Satu tahun kemudian
Setelah peristiwa berdarah itu, Marife dinyatakan hilang ingatan sebagian. Ia hanya mengingat ketika Zachary kecelakaan pecahan kaca, bahkan ia tidak ingat mereka sudah menikah dan memiliki seorang anak perempuan.
Edward menyuruh orang untuk membersihkan jejak keberadaan Danica. Ia tidak ingin Marife sedih, sedangkan Zachary sempat mengalami koma selama sebulan. Ia kehilangan banyak darah. Untungnya ia tidak hilang ingatan. Awalnya Zachary menolak rencana ayahnya untuk merahasiakan keberadaan Danica, tapi pada akhirnya ia menyetujuinya, karena keberadaan putri mereka belum diketahui dan ia juga tidak ingin membuat istrinya menjadi semakin sedih.
Sampai sekarang mereka belum memiliki anak lagi. Marife sibuk dengan akting dan bermacam-macam syuting iklan dan film. Zachary membebaskan Marife untuk melakukan apa yang ia inginkan. Di luar cuaca
tidak begitu baik dan hujan akan turun. Ia tengah bersiap-siap untuk menemui sahabat lamanya yang baru datang dari Yunani kemarin sore. Mereka ada janji temu sore hari di sebuah hotel tidak jauh dari kantornya berada.
Awan hitam menggantung di langit. Angin bertiup dengan kencang disertai suara petir dan guntur yang saling bertautan. Cahaya kilatan petir bagai membelah langit kota Jakarta. Orang-orang berlarian di jalan berusaha untuk segera berlindung, karena hujan akan segera turun. Dalam hitungan detik kota Jakarta telah diguyur hujan deras. Zachary sedang duduk di mobilnya saat hujan turun dengan deras. Sesampainya di hotel, ia segera pergi ke kamar hotel. Pintu kamar terbuka. Pria itu senang melihat Zachary dan langsung memeluknya.
"Aku senang bisa bertemu denganmu lagi."
"Aku juga, Castor."
Pria yang bernama Castor itu mempersilahkannya masuk. Zachary masuk dan duduk di sofa. Secangkir kopi yang masih mengepul diberikan pada Zachary dan mereka mulai bicara tentang masa lalu mereka.
"Aku sudah lupa kapan kita terakhir berbicara seperti ini. Minum kopi dan berbicara sambil menikmati makan malam. Sayangnya hari ini cuaca tidak mendukung perjumpaan kita sehingga kita harus makan malam di kamar hotel."
Zachary tersenyum tipis dan menyesap kopinya lagi, lalu meletakkan cangkirnya pelan-pelan di atas tatakannya.
"Sudah lima tahun kita tidak bertemu dan berbicara santai seperti ini. Aku senang kamu dapat memenuhi undanganku untuk menghadiri acara ulang tahun pernikahanku. Percayalah!Aku sangat menghargai kedatanganmu kali ini."
Zachary menopangkan dagunya dengan satu tangannya di atas meja.
"Aku ingin tahu seperti apa wanita yang telah berhasil merebut hatimu itu, sampai-sampai kamu membatalkan pertunanganmu dengan Marcelina, cucu dari seorang pengusaha terkenal di Jakarta dan yang menurut kabar perusahaan mereka sangat berpengaruh dalam perekonomian Indonesia."
Castor menghisap rokoknya dan meminum kopinya.
"Kamu masih saja merokok. Itu tidak baik bagi kesehatanmu dan kamu akan tahu besok seperti apa istriku itu. Bagiku dia sangat mempesona. Marife sudah membuat hatiku terbawa oleh kehangatan dirinya. Semangatnya dalam berakting yang tidak pernah padam.Gerakan tubuhnya yang spontan tanpa diduga, senyumannya yang selalu membuatku jantungku berdebar. Itu semua telah membuat hatiku tertawan olehnya. Dia memang bukan berasal dari keluarga kaya yang dia miliki di dunia ini hanyalah akting selain itu dia tidak punya apa-apa lagi, tapi sekarang dia memiliki aku."
Wajah Zachary terlihat lembut dan senyumannya selalu menghiasi wajahnya ketika menceritakan kekasih hatinya. Castor pun terlihat agak sedikit terkejut melihat ekspresi wajahnya itu, karena selama ini Zachary selalu memasang wajah dingin kepada siapa pun.
"Ternyata dia sudah mempengaruhi dirimu begitu besar. Coba sekarang lihatlah dirimu! Kamu tidak sedingin yang dulu. Kamu sudah banyak berubah sahabatku. Aku rasa semua ini karena istrimu itu."
"Kamu benar. Hanya ada satu yang kurang melengkapi kebahagiaan kami, yaitu putriku yang masih hilang dan ingatan istriku belum kembali."
"Aku sudah mendengarnya dari Ayahmu. Aku sangat terkejut saat mendengarnya. Aku turut prihatin."
"Semuanya sudah berlalu dan mungkin ini memang salahku juga sudah membuat Marcelina sangat marah padaku. Seharusnya sejak awal aku tidak menerimanya sebagai calon istriku dan tidak memberikan harapan padanya. Aku selalu merasa bersalah akan hal itu. Mungkin saja aku tidak akan kehilangan putriku."
"Jangan salahkan dirimu lagi!"
Castor menepuk bahu Zachary dan sedikit mencondongkan tubuhnya. "Kamu harus jaga istrimu dengan baik apalagi dia sekarang sudah menjadi aktris terkenal dan akan ada banyak pria yang menyukainya."
Castor mengedipkan sebelah matanya dengan jenaka dan tanpa diketahui oleh Castor perkataan pria itu membuat hatinya menjadi resah. Zachary harus mengakui semenjak Marife menjadi aktris terkenal semakin banyak orang yang mengaguminya bahkan fans prianya semakin bertambah. Ia saat ini harus dipusingkan oleh setiap lirikan para pria pada istrinya.
"Aku tahu itu. Aku akan menjaganya dengan baik dan tidak akan ada seorang pria pun mendekatinya."
Tangannya mencengkeram telinga cangkirnya dengan sangat erat, menahan rasa cemburunya. Hujan masih saja turun dengan deras dan waktu sudah hampir malam. Minuman mereka sudah habis dan Castor menawarkannya lagi.
"Tidak terima kasih. Aku akan segera pulang."
"Baiklah."
Zachary berdiri dan segera keluar, Castor mengantarnya sampai pintu depan. "Terima kasih sudah meluangkan waktu untuk bertemu denganku,"kata Castor.
"Sama-sama teman."
"Sampai jumpa lagi"
Sekali lagi Castor memeluknya
‘’Sampai jumpa lagi!’’kata Zachary.
Zachary sangat terkejut dan hampir pingsan. Matanya membelalak menangkap sesosok orang yang dikenalnya baru saja keluar kamar hotel bersama seorang pria. Mereka berjalan sambil berpelukan dan mereka berhenti untuk berciuman. Pemandangan itu membuat hatinya panas dan ia harus menekan rasa cemburunya. Zachary masih tidak dapat mempercayainya apa yang dilihatnya. Jantungnya berdebar tidak karuan, tangannya dikepalkan dikedua sisi tubuhnya. Wajahnya mengeras. Pria itu kemudian mencium kening si wanita dan hal itu menambah kemarahan Zachary yang membuat rasa cemburunya meluap keluar dari dalam dirinya.
"Marife, kenapa kamu bersama dengan seorang pria? Siapa pria itu?"
***
Susan bersenandung ria sambil membersihkan ruang keluarga. Sejak satu tahun yang lalu, Susan tinggal di rumah Marife dan Zachary atas saran dari Zachary, karena ia tidak ingin meninggalkan Marife sendirian terlalu lama di rumah. Ia takut akan ada orang yang yang akan menyakitinya lagi. Marife seharusnya membantu Susan, tapi ia mendadak ada keperluan untuk mengunjungi salah satu temannya jadi terpaksa Susan bekerja sendirian. Meskipun di rumah Marife ada beberapa pelayan, tapi Susan lebih suka mengerjakannya sendiri.
Keasyikan Susan membersihkan ruang keluarga sambil mendengarkan musik sedikit terganggu dengan suara bunyi telepon.
"Siapa sih yang menelepon?"
Susan mengecilkan suara tapenya, kemudian setengah berlari ke arah telepon.
"Selamat Malam!"
"Susan, ini aku Zachary."
"Pak Zachary, ada apa?"tanyanya dengan ekspresi terkejut.
"Marife, ada?"
"Marife tidak ada di sini. Dia sedang pergi keluar untuk menemui temannya."
"Temannya?"tanya Zachary dengan suara yang hampir tidak terdengar.
"Apa Anda punya pesan untuk Marife?"
Sambungan telepon terputus.
"Halo Pak Zachary!’’
Susan setengah berteriak dan memandangi gagang telepon dengan wajah kesal. Ia menutup teleponnya . "Apa-apaan sih dia menutup telepon seenaknya."
Susan kembali membesarkan volume suara tapenya dan kembali melanjutkan pekerjaannya. Di luar sana, Zachary menahan kemarahannya, karena merasa telah dikhianati oleh Marife. Secara diam-diam dia mengikuti Marife yang masih berjalan sambil berpelukan. Rasa marah dan cemburu sudah menguasai dirinya. Ia ingin sekali menghampiri mereka berdua dan menangkap basah mereka.Tangannya semakin kuat mengepal dan berusaha menahan diri untuk tidak memukul pria itu. Mereka berdua turun ke bawah memasuki sebuah restoran yang berada di hotel.
Ia pun ikut masuk dan duduk tidak jauh di mana mereka duduk sehingga dia dapat melihat gerak-gerik mereka dengan jelas. Matanya menatap dingin pada mereka. Mereka terlihat begitu sangat akrab dan juga mesra. Pria itu mulai memegang tangan Marife dan menciumnya bibirnya. Wajah Zachary mulai memerah menahan rasa amarahnya dan rahangnya menegang sampai-sampai urat nadinya muncul dipermukaan kulit wajahnya yang tampan.
"Marife, apa yang sudah membuatmu tertarik kepadanya? Kuakui dia memang pria yang tampan berambut pirang, bermata biru, dan juga tinggi. Apa sekarang kamu lebih tertarik dengan pria asing? Dan apakah cinta yang aku berikan belum cukup untukmu. Marife, kamu tega sekali mengkhianatiku padahal aku begitu mencintaimu dan memujamu."
Tanpa diketahui oleh Zachary seseorang sedang mengambil beberapa foto dari pasangan tersebut. Orang itu tersenyum senang. Beberapa kali ponselnya terus mendapatkan panggilan dari ayahnya, tapi ia selalu mengabaikannya. Beberapa detik kemudian ponselnya kembali berbunyi dengan perasaan kesal dia menerima panggilan ayahnya.
"Ada apa Ayah?"tanyanya kesal dan pandangannya tidak pernah lepas dari Marife.
Dengan suara setengah berteriak bercampur kesal dan marah Edward berkata, ‘’Zach, sebenarnya kamu sekarang ada di mana? Ini sudah jam tujuh malam dan Marife pun tidak ada di rumah."
"Ayah datang ke rumah?"
"Iya untuk mengunjungi kalian."
"Baiklah. Aku akan pula sekarang juga. Ayah tadi tidak perlu berteriak seperti itu."
Zachary langsung menutupnya dan segera pergi, meskipun hatinya tidak rela meninggalkan Marife berduaan dengan pria lain.
***
Hujan telah reda. Semua jalanan menjadi basah dan terlihat berkilau tertimpa cahaya lampu. Marife terlihat sangat senang sambil membawa sekantung belanjaan.
"Aku pulang."
"Akhirnya kamu pulang juga."
Susan menatapnya dengan pandangan marah, sedangkan Marife masih sibuk melepas sepatunya yang basah.
"Kamu kenapa?"
"Kamu dari mana saja sampai pulang terlambat? Aku sampai mencemaskanmu."
"Ini baru jam tujuh malam dan masih belum terlalu malam. Tadi aku lupa waktu berbicara dengan teman lamaku. Dulu kami satu sekolah bahkan satu kelas. Dia menjadi pertukaran pelajar saat itu."
"Oh ya. Apa teman yang kamu temui itu seorang wanita atau pria?"
"Eh? Seorang pria?"
"Kenapa kamu terkejut seperti itu?"
"Kamu tidak bilang padaku kalau temanmu itu seorang pria."
"Memangnya kenapa kalau dia seorang pria?"
"Ya ampun Marife. Kamu ini wanita yang sudah menikah dan kamu bertemu dengan seorang pria. Apa kata orang-orang nanti? Mereka akan mengira kamu sudah berselingkuh. Apa lagi kamu seorang aktris."
Marife tertawa keras. "Aku berselingkuh? Itu tidak akan terjadi. Aku sangat mencintai suamiku. Dia hanya temanku dan baru saja datang dari Italia."
"Teman priamu itu orang asing?"
"Iya."
"Tapi mereka tidak tahu kalau kalian hanya berteman. Kalau Pak Zachary sampai tahu pasti dia akan sangat marah. Kamu kan tahu suamimu itu pria pencemburu."
"Aku akan bicara padanya. Apa Zach sudah pulang?"
"Suamimu belum pulang, tapi Pak Edward datang ke sini."
"Ayah ada di sini? Di mana dia?"
"Ada di kamarnya."
"Aku akan menemuinya."
Marife menyerahkan barang belanjaannya pada Susan.
"Maaf. Aku tidak bermaksud membuatmu khawatir."
Marife tersenyum dan memeluknya. Ia kemudian pergi menuju kamar tamu yang biasa digunakan oleh ayah mertuanya, jika datang berkunjung. Susan membawa barang belanjaan Marife ke dapur. Semua isinya di keluarkan dan di tata rapi di dapur. Tidak lama Marife keluar dari kamar ayahnya dan membantu Susan di dapur.
"Tadi sore Pak Zachary menelpon ke rumah."
"Ada apa dia meneleponku? Tadi ponselku tertinggal di kamar dan aku belum sempat mengeceknya.
"Dia menanyakan keberadaanmu."
"Apa yang kamu bilang padanya?"
"Aku bilang kamu sedang keluar untuk bertemu dengan temanmu dan dia langsung menutup teleponnya begitu saja."
"Aku akan meneleponnya kembali. Tidak. Aku akan menunggunya pulang. Terima kasih."
Setelah selesai membantu di dapur, Marife pergi ke kamarnya dan jam sudah menunjukkan pukul 20.30. Ia menjadi cemas, karena Zachary belum juga pulang Tadi ayahnya mengatakan suaminya akan segera pulang. Ia takut terjadi sesuatu yang buruk padanya. Marife mengambil ponselnya dia atas meja dan segera mengisi baterainya. Ia menyalakannya dan terdapat banyak panggilan.
Dalam perjalanan Zachary memutuskan kembali me kantor dan tidak ingin pulang ke rumah. Ia memilih menyibukan dirinya di kantor supaya tidak teringat kejadian di hotel tadi, tapi meskipun begitu pikirannya tidak bisa teralihkan. Ia mengerang kesal. Lucia sudah pulang lebih awal. Ponselnya berbunyi beberapa kali, tapi ia mengabaikannya. Ia tidak ingin diganggu oleh siapa pun saat ini.
Marife yang sudah berada di rumah terus menelepon Zachary.
"Kenapa dia tidak menerima telepon dariku? Kemana perginya Zach?"
Marife memandangi ponselnya dengan wajah cemas.
"Ada apa dengannya ya?"
Marife mengerutkan dahinya dan kembali menelepon Zachary lagi. Zachary terlihat sangat kesal mendengar suara ponselnya yang terus berbunyi. Ia mengambil ponselnya dari dalam saku celananya dan melihat siapa yang telah meneleponnya. Wajahnya seketika marah melihat nama Marife di layar ponselnya dan di kepalanya masih melekat bayangan kemesraan istrinya dengan pria lain. Ia menerima panggilan telepon itu, lalu menutupnya kembali dengan perasaan kesal dab mencabut baterai ponselnya.
"Zach,"teriaknya. "Aku yakin dia tadi menerima teleponku tapi dia mematikannya kembali. Tapi kenapa?"
Perasaan Marife mulai cemas dan takut terjadi sesuatu yang buruk padanya. Berkali-kali ia meneleponnya ,tapi selalu tidak aktif. Ia menyerah untuk meneleponnya kembali dan akan menanyakannya setelah dia pulang. Marife jatuh tertidur saat menunggu suaminya pulang.