Olivia sedang berada di pantry kantor, untuk membuat kopi. Olivia sebenarnya tidak terlalu sering membuat kopi, tapi karena Jemma setiap hari selalu membuat kopi, Olivia jadi ketularan.
Paling tidak, dua hari sekali dia akan membuat kopi dan menikmatinya. Kopi sudah seperti teman berpetualang di tiap harinya. Bukan hanya bagi Olivia, tapi juga karyawan lainnya. Tanpa kopi, bekerja hanya rutinitas yang membosankan, dikejar deadline dan target. Percaya tidak percaya, kopi selalu membantu mereka pushing their limit untuk mencapai hasil kerjaan yang maksimal, tanpa stress, tanpa bad mood, dan mencegah kantuk.
Olivia sangat bersyukur, sebab perusahaan tempatnya bekerja benar-benar memikirkan karyawan. Semua disediakan dan yang paling utama ya terdapat mesin kopi di pantry kantor. Tapi tentunya dengan self service.
Olivia masih mengaduk kopi miliknya di sana. Sengaja sekali di pelan-pelankan, karena sedang bosan berada di ruangan terus menerus sejak tadi pagi.
Olivia mengembuskan nafas gusar saat pikiran-pikiran anehnya mendadak muncul kembali. Pembicaraannya dengan Jemma soal sumber keuangan tadi pagi benar-benar mengusiknya. Jujur saja, sempat terlintas di pikirannya untuk mencari sumber uang yang bisa membuatnya tetap stabil dalam keuangan. Karena demi apa pun, Olivia takut sekali hidup melarat. Benar-benar tidak mau jatuh tersungkur ke bawah.
“Ah sialan! Kenapa juga aku kepikiran itu-itu terus?!” dumalnya kesal. “Ini semua berawal dari perjodohan sialan itu! Jika tidak pernah ada perjodohan itu, mungkin tidak akan begini. Aku juga tak perlu repot-repot bekerja. Melelahkan!”
Olivia benar-benar kesal. Terlebih juga sang ayah tidak berusaha untuk membujuknya pulang atau mencarinya. Padahal bisa dengan mudah sang ayah melacaknya. Tapi ini benar-benar tidak ada pergerakan sama sekali.
“Ayah juga kenapa keras kepala sekali? Kenapa tidak mengalah saja pada anaknya sendiri? Padahal aku anak satu-satunya.” Olivia mendecih pelan. “Benar-benar di luar ekspektasi ku. Harusnya kemarin aku tidak perlu kabur. Tapi mengancam mau gantung diri saja.”
Olivia sedikit menyesali rencana awalnya untuk kabur saat itu. Jika tau reaksi sang ayah seperti saat ini, tentu saja dia akan memilih opsi lain yang mungkin akan sangat berhasil nantinya.
Sayang sekali, sekarang dia tidak bisa berbuat apa-apa. Ini pilihannya sendiri. Pulang pun gengsi. Toh, dia juga tetap bersikeras tidak mau dijodohkan. Akan sangat lucu jika dia pulang ke rumah hanya untuk mengancam mau gantung diri. Bisa ditertawakan oleh orang seisi rumah dia nantinya.
Olivia menggelengkan kepalanya pelan. Terdengar pula helaan napasnya yang frustasi. Gadis itu lantas menikmati kopi buatannya sendiri yang terasa nikmat. Untung, dia masih bisa membuat kopi. Jika tidak, akan sangat memalukan sekali.
“Lebih baik aku kembali ke ruangan sekarang sebelum Jemma mengomel karena aku terlalu lama di pantry.”
Olivia kemudian berbalik dengan cepat, tanpa melihat ke belakang, apakah ada orang atau tidak. Sampai membuat hari ini adalah hari sial baginya, sebab orang yang ada di belakangnya ketumpahan kopi yang dia bawa.
“Oh astaga! Maafkan aku! Maafkan aku! Aku benar-benar tidak tau jika ada orang.” seru Olivia reflek mengambil tisu untuk membantu membersihkan kemeja pria itu tanpa melihat seperti apa rupa dari pria tersebut. “Tapi ini juga salahmu! Kenapa kau berdiri tepat di belakangku?! Jadi ketumpahan kopi kan? Ini panas, aduh! Kalau sampai kulit perutmu melepuh bagaimana?”
Olivia ngomel Jonshon, sepertinya lebih cocok untuk gadis itu. Olivia selalu saja mengomel sampai nyerocos begitu saja. Benar-benar seperti tanpa rem.
“Kau—” ucapan Olivia langsung menggantung dengan kedua pupil mata yang melebar, begitu mengetahui pria itu adalah atasannya. Ya, CEO perusahaan tersebut—Phoenix Leonard Cyrill.
Tatapan datar dari Phoenix membuat nyali Olivia sedikit menciut. Apalagi keterdiaman pria itu begitu menusuk.
“Kenapa diam?”
Sial! Sial! Sial!
Olivia ingin langsung melempar tubuhnya sendiri keluar dari ruangan tersebut. Untuk pertama kalinya mendengar langsung suara Phoenix sedekat ini, entah mengapa membuat hatinya bergetar. Suara Phoenix yang tipe berat membuatnya merinding.
“Kenapa masih diam saja? Ayo lanjutkan menyalahkan saya...” Phoenix menjeda ucapannya. Lalu melirik name tag yang ada di pakaian gadis itu. “... Olivia.”
