PARTE 2 - Pertemuan Kedua

1652 Kata
"Lara! Lara! Kesini!" bisik Vema, teman kerja Lara yang berbadan kecil. Lara mendekati sahabatnya yang tengah menyapu itu. Mengikuti arah pandangannya dan melihat seorang laki-laki yang tak asing, tengah duduk di sekitar perempuan-perempuan bayaran paling terkenal di klub malam itu. Jumlahnya ada enam perempuan. Sebelumnya tak ada yang memesan perempuan sebanyak itu untuk dirinya sendiri. Tapi bukan itu yang membuat Lara terkejut. Tapi karena wajah dingin yang kini bersandar ke bahu perempuan di sampingnya. Laki-laki berambut panjang yang tak asing bagi Lara. Laki-laki yang membuat Lara tak bisa memalingkan wajahnya satu detik pun. Mungkin - sudah satu bulan yang lalu - Lara pertama kali melihat laki-laki itu. "Lihatlah, kau tahu siapa laki-laki itu? Sumpah, kenapa dia datang ke klub ini? Dia kan hanya mengunjungi Big Three selama ini. Dia tak pernah datang mau datang ke klub malam kecil seperti ini," kata Vema. "Big Three?" tanya Lara. "Riven Bar, Simone Club, dan Delivery Club - tiga klub termahal dan termewah di negara ini. Jangan bilang kau baru tahu, Lara?" tanya Vema dengan menyelidik. Lara pernah mendengar istilah Big Three, tapi dirinya tak tahu kalau itu sebutan tiga klub malam terbesar di Inggris. "Memangnya siapa laki-laki itu?" tanya Lara. Vema menatap Lara seolah perempuan itu manusia berkaki tiga. "Kau tak tahu? Kau tak tahu Damian Lavingston? Kau benar-benar orang asli Inggris kan, Lara?" tanya Vema. "Aku tahu. Aku pernah melihatnya di kampus. Tapi, memang siapa dirinya?" tanya Lara. "Dia adalah anak bungsu keluarga Lavingston - pemilik Lavingston Group, perusahaan real estate dan properti terbesar di sini. Dia adalah konglomerat paling atas di negera kita. Ayahnya mungkin lebih dihormati daripada perdana menteri, Lara," kata Vema. Lara menatap laki-laki itu cukup lama. Seperti ada magnet yang selalu menariknya ke arah laki-laki itu. Meskipun Lara baru bertemu dengannya dua kali, tapi Lara merasa tak asing dengan keberadaan laki-laki itu. Membuat udara di sekitarnya menjadi dingin, tapi bukan sesuatu yang Lara tak suka. Lara sangat penasaran dengannya. "Berhentilah menatapnya! Kau boleh kagum pada ketampanannya, tapi kau tak boleh mendambakannya. Meskipun dia tampan, tapi dia juga berengsek, Lara," kata Vema sambil terus menyapu di depan Lara. "Berengsek?" kata Lara seperti orang bodoh yang terus mengulangi perkataan Vema. "Dia sudah terkenal menjadi pelanggan Big Three Club. Mungkin tidak ada perempuan yang belum pernah ditidurinya di kota ini, kecuali aku dan kau - tentu saja," kata Vema diakhiri dengan tawa kecil. Lara mengerutkan keningnya. Membuat Vema mendesah panjang. "Sudahlah. Kau tak perlu tahu. Kau juga tak akan tertarik dengan kehidupan konglomerat sepertinya, kan? Dia tentu saja bukan wilayah kita. Dia tak akan melirik kita. Lihat saja siapa yang duduk di kiri kanannya? Hanya model dan artis terkenal yang sering menemaninya," kata Vema lagi. Vema meninggalkan Lara yang masih termenung di tempatnya berdiri. Berdiri dan tak bisa melepaskan pandangannya pada Damian Lavingston. Hingga bosnya - pria dengan penampilan feminim yang tengah menatap tajam pada Lara menyadarkannya. "Lara! Kembali bekerja! Kenapa kau hanya berdiri seperti orang bodoh! Kau kira ini bar milik kakekmu?!" bentak Benton yang suara terngiang kemana-mana. Lara segera menunduk lalu pergi dari ruangan itu. Perempuan itu mengambil makanan dari dapur dan mengantarnya pada pelanggan. Sebisa mungkin menghindara meja Damian dan perempuan-perempuan panggilannya. Itu malam Minggu dan bar lebih ramai dari biasanya. Lara bahkan tak ada waktu hanya untuk mengistirahatkan kakinya. "Lara!" panggil Annie, atasan Lara yang sudah menerimanya bekerja di Chleonata Bar. "Iya, Miss?" tanya Lara, Miss adalah panggilan Annie di bar itu. "Tolong antarkan minuman ini ke ruangan G10. Setelah mengantarnya, langsung keluar ya. Pelanggan di sana tak suka dengan pelayan yang bergerak tak cepat. Kau tahu itu ruangan VVIP, kan?" tanya Annie. "Baik, Miss," kata Lara sambil menerima nampan yang berisi banyak minuman mahal. Lara berjalan dengan hati-hati, takut minuman itu jatuh dan ia bahkan - tak akan bisa mengganti harga nampannya, apalagi minumannya. Bar tempatnya bekerja sangat mahal. Sebuah keberuntungan Lara bisa bekerja di sana. Meskipun kadang ia pulang tengah malam, hingga telat berangkat kuliah, tapi gaji di bar itu lebih banyak dari pekerjaan sampingan Lara lainnya. Lara mengetuk pintu G10 beberapa kali sebelum dengan hati-hati ia membukanya. Pintu itu tak langsung menuju ruangan karaoke di sana, tapi ada lorong kecil yang sedikit gelap. Lara merasa dingin ruangan itu mencekam tubuhnya. Hingga perempuan itu berhenti di depan pintu kaca ruangan utama dan tak bisa melangkah ketika melihat pemandangan di depannya. "Sudah kubilang jangan menyentuhku! Siapa kau hingga berani membuka kemejaku, Sialan! Hanya aku yang boleh memulai! Dan kau! Bukankah aku sudah menyuruh Benton agar tak membawamu ke hadapanku lagi?!" teriak laki-laki itu sambil mendorong perempuan yang berlutut di depannya. "Maafkan aku, Tuan. Aku pikir - aku pikir -" Perempuan itu menangis sambil memeluk kaki laki-laki di depannya. "Aku pikir Tuan menyukaiku," katanya dengan lirih. Dengan kasar, laki-laki itu mendorong perempuan yang berlutut di depannya itu. "Menyukaimu?" Terdengar tawa dingin yang membuat kulit Lara merinding. "Apa kau pikir, aku menidurimu karena aku suka denganmu? Kalau begitu, aku pasti suka dengan semua gadis yang ada di sini," kata laki-laki itu dengan suara merendahkan. "Tapi, aku pikir -" "Jangan berpikir, Carolle. Selama ini kau hanya menggunakan tubuhmu tanpa berpikir. Kenapa sekarang kau ingin jadi perempuan yang suka berpikir? Itu sama sekali tak cocok denganmu," potong laki-laki itu dengan dingin. Perempuan yang dipanggil Carolle itu mendongak menatap laki-laki itu. Menatapnya dengan rasa kecewa hingga matanya berkaca-kaca. Natali tanpa sadar mengeratkan cengkeramannya pada nampan minuman yang ia bawa. Tak menyangka laki-laki yang menarik perhatiannya beberapa jam yang lalu - sangatlah berengsek seperti sekarang. "Pergilah dari sini jika kau tak ingin aku mencabut sponsor yang kuberikan padamu selama ini," kata laki-laki itu lalu kembali duduk di kursinya. Carolle berdiri dan menarik rok pendeknya yang naik ke atas lalu meninggalkan ruangan itu. Beberapa perempuan yang masih di sana hanya tersenyum tipis setelah kepergiannya. Seperti senang karena satu saingan mereka sudah pergi. Ketika melihat Lara, Carolle berhenti dan menatap tajam padanya. Sedangkan Lara hanya menunduk. Tak ingin ikut campur dengan masalah perempuan yang lebih tinggi darinya itu. Lara menelan ludahnya dengan susah payah. Perempuan itu ingin pergi dari ruangan itu - tapi laki-laki itu menyadari dan berbicara dengan dingin pada Lara. "Kemana kau ingin membawa minuman itu?" tanya Damian dengan nada dingin. Lara menggigit bibirnya, lalu masuk ke ruang karaoke itu. "Maaf Tuan," katanya lirih lalu meletakkan minuman itu di depan Damian. Damian menatapnya dari ujung kepala sampai ujung kaki. Seperti permintaan Annie, Lara ingin segera keluar dari ruangan itu, tapi laki-laki bernama Damian itu seperti tak ingin melepaskannya dengan mudah. "Apa kita pernah bertemu sebelumnya?" tanya laki-laki dengan menyipitkan matanya. Lara menggelengkan kepalanya dengan cepat. "Kurasa - tidak," katanya. "Sepertinya hanya aku yang mengingatmu," kata laki-laki itu lagi. Tubuh Lara membeku. Kenapa laki-laki itu masih mengingatnya? Pertemuan pertama mereka hanyalah di lorong kampus, saat Lara menjatuhkan kunci lokernya. Laki-laki itu bahkan tak menatapnya lebih dari satu detik. Dia bahkan tak berbalik untuk menatapnya lagi. Lalu kenapa ia masih mengingat Lara? Padahal Lara merias wajahnya dengan tebal sekarang, berbeda dengan dirinya saat ke kampus. "Maaf Tuan. Kalau tidak ada yang Tuan butuhkan lagi, aku akan pergi," kata Lara. "Tunggu sebentar," kata laki-laki itu lalu berdiri mendekati Lara. Lara menelan ludahnya saat laki-laki itu semakin mendekatinya. Tanpa sadar menahan napasnya, takut aroma memabukkan yang dulu pernah ia cium kembali menyerangnya. Semakin laki-laki itu mendekat, Lara semakin menjauh. Hingga punggung perempuan itu menabrak pintu kaca di belakangnya dan tiba-tiba - laki-laki di depannya itu tersenyum. Bukan tersenyum. Itu lebih seperti seringaian. Memangnya, apa yang lucu sekarang? Kenapa laki-laki itu tersenyum tipis? Dan kenapa senyumnya begitu indah? Seperti pangeran di mimpi Lara waktu kecil. Seperti pangeran yang sering ia lihat di mimpinya. "Apa - yang Anda lakukan?" tanya Lara dengan nada bergetar. "Mengecekmu," kata laki-laki itu. "Mengecek? Apa yang Anda cek?" tanya Lara bingung. "Mengecek - apakah kau perempuan yang mencoba menggodaku untuk tidur denganmu atau tidak," kata laki-laki itu dengaan senyum tipis. Mata Lara terbuka lebar. Tak pernah seumur hidupnya ia merasa direndahkan seperti itu. Meskipun di kampus banyak sekali orang yang menatapnya rendah. Mengiranya p*****r karena bekerja di klub malam. Tapi, tak ada yang merendahkannya dengan terang-terangan seperti laki-laki di depannya itu. "Jaga ucapan Anda! Tak semua perempuan tertarik dengan Anda!" ucap Natali dengan tangan terkepal. "Benarkah? Memang tak semua orang tertarik denganku." Laki-laki itu mendekatkan wajahnya hingga hampir menyentuh hidung mancung Natali. "Tapi tak ada perempuan yang tak tertarik dengan keluargaku. Kau tak tahu aku dari keluarga Lavingston? Kalau kau masih tak tertarik denganku setelah tahu nama belakangku, berarti kau memang berbeda. Meskipun itu tak mungkin, " kata laki-laki itu dengan percaya diri. Lara menghembuskan napasnya panjang. Lupakan semua kekagumannya pada laki-laki itu. Sekarang Lara sangat membencinya. Lara mendorong d**a laki-laki itu menjauh darinya, tapi tenaga laki-laki itu begitu kuat. Lara tak bisa mendorongnya. Hingga ketika Lara ingin menamparnya, tanpa sengaja tangannya mengenai poni laki-laki itu. Lara menyibak poni laki-laki itu dan ia sedikit terkejut melihat bekas luka yang lumayan panjang di pelipisnya, sangat dekat dengan mata kirinya. Wajah laki-laki itu mengeras sempurna saat Lara tak sengaja menyentuh lukanya. Dengan cepat laki-laki itu menjauh darinya. Menutupi wajahnya dengan rambutnya lagi. Itu bukan pertama kali Lara melihat bekas luka itu. Saat datang ke seminar satu bulan yang lalu, Lara sudah melihatnya. Lara yakin itu hanya luka kecil, tapi saat melihatnya langsung dan dari dekat, ternyata luka itu lebih dalam daripada yang Lara kira. "Dua kali kita tak sengaja bertemu, aku anggap itu wajar. Dua orang bisa bertemu tanpa sengaja dua kali." Laki-laki itu memiringkan wajahnya, menatap Lara dengan penuh peringatan. "Tapi jika aku bertemu denganmu lagi dan kau bilang tak mengenaliku lagi seperti hari ini, maka aku anggap kau sengaja mendekatiku -" Laki-laki itu berhenti, melirik d**a Lara ingin membaca namanya. Lara segera menutupi dadanya, tapi laki-laki itu sudah lebih dulu membacanya. "Sofia Laratiana," ucap laki-laki itu. Sialan! Laki-laki itu tahu namanya! Lara membalas tatapan tajam Damian. "Aku bekerja di sini. Jadi jika kau tak ingin bertemu denganku lagi, kau cukup tak datang ke sini, Tuan Lavingston Yang Terhormat," kata Lara lalu pergi dari ruangan itu.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN