Kana segera mengangkat handphonenya ketika nama Jiyo muncul di layar.
“Pagi pak,” sapa Kana sambil meletakan sisir dan menatap jam di dinding yang menunjukan pukul 6 pagi.
“Kana hari ini saya gak masuk, kamu bisa antar semua file pekerjaan ke rumah?” ucap Jiyo dengan suara lemas seperti orang yang baru bangun tidur.
“Baik pak, nanti sesampainya di kantor saya segera kasih semua filenya ke pak Idrus.”
Suara handphone pun dimatikan setelah Jiyo mengucapkan terimakasih. Kana duduk termenung di depan cermin mengingat kejadian semalam. Tadi malam ia pulang bersama Jiyo dan Hera.
Spontan Hera langsung duduk didepan bersama Jiyo. Awalnya Jiyo yang katanya akan mendikte kan pekerjaan yang harus lakukan Kana tak terjadi. Pria itu malah asik ngobrol dan berbincang seru dengan Hera.
“Saya turun disini saja pak,” ucap Kana setelah mendengar bahwa Jiyo ada rencana untuk mampir ke sebuah tempat.
Kana sudah tak ingin jadi kambing conge untuk Hera dan Jiyo, ia tak ingin Hera merasa canggung padanya jika tiba-tiba Jiyo mengajaknya pergi seperti waktu lalu.
“Kamu mau kemana?” tanya Jiyo saat mendengar Kana ingin berhenti disalah satu Mall.
“Mau mampir ke mall dulu sebentar, cari sepatu,” jawab Kana berdalih.
“Tapi kita belum sempat membahas soal surat untuk pak Yogi,” ucap Jiyo lagi. “Lebih baik kamu ikut saya sebentar, kita makan malam sambil membahas …”
“Besok boleh gak pak?” tanya Kana acuh.
Setelah dua minggu bekerjasama Kana yakin ia bisa lebih leluasa berbicara dan mengemukakan pendapatnya pada Jiyo. Apalagi Kana yang pendiam membuat Jiyo sering memintanya untuk mengeluarkan pendapat.
Akhirnya Jiyo memberhentikan mobilnya di pinggir jalan dan membiarkan Kana untuk turun. Kana masih sempat melihat wajah-wajah ceria dari Jiyo dan Hera setelah menurunkan dirinya. Kini mendengar suara Jiyo yang masih serak membuat Kana berpikir bahwa mungkin Jiyo semalaman bersenang-senang bersama Hera sehingga pagi ini ia kelelahan.
Sesampainya di kantor, Kana sengaja menunggu Hera tiba. Tiba-tiba saja jiwa ingin tahunya begitu tinggi sehingga ia ingin melihat wajah Hera pagi ini. Apakah perempuan itu tampak segar atau kelelahan?
“Mbak Hera mana ya?” tanya Kana ketika tepat pukul 9.30 masih belum melihat Hera hadir.
“Mbak Hera gak masuk, katanya gak enak badan,” jawaban Gamila membuat Kana tersedak.
Tiba-tiba bibir Kana merengut, entah mengapa hatinya mendadak sebal sesaat. Entah apa yang membuatnya merasa seperti itu.
Tiba-tiba Karina masuk ke dalam ruangan dan memanggil Kana.
“Pak Idrus sudah tunggu kamu di lobby, berangkat sekarang ya Kana,” suruh Karina cepat.
“Baik mbak,” ucap Kana segera mengambil setumpuk file yang harus ditandatangani oleh Jiyo.
“Loh, kamu gak bawa laptop sama tas? Pak Jiyo minta kamu ikut kerja dirumahnya,” ucap Karina merasa heran melihat Kana begitu santai hanya membawa file saja.
“Loh aku ikut mbak?”
“Duh, kamu ini gimana sih?! Cepat ambil tas dan laptop! Pak Jiyo nungguin, banyak yang harus dikerjain hari ini!” tegur Karina membuat Kana segera berbalik badan dan menyambar tas dan laptopnya.
Kana hanya bisa menatap kosong halaman yang begitu luas ketika ia sampai di kediaman keluarga Jiyo. Baru saja ia masuk ia telah melihat halaman yang luas dan besar yang cukup jauh dari rumah utama.
Belum lagi rumah utama itu terdiri dari 3 rumah kembar yang besar ukuran dan desainnya sama persis. Bahkan dari luar rumah bisa terlihat seolah ada 2 jembatan yang menghubungkan dari rumah yang satu ke rumah lainnya.
“Mbak Kana turun disini saja, nanti tinggal tekan bel dan bilang mau ketemu pak Jiyo,” suruh pak Idrus sambil menghentikan mobilnya tepat dirumah yang berada di posisi tengah.
Dengan ragu Kana turun dan perlahan menekan bel disamping pintu yang sangat besar.
Setelah menunggu cukup lama, seseorang membukakan pintu dan segera mempersilahkan Kana masuk tanpa bertanya siapa dirinya. Ia mengikuti langkah asisten rumah tangga itu melewati dua ruangan besar dan akhirnya belok kanan sampai mentok dan melihat pintu besar disudut.
“Masuk aja mbak, Mas Jiyo masih olahraga kayanya,” ucap sang asisten segera membukakan pintu.
Kana pun masuk perlahan dan melihat Jiyo tengah melakukan stretching dan gerakan yoga. Ruangan besar itu seolah terbelah dua, satu bagian penuh dengan alat olahraga dan satu bagian lagi terdapat meja besar, sofa juga lemari tinggi yang besar dan panjang berisi buku-buku seperti di perpustakaan.
Wajah Kana merona kemerahan melihat tubuh atasannya yang terbalut pakaian ketat sehingga semua ototnya terlihat menonjol dan menunjukan tubuhnya yang atletis.
“Sebentar lagi aku selesai, kamu bisa tunggu di meja itu,” suruh Jiyo saat melihat Kana masuk dan menyuruhnya untuk menunggu di sisi yang lain.
Kana hanya mengangguk dan segera bergerak menuju sofa serta menyibukan diri menyalakan laptop dan mempersiapkan barang-barang lainnya. Tak lama kemudian seorang asisten rumah tangga masuk membawa baki berisi makanan dan minuman dan diletakan didepan Kana.
“Mbak, saya mau ke toilet dimana ya?” tanya Kana karena merasa gugup sehingga membuatnya ingin buang air kecil.
“Yuk mbak, biar saya antar…,” ajak sang asisten rumah tangga mengajak Kana keluar ruangan dan menunjukan sebuah pintu yang tak jauh dari pintu ruang kerja Jiyo.
Kana menyesal tak membawa handphonenya ketika masuk ke toilet di rumah itu. Ingin rasanya ia mengabaikan toilet dirumah atasannya dan memamerkannya pada Sari dan juga Kekeu.
Sebelum masuk toilet saja ada ruangan dengan kaca besar, sofa berdesain classic dengan karpet tebal. Kana rasanya hampir mau lepas sepatu saat masuk. Masuk ke dalam toiletnya pun membuat Kana rasanya ingin berlama-lama. Apalagi saat ia mencuci tangannya di wastafel, ingin rasanya ia mencuri beberapa tetes parfum bermerk yang sengaja disediakan disana.
Rasa penasarannya membuat Kana yang baru keluar dari toilet celingak celinguk dan melihat ruangan besar yang barusan ia lintasi. Melihat grand piano yang terletak di sudut ruangan membuat Kana bergerak menghampiri dan menyentuhnya lembut.
Membayangkan seseorang tengah bermain piano sambil memandang keluar jendela besar sambil menatap taman membuat Kana kagum sendiri.
“Mas! Dengarkan aku dulu! Sampai kapanpun aku tidak akan pernah melepaskanmu! Kamu dengar itu?!”
Jeritan seseorang membuat Kana bergerak mundur. Tiba-tiba saja ada dua orang yang melintas di hadapannya. Seorang pria dan wanita itu pun tampak kaget melihat kehadiran Kana.
“Aku pergi dulu,” bisik pria itu sambil merapikan pakaiannya dan segera mencium pipi perempuan yang baru saja meneriakinya dengan wajah masam lalu meninggalkan perempuan itu begitu saja.
“Mas, tunggu! Aku belum selesai!” perempuan itu segera menyusul pria itu dan tak mempedulikan kehadiran Kana.
Kana segera berlari kembali menuju ruangan kerja Jiyo dan merasa menyesal karena mengikuti rasa keinginan tahunya sehingga melihat sesuatu yang seharusnya tak ia lihat.
“Kamu kenapa?” tanya Jiyo yang baru selesai dengan Yoganya dan tengah menghapus keringatnya dengan handuk.
“Gak apa-apa pak,” jawab Kana bohong dan segera kembali duduk di depan laptopnya.
“Tunggu sebentar ya, saya mandi dulu,” jawab Jiyo cepat lalu keluar dari ruangan.
Tak lama atasannya pun segera kembali dengan rambut basah dan pakaian casual dan mereka berdua pun segera sibuk dan tenggelam dalam pekerjaan sampai seorang asisten rumah tangga mengetuk pintu dan mengatakan bahwa makan siang mereka sudah siap.
“Ayo kita makan siang dulu,” ajak Jiyo sambil berdiri.
“Saya makan siang di kantor aja pak, bawa bekal soalnya.”
“Pekerjaan kita belum selesai, nanti yang ada kamu malah sakit jika makan siang terlalu lama ditunda. Sudah, ayo makan bersama. Masih banyak pekerjaan yang harus diselesaikan,” ucap Jiyo lagi.
“Pak …”
“Ya?”
“Saya sungkan,” jawab Kana jujur sambil meremas kedua tangannya.
Jiyo tergelak.