Olivia sontak kembali melebarkan matanya, begitu Phoenix menyebut namanya secara tiba-tiba. Kaget bukan main.
Saat Phoenix menunjuk name tag yang ada di dadanya, Olivia sontak bernapas lega. Hampir saja dia berpikir yang macam-macam karena tiba-tiba pria itu mengetahui namanya. Mengingat tidak semua atasan hafal dengan nama-nama karyawannya. Apalagi yang memiliki karyawan banyak.
“Mr Phoenix, maaf saya—”
“Ke ruangan saya, sekarang!” sela Phoenix dengan cepat. Lalu langsung pergi meninggalkan pantry begitu saja.
“Mampus kau Olivia! Tamat riwayatmu!” monolognya sambil menepuk jidatnya.
Perintah Phoenix adalah mutlak dan tak terbantahkan. Maka dari itu, Olivia segera menyusul Phoenix ke ruangannya. Sumpah demi Tuhan, jantung Olivia berdebar bukan main. Bukan karena debaran suka atau semacamnya, bukan. Tapi berdebar karena takut terkena amukan, atau paling parah dia dipecat hanya gara-gara kopi. Bisa susah dia nantinya jika benar-benar dipecat. Sudah dapat dipastikan bahwa Alfredo tidak akan mungkin membantunya, sebab terakhir kali mereka bertemu, Alfredo dengan tegas memberitahunya jika dia tak bisa lagi membantunya. Olivia tak bisa membayangkan jika nanti dia harus melamar ke tempat lain. Bisa gila mungkin dia jika kehilangan pekerjaan. Sekarang saja dia sedang stres memikirkan keuangannya yang semakin menipis. Benar-benar tidak mau hidup melarat dan kesusahan.
Gadis itu mempercepat langkahnya menuju ruangan Phoenix dengan mulut yang terus komat-kamit. Menggerutu dan mengumpati kebodohannya sendiri.
“Sial! Gara-gara kopi aku—”
“Oliv!”
Sang pemilik nama lekas menoleh, namun tetap melanjutkan langkahnya. Yang mana membuat rekan kerjanya itu sedikit berlari mendekat.
“Buru-buru sekali? Mau ke mana?”
Sungguh, Olivia sedikit tidak nyaman dengan rekan kerjanya yang satu ini. Baru kenalan dengannya dua hari lalu, tapi sudah sok kenal dan sok dekat sekali. Jujur saja, Olivia ini memang mudah sekali ilfeel dengan seseorang.
“Ke ruangan Mr Phoenix,” jawab Olivia secepat mungkin.
Pria itu mengerutkan keningnya dan tetap berusaha mengimbangi langkah Olivia yang terburu-buru sekali saat ini.
“Ke ruangan Mr Phoenix? Memangnya ada—”
“Sudah ya Chris, aku buru-buru!” sela Olivia, lalu dengan cepat berbelok ke ruangan sang CEO.
Jantung Olivia kembali berdebar tidak karuan sekarang. Takut sekali terkena bentakan yang mungkin akan membuat nyalinya semakin menciut. Baru masuk ke dalam ruangannya saja, hawanya sudah terasa berbeda.
“Permisi, Mr Phoenix. Saya—”
“Saya mau kemeja ini kembali bersih.” sela Phoenix dingin, lalu dengan cepat berbalik. Posisinya memang pria itu tengah berdiri di depan meja kerjanya yang begitu besar.
Olivia menenggak salivanya susah payah, begitu disuguhkan bagian depan tubuh Phoenix yang terekspos.
“Kau harus tau jika kemeja ini sangat mahal. Jadi, saya mau ini kembali dalam keadaan tanpa cacat dan noda.”
Olivia semakin dibuat gila, saat dengan santainya pria itu melepas kemejanya. Tanpa rasa malu sama sekali memamerkan bentuk tubuh yang sangat kekar, atletis. Demi Tuhan, Olivia mau pingsan saja. Pingsan di pelukan Phoenix, bolehkah?
Ah, gila. Olivia semakin dibuat gila saja. Baru melihat sebagian keindahan tubuh Phoenix saja sudah melemah seperti ini. Bagaimana jika melihat seluruhnya? Mungkin gadis itu benar-benar akan pingsan.
Gara-gara mendapatkan suguhan setengah dewasa, Olivia sampai tidak fokus dengan segala yang diucapkan oleh Phoenix. Dia hanya mendengar kalimat pertama Phoenix yang menyuruhnya untuk membersihkan kemeja tersebut.
“Kau dengar atau tidak?!”
Olivia tersadar dan buru-buru mengangguk. Sial sekali. Dia mendadak bisu begini di hadapan Phoenix.
“Tangkap!”
Phoenix melempar kemejanya dan Olivia dengan baik menangkapnya. Diam-diam gadis itu mencebik dan bertekad untuk merubah Phoenix menjadi suka dan tidak galak-galak lagi padanya. Bahkan Olivia mendadak kepikiran untuk membuat Phoenix menjadi sumber keuangannya nanti.
Sungguh, ide gila itu tiba-tiba saja muncul karena kesal pada Phoenix yang ternyata galak sekali. Tapi Olivia juga suka pada Phoenix, karena jujur saja, tipe ideal yang Oliv sukai ada pada pria itu.