Episode 6 : Ancaman Dari Danian

1823 Kata
Pergi ke tempat di mana ada Danian, kini menjadi hal yang tidak ingin Azura lakukan. Namun apa daya, pria yang mendadak sangat ia benci sekaligus selalu ingin ia hindari itu justru bos besar yang harus Azura ayomi. Kini, tepat pukul tujuh pagi, seseorang langsung membuat pintu utama ruang kerja Azura dan Danian terbuka, dari luar. Tentu bukan orang lain selain pria yang teramat tidak Azura harapkan kehadirannya dan akhir-akhir ini membuat wanita itu merasa sangat kacau. Sebenarnya, Azura ingin mengutuk dan melayangkan sumpah serapah lebih kejam kepada sang atasan, tapi Azura sadar, malam itu, Danian melakukannya di luar kendali Danian. Pria itu mabuk, Danian mengira Azura sebagai Velery. Tanggapannya masih sama. Dia terlihat sangat membenciku. Marah menjadi pemandangan tunggal darinya. Seolah, dia ingin menerkam bahkan melakukan sederet tindakan kejji lainnya kepadaku, batin Danian sembari diam-diam mengamati Azura. Tak hanya Azura yang langsung berdiri sambil menunduk bahkan agak membungkuk layaknya biasa, sapaan ramah yang mendadak tidak Damian dapatkan semenjak dua hari lalu, juga kembali Danian rasakan. Satu lagi, hari ini wanita yang ia ketahui bernama Azura Anatasya Putri dan berusia dua puluh enam tahun, juga kembali mengenakan atasan tertutup, termasuk bagian leher yang dihiasi scarf. Dia menyembunyikan sesuatu di bagian tubuhnya yang sengaja dia tutupi. Danian yang masih berbicara dalam hati, makin bertanya-tanya mengenai perubahan Azura. “Boleh saya melihat scarf-mu?” ucapnya sengaja. Ia dapati, Azura yang langsung terkejut dan kebingungan menatapnya. Wajah tak tersentuh rias berlebihan dengan bibir yang masih bengkak itu mendadak berkeringat. Jangan sampai keyakinanku benar, dia yang bersamaku malam itu dan aku kira Velery. Danian masih menanggapi Azura dengan santai, kendati gayanya memang dingin. Azura menyadari jantungnya menjadi berdetak makin cepat. Tanpa balasan berarti atau sekadar bertanya, ia sedikit memalingkan wajah, sengaja memamerkan apa yang Danian mau, melihat scarf yang menutupi lehernya, dengan leluasa. “Lepas!” pinta Danian kemudian dan sukses membuat Azura kembali terkesiap. Nih orang maunya apa, sih? Kemarin bilangnya enggak tertarik dan seolah sengaja memperingatkanku, tapi sekarang? Dia memperlakukanku seperti maling yang wajib mengaku! batin Azura sambil melirik sinis pria di hadapannya. Jaraknya dengan Danian hanya sekitar dua meter. “Kamu berharap saya yang melepaskannya?” lanjut Danian. Pertanyaan yang mulai terdengar jengkel dari Danian tersebut, sukses membuat Azura merinding. Azura mendapati bulu roma di punggung telapak tangan berikut jemarinya, kompak berdiri. Dan di luar dugaan, Danian maju menghampiri Azura. Pria itu hendak melepas paksa scarf di leher Azura, hingga Azura mundur ketakutan karena wanita itu langsung teringat adegan malam panas mereka. Kedua tangan Azura menahan scarf agar tetap menutupi lehernya. “Kamu takut kepada saya? Kamu menghindari saya? Dan kamu menyembunyikan sesuatu dari pakaian panjangmu sekaligus scarf itu?” Azura tak kuasa menjawab pertanyaan Danian yang jelas tengah menghakiminya. “Zur, jawab!” lanjut Danian terbilang membentak meski ia masih bertutur lirih. Azura refleks menelan salivanya dan menatap tak habis pikir Danian. Mengenai panggilan pria itu kepadanya, Zur. Danian mengerling bingung, tapi buru-buru menyambar tanda pengenal yang terkalung di leher dan ada di d**a Azura. Azura nyaris jantungan karena ulah tersebut. “Saya bukan tukang caabul, jadi jangan separno itu!” omel Danian sambil mendelik karena Azura sampai menyilangkan kedua tangannya untuk menutupi bagian ‘berharga’ wanita itu yang ada di daada. “Lihat, … namamu memang Azura Anatasya Putri! Jadi kenapa kamu masih mengelak ketika aku memanggil namamu?” “Zur …? Tidak ada panggilan lain?” Azura bertutur lirih dan memang karena malas. “Suka-suka saya!” Danian makin menatap kesal Azura. Perdebatan antara Danian dan Azura terusik ketika seseorang mengetuk pintu ruang kebersamaan mereka. “Mbak Azura, ada tamu untuk Pak Danian.” Suara seorang wanita dan sangat familiar di telinga Azura. Setelah sempat terdiam dan menatap canggung satu sama lain, baik Azura maupun Danian, bergegas menjaga jarak. Tak lupa, Danian juga melepaskan kartu tanda pengenal Azura. Danian bergegas pergi memasuki ruang kerjanya dengan rasa dongkol yang mengganjal hati, juga Azura yang bergegas meninggalkan konter meja kerjanya. Keyakinan yang begitu kuat mengenai perubahan Azura, membuat Danian tak langsung memasuki ruang kerjanya. Danian berhenti di depan pintu dengan tangan kanan menahan sekaligus mendorong knop pintu, tapi pandangannya langsung memastikan sepatu yang Azura kenakan. Sebab setelah yakin rambut yang menghiasi kamarnya rambut Azura, juga rekaman CCTV yang jelas menampilkan wanita itu sebagai satu-satunya wanita di malam itu selain Velery, Danian sungguh penasaran kenapa Azura justru terkesan sengaja menutupi semuanya. Deg! Persis seperti yang Danian duga, sepatu flat warna hitam yang Azura pakai, kehilangan salah satu aksesori kupu-kupunya! Aksesori yang Danian tafsir berharga murah di sepatu Azura, sama dengan yang Danian temukan di kamarnya! Jadi, apa yang Azura rencanakan? Apa yang membuatnya menutupi kejadian malam itu, bahkan dia justru menghindariku? batin Danian yang juga langsung terkesiap sekaligus tegang karena tamu yang datang di tengah waktu yang terbilang masih sangat pagi, bukan orang sembarangan. Ibrahim Nurdianto Handoko. Pria berusia tujuh puluh tahun dan merupakan pendiri LUXURY HOTEL tempat Danian bernaung. Pria berpenampilan sederhana yang mengenakan batik lengan panjang warna kuning tua itu tersenyum ramah kepada Azura maupun Danian, ketika tatapan mereka bertemu. “Kenapa Kakek datang sepagi ini?” tanya Danian terbilang ketus. Azura yang masih membimbing Ibrahim untuk masuk mengingat pria yang tak lain merupakan kakek Danian tersebut jalannya sudah bungkuk dan sampai dibantu tongkat, refleks menghela napas sekaligus menggeleng tak habis pikir. Pak Danian begitu beda dengan Pak Ibrahim yang sangat ramah! Bisa-bisanya Pak Danian enggak ada basa-basinya ke kakeknya sendiri! batin Azura yang diam-diam mengamati Danian dan Ibrahim silih berganti. “Kakek hanya ingin mengetahui kabar pernikahanmu yang tinggal hitungan hari. Jangan tanya kenapa Kakek datang sepagi ini, tanyakan saja kepada dirimu, kenapa kamu jadi makin jarang pulang?” tutur Ibrahim. “Kamu harus jaga pola istirahat, jaga kesehatan kamu apalagi kamu tahu, kamu dan kakek serta laki-laki dalam keluarga kita sulit memiliki keturunan.” Pembahasan kabar pernikahan Danian dari Ibrahim barusan, serta masalah internal pihak laki-laki dalam keluarga Danian yang terancam sulit memiliki keturunan, membuat Danian refleks melirik Azura. Tak diduga, di waktu yang sama, Azura juga refleks melirik Danian hingga pandangan mereka bertemu, sesaat sebelum akhirnya mereka menjadi celingukkan. Kenapa jadi begini? batin Danian maupun Azura di waktu yang sama dan lagi-lagi tak sengaja saling lirik. Ternyata Pak Danian sekeluarga mengalami masalah sulit memiliki keturunan. Memikirkan itu, Azura refleks menelan salivanya. Semoga aku enggak sampai hamil! Azura menghela napas dalam kemudian menunduk, memejamkan kedua matanya. Wanita ini, aku benar-benar harus membereskannya! batin Danian lagi sambil melirik Azura, tapi kali ini, Azura tak lagi melirik Danian. Azura sengaja menyibukkan diri menuntun Ibrahim. Ibrahim tersenyum ramah pada Azura yang tampak jelas mengkhawatirkan sekaligus menjaganya. “Caramu memperlakukan saya, menunjukkan betapa kamu mengkhawatirkan sekaligus tulus kepada saya,” ucap Ibrahim sengaja memuji Azura. Azura refleks terdiam untuk beberapa saat karena ia memang tulus menuntun sekaligus agak merangkul Ibrahim. Azura mengkhawatirkan Ibrahim yang memang langsung mengingatkannya pada Arman sang ayah. Sesaat mengulas senyum, Azura berkata, “Saya memiliki ayah yang meski belum terlalu berumur, beliau selalu membutuhkan orang lain dalam melakukan aktivitasnya.” Ibrahim langsung menatap penasaran Azura sambil terus melangkah memasuki ruang kerja sang cucu. Sedangkan di belakang, Danian yang merasa makin tidak nyaman, beberapa kali menepis kebersamaan kedua sejoli di hadapannya. “Kamu yang kuat, ya. Jaga ayah kamu.” Ibrahim sengaja menyemangati Azura. Azura mengangguk prihatin. “Iya, Pak. Efek hidup tidak sehat.” Ibrahim langsung melongok Danian dari sisi bahu Azura. “Dengar, … ayahnya sakit karena hidup tidak sehat. Jadi berhentilah merokok apalagi meminum alkoholl! Jangan lupa, kamu harus selalu makan sehat karena kamu harus secepatnya memiliki banyak anak!” Menyimak nasehat yang Ibrahim lemparkan pada Danian, Azura refleks menahan napas. Semuanya akan baik-baik saja, hubungan kami hanya bos dan karyawan. Kalaupun ada pekerjaan lain, aku akan langsung pergi dari sini! Apa yang terjadi pada Pak Danian bukan urusanku! Danian menatap Ibrahim dengan lirikan tidak nyaman. Apa hubungannya denganku? Yang sakit kan ayah si Zur, bukan aku! Lagian, meski semua laki-laki di keluarga kami mengalami kelainan yang membuat sulit mendapatkan keturunan, aku tidak termasuk ke dalam itu karena aku normal! batinnya tanpa berani protes kepada sang kakek. **** Selepas jam makan siang, Danian yang sampai melewatkan makan siangnya, masih terjaga di ruang kerja. Ia duduk dengan kedua tangan mengisi ruas satu sama lain. Pandangannya yang menatap asal ke depan, tampak begitu serius terlepas dari Danian sendiri yang terlihat sangat gelisah. Velery, … ke mana dia? Kenapa dia mendadak menghilang bak ditelan bumi? batin Danian yang kemudian kembali melongok ke arah Azura. Ia ingin memastikan apa yang sedang Azura lakukan. Karena tak ubahnya Velery yang sukses membuatnya ditawan gelisah, kenyataan Azura yang ia yakini sebagai wanita yang telah ia jebak, juga membuatnya tidak baik-baik saja. “Aku harus berbicara empat mata dengannya mengenai kejadian malam itu!” Danian langsung meraih gagang telepon di depan tangan kanannya dan seketika membuat telepon di hadapan Azura berdering. Danian dapati, Azura yang refleks menoleh kepadanya. Wanita itu tak lagi sibuk mengetik. Akan tetapi, Azura tak lantas menjawab dan justru terlihat berpikir karena bingung. Barulah, sekitar tiga puluh detik kemudian, Azura akhirnya mengangkat gagang teleponnya, dan itu tidak langsung menyapa Danian, bahkan untuk sekadar basa-basi. “Masuk ke ruanganku, kita harus bicara!” tegas Danian. Mendengar itu, Azura langsung merinding, Azura ketar-ketir. Jantungnya berdetak lebih cepat karena ia juga langsung berpikir buruk. Firasat Azura menjadi tidak enak. Apalagi hingga detik ini, dari tempat duduknya, Danian masih menatapnya dengan sangat serius. Tatapan yang benar-benar dipenuhi kekesalan sekaligus kebencian. Dari tempat duduknya, Danian mendapati Azura yang menjadi makin tidak bersemangat. Wanita itu bahkan belum menurunkan gagang telepon yang masih menempel di telinga kanan. Danian refleks mendengkus. Dalam hitungan lima dia tetap tidak mau menemuiku, berarti dugaanku benar! batinnya. Sambil sesekali melirik Azura di tengah napasnya yang memburu, Danian menghitung mundur. “Lima … empat … tiga, dua … satu ….” Azura baru saja bangkit setelah hitungan yang Danian lakukan, selesai. Danian kembali mendengkus, tapi kali ini sambil memejamkan kedua matanya. Antara kesal sekaligus pasrah. Azura melangkah tidak bersemangat sekaligus takut. Ruang kerja Danian yang sebenarnya sangat dekat mendadak terasa begitu jauh akibat rasa takut yang susah payah ia sembunyikan. Danian menyambut kedatangan Azura dengan pandangan tidak nyaman sekaligus tidak sabar. “Duduk,” ucapnya dingin karena apa yang Azura lakukan telanjur membuatnya sangat kesal. Bahkan hingga detik ini, wanita di hadapannya masih teramat lelet dan terlihat jelas menghindarinya. “Saya ingin bertanya, tapi kamu harus menjawab sejujur-jujurnya!” tegas Danian kemudian tak lama setelah Azura duduk di hadapannya. Mereka hanya dipisahkan oleh meja kerja Danian yang terbilang megah. Meja kayu yang bagian atasnya berlapis kaca tebal. Azura berangsur menunduk. “Dan jika kamu berani berbohong, kamu saya pecat!” Apa yang baru saja terlontar dari bibir berisi Danian, sukses membuat Azura tersentak, hingga tanpa direncanakan, tatapan mereka bertemu. Dipecat? batin Azura lemas. Baginya, tak ada hal yang lebih menakutkan dari pemecatan di tengah keadaannya yang sedang membutuhkan banyak biaya hidup. Biaya pengobatan Arman, biaya sekolah Andra, serta sederet biaya lain dan memang sudah menjadi tanggung jawab Azura selaku tulang punggung keluarga. Bersambung ....
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN