Tetap Bertahan

1478 Kata
Janji yang Barsya dengan pria dari masa kecilnya selalu terngiang dalam ingatannya, ya janji kalau mereka akan terus hidup bersama dalam suka dan duka. Bahkan dalam waktu tiga bulan kedepan pernikahan mereka akan di langsungkan. Ikatan janji suci yang akan mereka ucapkan sekali untuk selamanya. Namun sampai di hari keberangkatannya ke tempat tugasnya yang baru, secara tak sengaja ia bertemu dengan pria yang selalu ia nantikan. Seakan hancur penantiannya selama ini saat ia melihat dengan mata kepalanya sendiri pria sedang bersama dengan seorang perempuan yang ia yakini adalah kekasihnya di sebuah toko perhiasan tengah membeli cincin khusus untuk melamar seorang wanita. Barsya bertambah yakin setelah bertanya kepada karyawan penjaga toko perhiasan. Ia menyimpulkan bahwa pria itu sudah melupakan janjinya dan hari bahagia mereka, bukti juga sudah nyata ada di depan mata. Mulai saat itu, Barsya memutuskan untuk berhenti mencintai pria itu. Ia memutuskan akan menyendiri seumur hidupnya, lagi pula selama ini ia juga tak pernah bergantung kepada lelaki manapun. Ia meyakini dirinya bisa berdiri di atas kaki sendiri. Bahkan ketika berangkat ke tempat tugas yang baru pun Barsya pergi tanpa pamit dan tidak menghindar dari pria yang begitu dicintainya selama ia berada di pulau Sanuye tanpa memint kejelasan pada pria yang telah mengkhianatinya itu. ***** “Aku bersumpah membencimu seumur hidupku dan aku mengutuk yang namanya cinta dalam diriku. Aku tak akan pernah jatuh cinta pada pria mana pun lagi." Sumpah serapahnya kembali muncul di dalam bayangan Barsya ketika tubuhnya yang sudah lemas perlahan tenggelam ke dalam lautan. Untuk sejenak ia mulai terpejam. "Nama kamu siapa?" tanya seorang anak perempuan yang kini tengah melihat anak laki-laki yang sedang menangis sambil memeluk lututnya di bawa pohon besar di belakang panti itu. Anak lelaki itu mengangkat kepalanya, matanya masih berkaca-kaca dengan cairan bening yang sudah mulai keluar dari salah satu lubang hidungnya. Masih dengan suara sesegukan anak itu mencoba menghapus air mata dan ingusnya dengan baju yang ia kenakan. "Ish kamu jorok sekali, nih aku sumbang tisu ku buat kamu!" ucap Barsya sambil menyodorkan selembar tisu di genggaman tangan kanannya, anak itu menerimanya lalu ia kembali mengelap ingusnya dengan tisu itu dan membuangnya ke sembarang arah. "Ya Tuhan dasar Bo Suzuki jorok, aku gak mau temenan sama kamu!" cerca Barsya pada anak itu yang ia beri nama sendiri dengan sebutan Bo Suzuki salah satu karakter di film kartun Shincan yang berperan sebagai teman Shincan yang selalu ingusan. Mendengar temannya sedang mengatai dirinya anak lelaki bernama Cavan itu kembali menenggelamkan wajahnya dan memeluk lututnya. Cavan menangis lagi, Barsya yang melihat kelakuan anak itu dengan malas memutar bola matanya. "Sudahlah berhenti menangis, kamu kan anak laki-laki masa cengeng sih baru aku ejek begitu saja. Ayo bangun!" tutur Barsya lagi dengan suara yang lebih lembut, kali ini dengan membungkukkan sedikit badannya sambil mengulurkan tangan ke anak di hadapannya itu. Sepintas ingatan akan masa kecilnya menjelma menjadi sebuah fatamorgana di bawah terik matahari yang cahayanya menjadi berkali lipat terangnya, karena pantulan permukaan air laut siang itu sudah seperti kaca. Tubuh wanita yang sudah sedari semalam terombang-ambing di tengah lautan lepas itu kini semakin melemah. Dengan sisa tenaga yang ia miliki dikerahkan untuk memeluk erat bongkahan kayu itu agar tubuhnya tetap terapung. Kaki dan tangannya sekuat mungkin dilingkarkan pada sebatang kayu itu. Matanya yang tadi sempat terbuka kini perlahan terpejam kembali karena tidak kuat melihat kilauan cahaya matahari yang begitu menyilaukan. Masih ada harapan dalam dirinya, dia harus bisa bertahan di tengah lautan ini. Walaupun sudah tiga bulan Barsya menjalani hidup dalam rasa kecewa sebuah pengkhianatan, namun ia tetap ingin bertahan untuk dirinya sendiri. Karena sunggu sangat sia-sia jika ia hanya menyerah karena cinta. Kenangan tetaplah sebuah kenangan yang akan ia simpan dalam masa lalunya. Cavan menghentikan tangisannya perlahan dia mengangkat lagi kepalanya dipandanginya uluran tangan itu, setelah beberapa saat berlalu diraihnya tangan anak perempuan itu. Cavan kini berdiri tepat dihadapan Barsya dengan tangan yang masih menggenggam jari-jemari mungilnya. "Nama ku Cavan Giorgino, kamu siapa?" "Aku Barsya Andora panggil saja Barsya. Aku baru melihat mu di panti ini, apa kamu baru?" tanya Barsya dengan tatapan menyelidik. "Oh ini panti ya. Tidak aku bukan anak baru, tadinya aku di ajak pergi oleh paman ku. Tapi ketika paman memintaku membelikan minum di warung tepi jalan besar, dia meninggalkan ku begitu saja. Lalu aku berjalan ke sembarang arah dan terdampar di sini karena anak-anak nakal di ujung jalan sana mengejar ku tanpa ampun dan meneriaki ku pencuri. Padahal aku tidak mencuri apa pun!" tutur Cavan panjang lebar, Barsya hanya menganggukkan kepalanya mendengarkan cerita anak itu. "Berarti kamu dibuang sama keluarga mu, kalau begitu tinggal lah di sini. Aku akan membawa mu ke ibu ku!" ucap Barsya dengan santainya, karena begitu lah kasus yang ia banyak temukan dari cerita anak-anak di panti ini. Dunia memang kejam untuk anak-anak di negeri yang selalu di juluki dengan selogan SURGA ini. Tapi Barsya kecil yang saat ini berusia 10 tahun menganggap negeri tempat ia tinggal adalah sebuah neraka untuk anak-anak. Betapa mengerikannya tanah tempat dirinya berpijak, dan hanya panti tempat tinggalnya sekarang inilah tempat paling aman dan nyaman. Di sini lah surga sesungguhnya, surga bagi anak-anak yang terbuang. Baik itu anak-anak yang sengaja di tinggalkan oleh keluarga terdekatnya karena status yatim atau bahkan yang lebih mengecewakan lagi jikalau dibuang oleh ibu kandung sendiri. "Ya ampun tumben nemuin cewek mulutnya tidak ada filter sama sekali. Terjun bebas kayak pemain parasut!" seloroh Cavan yang sedari tadi memasang tampang herannya mendengar ucapan anak kecil di depannya itu. Barsya hanya terkekeh mendengar ucapannya. "Ternyata selain cengeng kamu bisa ngelawak juga. Mulut ku ini bahkan bisa lebih berbahaya dari jembatan Shiratal Mustaqim yang disebutkan seperti satu helai rambut yang dibagi menjadi tujuh bagian dan lebih tajam dari pedang. Bayangkan bagaimana mengerikannya ucapan ku yang akan keluar nantinya?" bisik Barsya di telinga Cavan yang kini hanya berjarak 2 cm dari bibirnya berada. Cavan membelalakkan matanya mendengar suara mengerikan itu, hembusan nafas Barsya begitu terasa menyentuh daun telinganya. Karena kesal tangan Cavan begitu saja melayang menjentik jidat lebar Barsya yang polos. Barsya menguncir rambutnya ala ekor kuda dengan sangat rapi, sehingga tidak ada rambut lain yang menutupi jidat lebarnya kecuali anak rambut yang masih sangat pendek dan halus yang menghiasai garis dahinya. "Ucapan mu itu benar-benar ya, lama-lama aku kuncir juga mulut mu itu agar tidak sembarang menggunakan kata-kata!" Cavan sudah sangat gemas kini lagi-lagi karena perkataan Barsya. "Hanya bercanda kawan, begitu saja marah. Ya sudah ayo aku antar kamu ketemu dengan ibu. Oh ya selamat datang di panti kebanggaan kami ya, semoga kamu bisa betah di sini!" kini Barsya tanpa malu menggandeng lengan Cavan dan mengajaknya masuk ke dalam panti. Cavan hanya bisa pasrah mengikuti anak perempuan itu yang ia yakini usianya tak beda jauh darinya. Barsya memang benar Cavan dibuang oleh pamannya sendiri dan ia yakin ini pasti adalah perintah dari istri pamannya. Cavan adalah seorang anak yatim yang dirawat oleh adik dari almarhum ibu nya yang bernama Maria. Ibu Cavan tertembak disaat ia mencoba kabur dari kejaran laki-laki yang ditugaskan oleh nyonya Rose sang pemilik club malam untuk menangkap Maria. Nyawa Maria tidak bisa diselamatkan saat perjalanannya menuju rumah sakit. Sementara sosok bapak tidak dimiliki oleh Cavan, entah pelanggan ibu nya yang mana yang menjadi ayah biologisnya. Sejak bayi Cavan dititipkan pada sang adik dan istrinya selama Maria bekerja. Cavan yang terus tumbuh besar membuat Maria memutuskan untuk tidak lagi menjadi wanita malam dan hal itu juga salah satu permintaan dari anaknya. Namun sayangnya nyonya Rose tidak mengijinkan Maria untuk keluar dari club malam miliknya jadilah nyawa Maria sebagai bayaran atas kerugian Rose karena dirinya sudah lancang kabur dari pelanggannya. Benar-benar nasib Cavan yang malang baru seminggu ibu nya meninggal kini istri pamannya berusaha keras melemparnya keluar dari rumahnya sendiri. Paman dan bibi nya yang tidak tau malu itu menghabiskan seluruh uang ibu nya bahkan mengambil rumah kecil yang di belikan sang ibu untuknya dari uang hasil pekerjaan kotornya. Kini anak kecil yang sudah diberikan anugerah ketampanan wajah sedari dirinya dilahirkan ke dunia itu harus berjuang sendiri bertahan dalam kejamnya dunia. Tidak sedikit pun Cavan menangisi harta peninggalan ibu nya, namun yang ia tangisi adalah kemalangan hidupnya sendiri. Sudah tidak ada lagi yang akan menjadi malaikatnya kini karena sang ibu telah pergi untuk selama-lamanya. Meskipun pekerjaan tidak halal sang ibu, Cavan tetap bangga memiliki malaikat tak bersayap seperti Maria. Maria tetaplah seorang wanita dengan perannya sebagai ibu yang sangat menyayangi anaknya. Maria tidak pernah malu dengan kehadiran Cavan, karena ia sadar itu adalah kesalahannya sendiri. Bahkan Cavan menjadi rezeki tak ternilai dari Tuhan, hinaan dan cemoohan orang-orang tentangnya tidak pernah sama sekali ia hiraukan. Bagi Cavan sang ibu adalah bidadari dan malaikat pelindungnya, bahkan sekarang saja pamannya yang selalu jadi benalu untuk ibu nya kini menjadikan dirinya jauh lebih hina dari Maria sang ibu. Dengan kejamnya ia membuang Cavan setelah mendapatkan harta dan kasih sayang dari ibu nya dulu. Bahkan pamannya itu bukanlah adik kandung ibu nya, tapi ibu Cavan selalu memperlakukannya seperti adik kandungnya sendiri.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN