PART 8 - Memikirkanmu

1309 Kata
Ada apa dengan laki-laki itu? Kenapa dia melakukan itu padaku? Kenapa dia tiba-tiba mencekik leherku hanya karena aku meninggalkannya dengan ibunya? Lara tak habis pikir. Tak pernah bisa menebak isi pikiran bosnya yang bernama Damian Lavingston. Pertama kali bertemu dengannya di kampus - Lara kira dia laki-laki baik. Laki-laki pintar yang sempurna - dengan wajah tampan dan misterius. Lalu saat bertemu dengannya di klub malam, penilaian Lara berubah. Lara melihat Damian hanyalah pria berengsek yang tak menghargai orang lain, apalagi perempuan. Dan itu terbukti ketika hari pertama ia magang di kantornya. Pikiran Lara berubah kembali saat laki-laki itu menolongnya di gang rumahnya. Laki-laki itu memiliki sisi yang membuat Lara merasa aman. Tahu bahwa laki-laki itu memiliki sisi baik, penilaian Lara sedikit berubah. Damian Lavingston tak seburuk yang ia kira. Namun hari ini, semuanya kembali ke awal. Damian Lavingston benar-benar berengsek. Laki-laki itu sangat kasar dan tak bisa ditebak. Lara menyentuh lehernya - masih merasakan sisa cengkeraman tangan Damian di sana. Mungkin besok akan membekas karena laki-laki itu tak main-main saat mencekiknya. Lara bahkan berpikir dirinya akan mati di tangan bosnya itu. Bukankah Lara harus melaporkannya pada polisi? Atau pada psikiater? Sepertinya Damian Lavingston memerlukan perawatan psikiater seperti ibu Lara. Lara keluar dari bus dan berjalan masuk ke gang rumahnya. Ketika melewati gang itu, Lara selalu mengingat saat Damian menolongnya dari perampok kemarin. Namun, kali ini Lara tak tersentuh sama sekali. Rasa sakit di leher dan tangannya lebih kuat dari rasa berterima kasihnya. Sebuah lampu menyorotinya dari belakang. Lara berbalik dan melihat mobil yang tak asing. Kaca mobil itu terbuka dan seorang laki-laki tersenyum pada Lara. "Masuklah, aku akan mengantarmu pulang," kata Romn - psikiater yang menangani ibu Lara. "Kenapa kau ada di sini?" tanya Lara. Romn keluar dari mobil dan membukakan pintu untuk Lara. "Aku melihatmu turun dari bus. Aku khawatir kau akan diculik orang jahat jika berjalan di sini malam-malam," kata Romn saat mereka sudah masuk ke mobil. "Kau tak perlu melakukannya. Rumahku sudah dekat," kata Lara sambil memasang sabuk pengaman. "Lima ratus meter menurutku tidak dekat, Lara. Sesuatu yang buruk bisa menimpamu selama lima ratus meter itu." Lara tak membalas perkataan Romn. Perempuan itu menggenggam pergelangan tangannya agar Romn tak melihat bekas kemerahan di sana. Lara tidak ingin mendengar pertanyaan-pertanyaan Romn malam itu. "Sudah kubilang untuk pindah ke tempat yang lebih aman. Kenapa kau masih tinggal di sini?" tanya Romn dengan khawatir. "Harga sewa di sini yang paling murah," jawab Lara. "Aku bisa memberimu uang untuk pindah, Lara. Kalau kau tak mau menerima uangku, aku bisa meminjamimu. Kau bisa mengembalikannya kapan pun kau mau," kata Romn dengan tulus. "Maaf, tapi aku tak suka berhutang. Apalagi pada orang asing." Romn tersinggung. "Orang asing? Aku sudah mengenalmu selama enam tahun, sejak kau masih SMA. Bu Viola adalah pasien pertamaku. Kita sudah bertemu ratusan kali dan aku tahu semua tentang kehidupanmu - bahkan masa lalumu - dan kau masih menganggapku orang asing?" tanya Romn. "Kau tahu karena itu pekerjaanmu. Kalau kau bukan psikiater, aku juga tak akan menceritakan semuanya padamu." "Baru kali ini aku merasa beruntung menjadi psikiater. Karena aku bisa mendengar ceritamu." Romn menepikan mobilnya di depan rumah Lara. "Tapi aku serius, Lara. Aku bisa memberimu uang berapapun yang kau minta," kata Romn. Lara turun dari mobil Romn dan tak menyangka Romn ikut turun. "Kenapa turun? Bukannya kau langsung pulang?" tanya Lara. "Apa aku tak boleh masuk dan menyapa ibumu? Aku bisa sekalian memeriksanya." Lara berpikir sebentar sebelum mengangguk. Perempuan itu masuk ke dalam rumah, diikuti Romn dari belakang. Mendengar pintu terbuka, Daran langsung muncul. Daran tersenyum lebar ketika melihat Romn. Adiknya yang masih SMA itu memang menyukai Romn sejak dulu. Daran sudah menganggap Romn sebagai kakak laki-lakinya. "Kak Romn," panggil Daran. "Hei, bagaimana kabarmu?" tanya Romn. "Aku tentu saja baik. Masuk sini, ibu pasti senang bertemu dengan Kak Romn," kata Daran. Lara melihat mereka duduk di ruang tamu dan langsung masuk ke kamarnya. Perempuan itu menatap dirinya di cermin. Melihat bekas kemerahan di lehernya yang putih. Lara segera melepas pakaian kerjanya. Menggantinya dengan turtleneck sweater untuk menutupi lehernya. Lara keluar dari kamar dan melihat keluarganya sudah berkumpul di meja makan - termasuk Romn yang terlihat nyaman di rumah kecil itu. "Kak Romn, Kak Lara sekarang tak pulang malam lagi. Aku senang akhirnya ia berhenti bekerja di bar," kata Daran. "Aku hanya magang sebentar, Daran. Aku akan kembali bekerja di bar jika magangku sudah selesai," ucap Lara. Kening Daran berkerut. "Kak Romn, coba bilang ke Kak Lara agar tak bekerja di tempat itu. Aku khawatir dia kenapa-kenapa. Aku bahkan tak bisa masuk ke sana dan mengawasinya bekerja," kata Daran. Lara menatap adiknya tajam. "Kau masih di bawah umur. Awas saja kalau kau masuk ke tempat seperti itu," kata Lara. "Lihatlah dia! Kak Lara tak pernah mendengarkanku!" Romn tertawa kecil. "Kau pikir Lara akan mendengarkanku? Dia bahkan menolak tawaranku untuk bekerja di klinikku." "Lara memang tak pernah mendengarkan siapa pun," kata Viola dengan wajah kosong. Lara tersenyum. "Tapi aku mendengarkan ibu. Aku akan melakukan apapun yang ibu minta. Bukankah itu cukup?" kata Lara. Viola menggeleng sambil menatap Lara dengan pandangan tak fokus. "Sesekali - pikirkan dirimu sendiri, Lara," kata Viola. Lara senang karena ibunya sudah banyak bicara. Beberapa bulan ini ibunya tak lagi berdiam diri di kamar setiap hari. Lara membelikannya berbagai bunga dan ibunya kadang menanamnya di samping rumah. Membuat kebun yang mirip sekali dengan kebun di rumahnya dulu. Lara tak yakin itu pilihan yang benar - karena kebun itu bisa mengingatkan ibunya tentang masa lalu dan akan memperburuk keadaannya. "Ibu tak boleh minum terlalu soda. Biar aku buatkan s**u," kata Lara sambil mengambil minuman soda yang ibunya pegang. Lara pergi ke dapur dan Romn mengikutinya dari belakang. Lara merebus air untuk membuatkan ibunya s**u hangat. Sedangkan Romn mengambil air dingin di kulkas. "Ahhh.." teriak Lara saat tangannya menyentuh panci yang masih panas. Romn segera mendekat dan membawa tangan Lara ke air mengalir. "Apa yang kau pikirkan? Kau tak tahu kalau panci itu panas?" kata Romn khawatir. Lara menarik tangannya. "Tidak apa-apa. Tak sakit sama sekali. Terima kasih," kata Lara sambil mengambil gelas dan membuat s**u. Romn bersandar di meja belakangnya. Memperhatikan Lara dari belakang. "Bagaimana perasaanmu akhir-akhir ini? Apa kau meminum obat ibumu lagi?" tanya Romn. Lara menggeleng. "Aku tak melakukannya lagi. Kau tak perlu khawatir," kata Lara. "Bagaimana dengan tempat magangmu? Kau menyukainya?" tanya Romn lagi. "Aku tak pernah menyukai apapun, Romn. Aku hanya bekerja. Orang tak selalu menyukainya pekerjaannya." "Kau magang di Lavingston Group, kan? Aku punya banyak kenalan di sana. Kalau ada masalah, kau bisa memberitahuku. Kenalanku pasti akan membantumu," kata Romn. "Kau tak perlu melakukan itu, Romn." "Aku perlu melakukannya, Lara. Agar diriku tenang." "Romn ..." "Aku tahu kau akan berkata apa. Kau pasti akan menyuruhku untuk tak peduli padamu, melupakan perasaanku padamu, atau hal mustahil lainnya. Kau tak perlu mengatakannya. Aku tahu," kata Romn dengan senyum kecil. Lara meletakkan tangannya di gelas. Menyerap kehangatan minuman yang baru ia buat. "Kau laki-laki yang baik, Romn. Jadi jangan menghabiskan waktumu untukku, cobalah berkencan dengan orang lain," kata Lara lalu meninggalkan Romn di dapur. "Kau benar-benar pintar membuatku terluka, Lara," kata Romn di belakangnya yang masih sempat Lara dengar. Lara meletakkan s**u hangatnya di meja depan ibunya. Perempuan itu berkata pada Daran, "Aku ke kamar dulu. Kalau Romn sudah pergi, kau antar ibu ke kamar," katanya lalu masuk ke kamarnya. Di kamar, Lara masih mendengar suara tawa Daran dan Romn yang bersahutan. Terdengar sangat akrab dan penuh tawa, beberapa kali Lara mendengar ibunya juga tertawa. Romn sangat dekat dengan keluarganya, hingga membuat Lara sedikit tak nyaman. Lara tahu ia tak akan bisa membalas perasaan Romn. Karena Lara tak pernah memikirkan Romn. Karena bukan Romn yang memenuhi kepalanya. Hanya laki-laki itu - laki-laki yang menjungkir-balikan perasaannya hari ini - yaitu Damian Lavingston. Dan Lara tak pernah memikirkan siapapun seperti ia memikirkan Damian malam ini - meskipun itu hal buruk yang membuat Lara takut bertemu dengannya besok hari.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN