Sora tegas.
"Pulang, sebelum kesabaranku habis!" paksa Ersya.
"Bang, nggak usah ngatur-ngatur Sora dong! Lagian Abang siapa, sih? Suruhan bokapnya Sora?" David maju, berdiri di samping Sora seakan menantang Ersya.
Sebelah tangan Ersya masih sibuk menggenggam lengan Sora. Sedangkan satu tangan lainnya berada di dalam saku celananya.
"Saya? Kamu bertanya siapa saya? Saya suami Sora!" jawab Ersya. Ia pikir, jawaban itu akan membungkam David. Namun, nyatanya lelaki itu malah tertawa sembari memandang remeh Ersya.
"Jadi ini, cowok nggak waras yang nikahin kamu, Ra? Pantes kamu nggak happy sama dia," oceh David.
Ersya mengernyitkan alisnya tak suka. Menyadari raut wajah Ersya yang tak bersahabat, ditambah sudah terlalu banyaknya kesalahan yang telah ia perbuat sepanjang hari ini, sepertinya keadaannya tidak memungkinkan untuk mengungkap soal hubungannya dengan David di depan Ersya. Apalagi mengingat saat ini Ersya datang bersama beberapa anak buahnya. Salah ambil langkah, bisa-bisa David dibuat babak belur oleh anak buah Ersya.
"Dav, kayaknya kamu mabuk deh. Kalau Ayla dan Fika udah ada yang urus, mending kamu balik!" usir Sora.
"Terus kamu?"
"Aku bisa jaga diri aku sendiri. Lagian dia nggak mungkin nyakitin aku, kok," jawab Sora.
David tampak keberatan. Namun, melihat Sora yang sudah benar-benar lelah dan tak mau berdebat, akhirnya ia mengalah tanpa lebih dulu berpamitan.
Ersya menarik tangan Sora ke arah mobilnya. Tapi Sora tak mau beranjak.
"Jaminan apa yang akan kamu kasih kalau kedua sahabatku bakalan baik-baik aja?" tanya Sora.
"Kita bisa video call anak buahku sesampainya kita di rumah. Atau kalau kamu mau, aku bisa minta mereka share live location mereka sampai kamu bisa mastiin kalau kedua teman kamu itu aman," jawab Ersya. Menjamin dengan yakin.
Sora masih tampak berat untuk ikut pergi bersama Ersya. Ia yakin, masih ada kemarahan di dalam hati suaminya itu. Alih-alih keselamatan Ayla dan Fika, sebenarnya Sora lebih mengkhawatirkan keselamatannya sendiri.
'Dia nggak akan nyekap aku terus nge-unboxing aku, kan?' batin Sora parno.
"Apalagi, Sora?" heran Ersya yang dapat merasakan bila Sora masih enggan beranjak. “Kamu mau aku angkat seperti waktu itu?!”
Sora membulatkan mata, bergidik sendiri membayangkan kejadian yang lalu akan terulang. Ia segera menggelengkan kepala, "M- mobil aku masih di cafe dekat kampus. Aku-"
"Kasih saja kuncinya ke anak buahku! Mereka yang akan urus mobil kamu. Kamu, ikut aku!" tegas Ersya.
Tak berani membantah, akhirnya Sora melemparkan kunci mobilnya pada salah satu anak buah Ersya. Lalu berjalan terpaksa mengikuti Ersya, sesekali tatapan matanya bertemu David yang ternyata masih memerhatikan mereka sampai benar-benar pergi.
***
"Kamu tahu apa saja kesalahan kamu hari ini, Sora?" tanya Ersya setibanya mereka di rumah. Pintu utama telah dikunci. Dan mereka berdua masih berada di ruang tamu. Ersya bahkan meminta pekerja rumah untuk tidak berada di sekitar mereka.
Sora mulai was-was. Ia masih ingat betul dengan ancaman Ersya terakhir kali. Dan ia benar-benar takut sekarang.
"Ng-nggak usah ngebesar-besarin masalah! Aku kan cuma-"
"Cuma mengabaikan laranganku, kabur, lalu mabuk-mabukan sama teman kamu?" potong Sora.
"Ayla sama Fika yang mabuk. Aku enggak, lagian aku masih kesal sama kamu karena maksa dinner sama Papah!" elak Sora.
“Aku sudah minta maaf,”
Sora memutar bola matanya malas, “aku udah minta kamu untuk berhenti mengaturku, kan?! Urus hidupmu sendiri. Kita berdua menikah dan terpaksa tinggal satu atap tan—kamu mau apa?! Ersya! Menjauh!“
Ersya mendekatkan wajahnya secara tiba-tiba. Ekspresinya berubah begitu kembali dengar kalimat Sora, alarm tanda bahaya yang tak kasat mata dalam diri Sora menyala, meminta ia untuk menghindar. Tapi, saat Sora hendak menghindar, tengkuk gadis itu sudah lebih dulu dicengkeram oleh telapak tangan lebar milik Ersya.
Dan saat itu juga, waktu terasa seakan berhenti bagi Sora. Jantungnya berdetak lebih celat. Matanya terbelalak saat merasakan bibirnya dan Ersya saling bertubrukan. Berbeda dengan 'ciuman' pertama mereka, kali ini, Ersya bahkan berani menggerakkan bibirnya - membuat keduanya saling bertukar saliva dan menimbulkan suara cecap provokatif dalam sepinya malam.
Lutut Sora bahkan terasa lemas, dia ingin menolak tapi tak kuasa saat Ersya juga mendekapnya begitu lekat, posisi sangat menempel.