“Sungkan kenapa sih? Sebelum kamu, ada beberapa asisten pribadiku yang terbiasa untuk makan bersama. Ayo cepat, saya sudah sangat lapar,” ucap Jiyo sambil meninggalkan Kana sendirian.
Dengan cepat Kana mengikuti langkah Jiyo menuju ruang makan. Rumah itu terasa sangat sepi dan membuat Kana merasa lega sehingga ia tak perlu canggung jika bertemu dengan anggota keluarga lain di rumah Jiyo.
“Ayo makan,” ucap Jiyo ketika mereka berdua telah duduk di meja makan. Kana hanya mengangguk dan mulai mengambil lauk dan segera menikmati makan siangnya dengan cepat agar tak perlu berlama-lama di ruang makan.
Tiba-tiba seorang perempuan masuk ke dalam ruang makan dan menyapa Jiyo dengan keadaan setengah mabuk. Perempuan itu adalah perempuan yang tadi tak sengaja bertemu dengan Kana.
Ia masih mengenakan kimono tidur satin yang sama dengan wajah yang semrawut tetapi tak bisa menyembunyikan kecantikannya. Usianya mungkin sudah memasuki empat puluh tahun, tetapi masih terlihat sangat cantik dengan tubuh ramping yang indah.
“Tante Elena … ini masih siang!” tegur Jiyo saat melihat wanita cantik itu masuk ke ruang makan dengan sempoyongan sambil membawa segelas wine.
“Biar! Rasanya tante ingin pergi saja dari sini!” pekiknya gusar sambil menghapus air matanya.
“Siapa dia? Cantik … siapa namamu?” tanya wanita itu sambil menghampiri Kana dan menatapnya dengan pandangan dalam.
“Kana, kamu tunggu sebentar ya…,” ucap Jiyo sambil berdiri dan mengajak perempuan yang dipanggilnya tante itu untuk keluar dari ruangan sebelum ia semakin meracau karena mabuk.
Kana hanya bisa meneruskan makannya dengan cepat lalu kembali ke ruangan kerja Jiyo. Hatinya menjadi gelisah karena lagi-lagi seharusnya ia tak melihat kondisi internal keluarga atasannya, itu bukan urusannya.
Sebuah pesan masuk ke dalam handphone Kana dan pesan itu berasal dari Hera yang menanyakan dimana Kana saat ini.
“Sedang kerja di rumahnya pak Jiyo,” jawab Kana pendek.
“Kamu selesai jam berapa?” tanya Hera lagi.
“Belum tahu mbak … mungkin setelah makan siang kami akan lanjut meeting sebentar setelah itu saya kembali ke kantor. Mbak ada pesan untuk pak Jiyo, kah?” tanya Kana menerka maksud Hera.
“Akh, tidak. Tadi aku ingin ajak kamu untuk pulang bersama, ternyata kamu gak dikantor.”
“Loh, bukannya mbak Hera katanya lagi sakit?”
“Akh, iya tapi setelah itu aku gak apa-apa kok, masih kuat untuk kembali bekerja setelah istirahat setengah hari.”
Kana tak membalas kembali pesan Hera karena Jiyo sudah kembali keruangan dengan raut wajah yang sedikit murung.
“Maafkan kejadian tadi ya,” ucapnya cepat. Kana hanya bisa mengangguk dan kembali fokus pada pekerjaannya.
Jiyo pun tak menjelaskan apapun pada Kana apa yang terjadi pada perempuan yang ia panggil dengan panggilan tante tadi.
Waktu masih menunjukan pukul 3 siang ketika semua pekerjaan itu selesai.
“Aku ijin pamit untuk kembali ke kantor ya pak,” ucap Kana sambil membereskan laptopnya.
“Gak perlu, kamu bisa langsung pulang.” Ucapan Jiyo membuat Kana terbelalak senang.
“Beneran pak?” tanya Kana ingin memastikan ucapan atasannya.
“Iya, kamu gak mau?” ucap Jiyo balik bertanya.
“Mau … mau…,“ jawab Kana senang. Ia pun segera membereskan barang-barangnya agar bisa segera pulang untuk menikmati waktunya. Apalagi rumah Jiyo tak terlalu jauh dari rumahnya.
“Ohya, Kana … aku hanya ingin mengingatkan, apapun yang kamu lihat dan kamu dengan yang berhubungan dengan saya semuanya adalah confidential. Kamu mengerti itu,kan?” ucap Jiyo sebelum Kana keluar dari ruangan.
Kana segera mengangguk dan menundukan kepalanya ketika melihat Jiyo tampak serius mengatakan kalimat terakhir padanya. Kana pun segera meninggalkan rumah Jiyo dan melupakan niatnya untuk menceritakan apa yang terjadi pada Sari. Kini ia menyadari bahwa menjadi asisten pribadi Jiyo juga berarti membuat mulutnya tertutup rapat. Tentang Hera dan juga tentang Elena.
Bersambung.