Bab 1. Kesialan Bertubi-tubi
Suara desahan di balik daun pintu membuat darah Nadine berdesir. Ia memutar gagang pintu lalu membukanya. Dengan mata melotot Nadine menyaksikan Charlie tengah mengungkung seorang wanita di atas ranjang—di kamarnya yang ada di lantai tiga kafe Lova King.
"Siapa cewek ini, Char?" teriak Nadine.
"Din, kenapa kamu bisa ke sini?" Charlie menarik selimut untuk menutupi tubuh Yessy, gadis yang ia pacari sejak dua bulan terakhir. Ia baru asyik mencumbu Yessy, tetapi mendadak pintu terbuka dan muncullah Nadine, gadis yang telah ia pacari sejak kuliah.
"Kenapa?" Nadine menekan tombol saklar di dekat pintu. Seketika ia bisa melihat tubuh Yessy hanya ditutupi oleh selimut. Beberapa pakaian tergeletak di atas lantai. "Kamu masih tanya kenapa?"
Charlie berdiri seraya memungut kemejanya. Dengan kesal ia mengenakan kemeja itu lalu mendorong tubuh Nadine keluar dari kamar. Ia tak ingin Nadine kalap lalu menyerang pacar barunya.
"Lepasin!"
"Kita bicara di luar, oke! Dan nggak usah teriak-teriak!" gertak Charlie.
Nadine menatap Yessy yang kini tersenyum miring. Amarahnya meledak seketika. Ia merasa dicemooh oleh gadis berambut panjang kecoklatan itu.
"Din! Keluar!" seru Charlie saat Nadine berusaha menerjang ke arah ranjang.
"Kamu selingkuh, Char! Kamu tega! Aku bahkan nggak tahu kamu udah pulang ke Indonesia," kata Nadine dengan eskpresi sedih. Ia mengusap pipinya kasar. "Kenapa kamu nggak bilang-bilang, hah?"
Selama ini, Nadine tahu Charlie ada di Amerika untuk kuliah S2. Baru hari ini ia diberi tahu oleh temannya bahwa Charlie terlihat di sebuah mall bersama wanita cantik. Bahkan ada fotonya.
"Aku mau bilang sama kamu, tapi aku butuh waktu yang tepat," jawab Charlie. Ia menarik tubuh Nadine hingga keluar dari kamar.
Nadine menuding ke pintu kamar yang kini ditutup rapat oleh Charlie dan pria itu berdiri tegak di sana seolah menjaga agar Nadine tidak masuk. Yah, Nadine sangat ingin menampar atau menjambak Yessy, ia membenci gadis yang telah merebut kekasihnya itu.
"Kamu keterlaluan, Char. Kamu tahu, aku nungguin kamu di sini dengan setia!" tangis Nadine.
Charlie membuang napas panjang. "Sorry, Din. Tapi rasa sayang aku sama kamu udah habis. Aku udah pacaran sama Yessy dan aku mau kita putus. Aku nunggu waktu yang pas buat ketemu dan bilang ini ke kamu."
Charlie mengangkat bahu ketika Nadine semakin deras menangis. "Aku bosen sama kamu. Aku nggak excited lagi pacaran sama kamu dan yah ... pokoknya kita nggak jodoh."
"Nggak jodoh?" Nadine menyeka keningnya. "Kamu lupa kamu pernah bilang kamu mau nikahin aku, kan? Kita udah bangun bisnis ini bareng-bareng, Char. Kamu lupa?"
Nadine merentangkan tangannya untuk menunjuk kafe yang mereka jejak berdua malam ini. Awalnya Lova King hanya sebuah kafe kecil-kecilan, tetapi berkat kegigihan mereka berdua, terutama Nadine, akhirnya kafe itu menjadi besar dan sangat ramai.
"Dan sekarang apa?" Nadine kembali menuding pintu kamar. "Demi cewek baru itu, kamu mau putus? Aku temenin kamu dari nol! Aku yang kembangin usaha ini, kamu buta, Char?"
Charlie hanya mendengkus. Ini yang ia tak suka dari Nadine. Ia yakin Nadine hanya akan merasa lebih berkuasa darinya. Padahal, gedung ini adalah milik ibunya. Ia adalah pemilik kafe ini, bukan Nadine meskipun selama ini Nadine yang mengelola.
"Aku pecat kamu!"
"Apa?" Nadine ternganga.
"Kamu nggak tuli, kan?" Charlie menatap Nadine dengan ekspresi mencela. "Aku bilang, aku pecat kamu. Aku pemilik usaha ini, jadi terserah aku mau pecat karyawan aku. Mulai besok, kamu nggak usah datang ke sini lagi!"
"Tapi, Char!" Nadine mendorong d**a Charlie. Ia tak terima dipecat seperti ini. "Aku yang membesarkan kafe ini. Selama kamu di Amerika, aku yang usaha ini itu biar kafe ini terus jalan."
"Semua orang bisa ngelakuin itu," kata Charlie. "Tunggu di sini!"
Nadine hampir memekik karena sangat marah. Ia menatap Charlie masuk ke kamar kecil tadi dan tak lama pria itu keluar dengan satu koper besar milik Nadine. Selama ini Nadine memang lebih sering tidur di sini dibandingkan di rumah ayah dan ibunya.
"Aku mau kamu pergi dari sini. Jangan tinggal di sini lagi karena kamu bukan karyawan aku!" gertak Charlie.
"Kamu nggak bisa gini, Char! Plis! Aku ...."
"Aku nggak peduli. Pergi sana!"
Nadine memberontak. Ia belum puas jika belum menjambak rambut pelakor tadi. Kamar itu adalah kamar tempat ia tidur.
"Aku bilang, pergi!" teriak Charlie sambil mendorong Nadine.
Tubuh Nadine terbanting ke lantai. Nadine terengah-engah di antara amarah dan rasa sakitnya.
"Tega kamu, Char! Kenapa kamu lebih milih cewek itu, hah?"
Charlie tertawa mencela. "Udah aku bilang, kamu itu mbosenin. Aku baru tahu enaknya pacaran sama Yessy."
"Karena dia bisa kamu pakai tiap malam?" tanya Nadine.
Charlie mengangguk tanpa malu. "Kamu terlalu kolot, Din. Sok-sokan jaga keperawanan, padahal ... kamu juga bakal ketagihan kalau kamu mau coba."
Nadine mengepalkan tangannya. Seketika ia merasa jijik pada Charlie.
"Kalau kamu mau kasih keperawanan kamu ke aku, mungkin aku bakal mau balikan sama kamu. Dan kamu bisa kembali bekerja di sini."
"Dasar sinting!" Nadine menampar Charlie sekeras-kerasnya. Ia tak peduli jika ia membuat pipi pria itu memerah. Yang jelas ia puas bisa menampar Charlie.
Nadine berdiri dengan tegak. "Suatu hari, kamu akan menyesal udah ngelakuin ini ke aku, Char. Aku sumpahin, kafe ini bakalan bangkrut! Dan liat aja, aku bakal jauh lebih bahagia dibandingkan kamu!"
Nadine tak mempedulikan tawa menghina Charlie. Ia menarik kopernya menuruni anak tangga sambil menangis, tetapi ia mengingatkan diri bahwa sosok seperti Charlie tidak pantas untuk ia tangisi.
"Sialan! Awas kamu!" Nadine menaruh kopernya di motor. Ia agak kesusahan karena koper itu cukup besar.
Nadine mendongak ke lantai tiga kafe. "Kamu bisa bersenang-senang sekarang, Char. Tapi yang namanya karma itu ada!"
***
Dengan penuh rasa sedih, Nadine akhirnya melajukan motornya ke rumah sang ayah. Sepanjang perjalanan, ia terus berpikir apa yang akan ia lakukan setelah ini. Ia pengangguran dan ia harus berkerja setelah ini.
Di saat ia melamun, ia dikejutkan dengan sirine keras dari arah belakang. Nadine menepikan motornya. Ia melihat ada lima mobil pemadam kebakaran yang menyalip motornya.
"Ada apa itu?" Nadine berdebar keras. Entah bagaimana, perasannya mendadak tidak enak. Mungkin karena arah mobil itu menuju ke jalan di mana rumahnya berada.
"Nggak mungkin, kan?" Nadine menggumam.
Dengan perasaan kalut, Nadine kembali memacu motornya. Kali ini ia dibuat lebih berdebar lantaran ada kerumunan yang memang tak jauh dari rumahnya.
Nadine mematikan mesin motor. Tanpa melepaskan helm, ia berlari ke kerumunan.
Pekikan Nadine tertahan saat ia menutup bibir dengan telapak tangan. "Ya, Tuhan!"
"Nadine! Nadine!"
Nadine tak kuasa menatap rumahnya yang dilalap oleh si jago merah. Tubuhnya diguncang keras oleh seorang pria.
"Pa! Itu kenapa, Pa?" tanya Nadine pilu.
Ayahnya menangis sambil menggeleng. Ibunya tiba-tiba memeluk Nadine dengan erat. Sama seperti sang ayah, ibunya juga menangis keras.
"Rumah kita, Din! Rumah kita!" isak Prapti.
"Kok bisa, Ma?"
Nadine tak mendapat jawaban karena orang tuanya hanya bisa menangis. Tak ada barang yang bisa diselamatkan dari kebakaran itu. Mereka bertiga terduduk di tepi jalan dekat rumah ketika akhirnya api berhasil dipadamkan.
Katanya, api berasal dari kabel yang mengalami korsleting. Api itu dengan cepat membakar seisi rumah dan menyambar hingga ke rumah tetangga. Mereka sedang kesusahan, tetapi tetangga sebelah juga menuntut ganti rugi atas rumah mereka yang ikut jadi korban.
"Kita mau tinggal di mana sekarang?" tanya Prapti pada suaminya, Jono.
Jono membuang napas panjang. "Kita nggak mungkin pulang kampung, Papa baru aja dapat kerjaan di sini. Mungkin kita harus nyewa rumah."
"Tapi itu mahal, Pa," ujar Prapti. "Kita juga harus bayar biaya perbaikan rumah Bu Sumi."
Nadine menatap rumah tetangganya yang rusak parah. Jika ia tidak dipecat, ia pasti bisa membayarnya.
"Gimana kalau kita numpang tinggal di kafe Nadine. Bisa nggak, Din?" tanya Jono.
Nadine menelan saliva kuat. "Maaf, Pa. Aku ... aku udah nggak kerja di sana."
"Ya ampun! Bukannya itu kafe kamu sama Charlie?" tanya Prapti bingung.
Nadine menggeleng pelan. "Ceritanya panjang, pokoknya aku udah nggak bisa tinggal di sana."
Jono membuang napas panjang. Ketika itu ponselnya—satu-satunya benda yang selamat dari kebakaran—berdering. Pria itu berdehem pelan.
"Ini Pak Niko, atasan baru Papa. Bentar."
Nadine menatap ayahnya berdiri lalu bicara selama beberapa menit dengan pria bernama Niko itu. Nadine tahu ayahnya kini bekerja sebagai sopir pribadi, mungkin sopir Niko itu.
"Kita dapat bantuan," kata Jono usai ia selesai bicara di telepon.
"Bantuan apa, Pa?" tanya Nadine.
"Kita semua bisa tinggal di rumah Pak Niko," jawab Jono.
"Hah? Serius?" Nadine menyipitkan matanya.
Jono mengangguk. "Papa udah cerita sama Pak Niko. Mama bisa bantu-bantu kerja di sana jadi tukang masak, kebetulan salah satu pelayan baru saja mengundurkan diri. Dan kamu, Din ... pokoknya kamu ikut pindah ke sana. Kita berangkat sekarang!"