Kana menghela nafas panjang, ia sudah tiba tepat pukul 7 pagi walau waktu masuk kerja masih pukul 9 tepat nanti. Semalaman ia tak bisa tidur nyenyak karena memikirkan pekerjaan yang diberikan Jiyo padanya dan harus selesai pagi ini. Kana langsung membuka laptopnya dan berusaha konsentrasi sebisa mungkin agar bisa menyelesaikan peer nya tepat waktu walau tubuhnya masih terasa lelah karena kurang tidur.
Tanpa terasa waktu pun berlalu sampai akhirnya Kana menyadari bahwa teman-teman seruangannya telah tiba.
“Kana, ayo sini … aku bawain kopi dan croissant buat kita semua,” sapa Hera ketika ia masuk ke dalam ruangan.
Tetapi belum sempat ia menikmati kopinya tiba-tiba handphonenya berbunyi dari Karina yang memanggilnya keruangan lain.
“Di bawa aja kopi dan Croissant nya, kamu belum sarapan, kan?” tanya Hera ketika melihat wajah Kana sedikit panik karena telepon Karina.
“Nanti aja mbak, aku keruangan mbak Karina dulu,” pamit Kana cepat dan meninggalkan ruangan.
Sesampainya di ruangan Karina, perempuan itu segera memberikan beberapa kantong baju berisi jas dan kemeja.
“Malam ini pak Jiyo ada pertemuan penting dan pakaian ini akan ia pakai nanti malam. Kamu simpan ini di ruangannya, kalau sampai setelah selesai makan siang ia belum sampai ke kantor, kamu harus antar pakaian ini ke tempat pak Jiyo berada biar dia bisa pakai sebelum pertemuan.”
“Baik mbak,” jawab Kana singkat dan segera bergegas membawa pakaian itu ke dalam ruangan kerja Jiyo dan meletakkannya di lemari khusus. Ia pun segera membuat reminder di handphonenya.
Kana pun tampak kewalahan karena Karina mengajarinya dengan cepat kebiasaan dan menyuruhnya untuk tahu jadwal Jiyo setiap harinya.
“Mbak, ini rasanya aku seperti asisten pribadi pak Jiyo ya?” ucap Kana dengan nada bercanda walau sebenarnya ia bertanya dengan sungguh-sungguh. Mengerjakan administrasi dan harus mengatur waktu serta semua urusan Jiyo membuatnya kelabakan.
“Loh, job desk kamu kan memang itu! Pak Jiyo juga sering keluar kantor dan keluar kota, kamu harus terbiasa untuk mengikuti kebiasaannya, bahkan kamu harus mulai berkenalan dengan seisi rumahnya. Karena kadang-kadang pak Jiyo lebih senang bekerja dari rumah.”
“Hah?!”
“Kenapa?”
“Mbak, aku takut … aku gak ngerti,” rengek Kana tak bisa menyembunyikan ke khawatirannya.
“Makanya sekarang tugasku buat ngajarin kamu. Tapi tenang saja, keluarga pak Jiyo baik kok. Tetapi saranku hanya satu, kamu harus bisa berpenampilan menarik, karena pak Jiyo selalu ingin semua karyawannya berpenampilan baik.”
Kana hanya bisa menghela nafas panjang. Buatnya berpenampilan menarik tandanya ia harus mengeluarkan banyak uang dari sakunya untuk bisa membeli pakaian dan pelengkapnya. Menjadi staff biasa membuatnya terbiasa menggunakan pakaian yang itu-itu saja. Boro-boro memikirkan untuk tampil charming.
Kana rasanya baru bisa bernapas ketika sebelum makan siang, ia sudah boleh kembali ke ruangannya oleh Karina. Baru saja ia hendak menyiapkan makan siangnya, tiba-tiba handphonenya berdering dari seseorang yang tak ia kenal.
“Halo,” sapa Kana dingin merasa sedikit terganggu.
“Ini saya, Jiyo. Kamu sudah diberitahu bahwa saya ada acara malam ini, kan?”
“Oh, bapak! Sudah, pak!” jawab Kana lantang sambil berdiri tegak merasa terkejut dengan siapa yang menghubunginya.
“Bagus, kalau gitu nanti kamu bawakan saja sekalian sebelum kita datang ke acara makan malamnya PT. Amirta. Nanti saya kasih tahu kamu bertemu saya dimana.”
“Maaf, pak? Saya ikut datang?” tanya Kana mencoba mengulang ucapannya.
“Iya, untuk malam ini tolong kamu ikut, ada beberapa hal yang saya butuh bantuanmu,” jawab Jiyo cepat dan tak lama kemudian mematikan komunikasi mereka.
Kana bergerak panik kembali menghampiri Karina diruangannya yang tengah bicara dengan seseorang.
“Mbak, pak Jiyo suruh aku ikut acara nanti malam … aku bingung mbak!”
Karina hanya diam dan memberikan tangannya pada Kana agar diam terlebih dahulu sebelum akhirnya ia menyelesaikan komunikasinya.
“Trus kenapa emang?” ucap Karina menanggapi kepanikan Kana.
“Aku boleh pulang dulu gak ya mbak, masa aku pake baju begini?” keluh Kana menatap bayangan dirinya yang tampak lusuh untuk hadir ke acara resmi.
“Makanya aku bilang setiap hari penampilan kamu itu harus rapi! Pekerjaanmu kan campur-campur sekarang! Sudah gak usah pake acara pulang, nanti pinjam saja bajuku, ukuran tubuh kita sama bukan? Sudah sana selesaikan pekerjaanmu, nanti pukul 4 kamu kesini lagi,” ucap Karina cepat sambil memandang dari atas sampai bawah tubuh Kana.
***
Tepat pukul 4 sore Kana sudah berada diruangan Karina dan tengah menatap dirinya di depan cermin panjang.
“Tuh, kan cantik! Kamu tuh cocok pake pakaian seperti ini, usahakan mulai besok dan seterusnya berusahalah berpakaian elegan,” ucap Karina yang sibuk mendandani Kana.
Kana menatap Karina perlahan, setiap hari perempuan itu mengingatkannya untuk selalu berpakaian rapi dan elegan. Mendadak hatinya menciut dan merasa apa ia selusuh itu.
“Kamu sudah siapkan pakaian pak Jiyo? Ayo berangkat, pak Idrus sudah menunggu di lobby,” suruh Karina cepat seolah tak ingin Kana membuang waktunya.
Kana segera menyambar 2 gantungan baju yang terbungkus sarung pakaian dan segera berjalan menuju lift dengan tangan penuh dan kaki yang berjalan tertatih-tatih. Ia tak terbiasa mengenakan high heels sehingga ia berjalan sedikit lambat dan kaku.
Selama perjalanan ia hanya bisa komat-kamit berdoa semoga hari ini ia bisa bekerja dengan baik dan tidak memalukan siapapun.
“Kana? Wow, kamu terlihat berbeda! Mana pakaianku? Setelah aku berganti pakaian kita langsung pergi karena waktu makan malamnya dimulai pada pukul 7 malam,” ucap Jiyo ketika Kana sudah sampai menjemputnya di salah satu perkantoran.
Walau ia hanya berjalan sedikit dan naik turun mobil, Kana mulai merasakan kakinya sakit dan sedikit perih karena mulai lecet. Ia hanya bisa memarahi dirinya sendiri dalam hati untuk tidak merasakan sakit apapun disaat seperti ini, kecemasannya lebih besar dari pada rasa sakit di kakinya.
“Kana, sini, jangan terlalu jauh dariku. Nanti tolong aku untuk mengingat nama-nama orang yang telah menyapa dan mengajakku berbicara ya,” bisik Jiyo sambil menarik lengan Kana perlahan agar tak berdiri jauh darinya.
Kana hanya bisa mengangguk dan mengikuti Jiyo berkeliling untuk menyapa dan berbincang dengan banyak orang-orang. Saat makan malam tiba, Jiyo segera duduk ditempat yang telah disediakan bersama beberapa kolega lainnya, sedangkan Kana duduk dimeja tak jauh dari Jiyo berada. Matanya tertegun pada name tag yang berada di atas mejanya yang tertulis namanya.
Perlahan ia mengambil handphone dan dengan sembunyi-sembunyi mengambil foto untuk name tag itu. Ada senyum yang mengembang diwajah Kana, rasanya untuk pertama kali ia merasa diakui.
Sambil mendengarkan pemilik acara berbicara di depan podium mereka semua menikmati makan malam. Wajah Kana memerah karena tak sengaja ia menjatuhkan garpu saat hendak makan.
“Sini, biar saya bantu,” sapa seorang pria yang duduk disampingnya sambil mengambil garpu untuk Kana dan meminta waiters lain mengambilkan gantinya.
“Terimakasih,” jawab Kana pelan dan malu.
“Saya Brian,” sapa pria itu sopan mengajak Kana berkenalan.
“Kana,” jawab Kana perlahan membalas jabatan tangan Brian. Dan dengan sopan juga Brian mengeluarkan kartu namanya untuk diberikan pada Kana lalu menjelaskan sedikit kenapa ia ada ditempat itu.
Mata Kana terpaku ketika melihat jabatan yang ada di kartu nama Brian dan menyadari bahwa yang datang malam ini hampir semuanya berjabatan cukup tinggi dan minimal manager area. Kana hanya bisa mengangguk dan tersenyum mendengar Brian yang senang sekali ngobrol dan bercerita.
“Kana,” panggilan Jiyo membuat Kana segera menoleh dan menyadarkannya bahwa ia harus kembali bekerja.
“Sebentar ya,” pamit Kana pada Brian dan segera menghampiri Jiyo. Jiyo pun segera memberitahu Kana mengenalkannya pada beberapa orang dan memberitahu gadis itu untuk mencatat agar bisa segera membuatkan jadwal meeting dengan orang-orang tersebut.
Setelah selesai, Kana segera kembali ke tempat duduknya dan tak menemukan Brian disana. Tetapi ia melihat sebuah tissue yang tersimpan di dekat tasnya.
“Hubungi aku, benar-benar aku tunggu WA mu -Brian-”
Kana hanya bisa menoleh ke kanan dan ke kiri mencari Brian tetapi pria itu sudah tak terlihat. Ada senyum yang tersungging di bibir Kana karena setelah sekian lama, akhirnya ia merasa ada pria yang tertarik padanya.
Waktu telah menunjukan pukul 10.30 malam ketika Jiyo dan Kana berjalan menuju lobby hotel setelah acara makan malam itu selesai. Kaki gadis itu benar-benar pegal, sakit dan perih menahan lecet. Rasanya ia ingin pingsan menahan semua perasaan itu.
“Ayo saya antar,” ucap Jiyo ketika mobilnya yang dikendarai pak Idrus sampai di depan lobby.
“Gak usah pak, saya sudah pesan taksi online,” jawab Kana berbohong karena tak ingin berlama-lama dengan si bos.
Jiyo hanya mengangguk lalu masuk ke dalam mobil membuat Kana merasa lega luar biasa dan segera melepas sepatunya cepat.
Ia segera menjinjing sepatunya dan berjalan tak peduli tanpa alas kaki melewati lobby hotel untuk menuju halte bus yang tak jauh dari situ. Kana baru saja hendak memesan ojek online ketika sebuah mobil berhenti di hadapannya. Mobil Jiyo.
“Kana,” panggilan Jiyo membuat Kana hampir melompat kaget tak menyangka melihat bosnya lagi yang tengah menatapnya dengan jendela mobil yang setengah terbuka.
“Naik,” suruh Jiyo tanpa basa-basi sambil menatap kaki Kana yang tanpa alas kaki.
“Saya sudah pesan ojek online pak,” jawab Kana gelagapan.
“Batalkan, ayo naik,” ucap Jiyo cepat. Dan pintu depan mobilnya pun terbuka dari dalam membuat Kana mau tak mau naik dan duduk disamping pak Idrus.
“Maaf ya pak … jadi ngerepotin,” ucap Kana perlahan karena bingung harus berbicara apa.
Tak ada jawaban dari Jiyo, dari kaca spion terlihat Jiyo asik browsing dengan handphonenya. Hening. Disaat-saat seperti ini Kana menyadari bahwa ia tak se interaktif Hera yang bisa membuat suasana menjadi hangat. Ia terlalu kaku dan tak tahu caranya berbasa basi.
Kana hanya bisa mengucapkan terimakasih pada Jiyo dan pak Idrus ketika mobil itu berhenti di gerbang di depan kost-kostannya lalu segera masuk ke dalam sambil berjalan perlahan tanpa alas kaki. Ia hanya ingin segera membersihkan diri dan tidur untuk melepaskan ketegangan pekerjaannya hari ini.
Kana baru saja membersihkan dirinya saat pintu kamar kost-annya diketuk. Perlahan Kana membuka pintu dan melihat satpam kost-annya menyodorkan sebuah plastik kecil.
“Ini tadi ada titipan dari mobil yang nganter neng Kana. Katanya obat untuk kaki,” ucap pak Odi sang security.
Kana hanya diam dan menatap salep, plester dan beberapa product lainnya. Ia tak menyangka Jiyo akan kembali lagi hanya untuk memberikan obat-obatan itu padanya. Kana segera mengambil handphonenya untuk mengucapkan terimakasih, tetapi sudah ada satu pesan dari Jiyo.
“Saya belikan salep buat kaki kamu.”
“Makasih ya pak,” balas Kana.
“Kalau masih sakit kakinya, besok WFH saja.”
Kana menatap handphonenya dengan pandangan terharu. Ia tak menyangka bahwa atasannya akan seperhatian itu padanya. Tentu saja Kana merasa enggan untuk tidak masuk hanya karena kakinya lecet, tetapi perhatian Jiyo membuatnya menjadi bersemangat untuk bisa bekerja untuk lebih baik lagi.
***
Siang itu Kana baru saja menyelesaikan pekerjaannya saat Karina masuk ke dalam ruangan dimana Kana dan 3 staff lainnya berada.
“Kana, dikasih oleh-oleh nih dari pak Jiyo!” ucapan Karina didepan pintu yang cukup keras membuat semua orang menoleh.
Terlihat Karina tengah berdiri sambil menaikan tangannya yang memegang paperbag cukup besar.
“Oleh-oleh?” tanya Kana bingung sambil berjalan tertatih bekas lecet dan sakit kakinya kemarin malam.
“Katanya ada yang belum biasa pake high heels, jadi pak Jiyo beliin ini buat kamu. Anyway … good job Kana. Pak Jiyo suka sama hasil kerja kamu kemarin,” bisik Karina bangga pada anak didiknya.
Kana hanya tersenyum dan mengucapkan terimakasih sambil menerima paper bag dari Karina. Saat kembali ke tempat, Kana segera mengeluarkan apa yang diberikan Jiyo padanya dan tersenyum sendiri. Entah apa yang menginspirasi Jiyo sehingga memberikan Kana sepasang sendal gendut yang empuk.
Kana tak menyadari bahwa ada dua perempuan lain diruangan itu yang mencuri pandangan padanya. Gamila dan Hera. Gamila menatap Kana dengan pandangan iri sedangkan Hera menatapnya dengan pandangan dalam dan sendu.
Bersambung.