11 - Di Luar Dugaan

1436 Kata
Diam dengan wajah tegang, dan kedua tangan meremat rok bahan yang ia kenakan. Itulah yang Naira lakukan sejak seperempat jam yang lalu. Berada satu mobil dengan pria yang baru saja mengajak ia menjalin hubungan adalah sesuatu yang sangat canggung bagi Naira. Terlebih, pria itu adalah bosnya sendiri, sekaligus pria yang juga tahu rencana busuk Naira untuk mendekatinya beberapa waktu yang lalu. Naira menghela napas panjang - entah sudah yang ke berapa kalinya sejak duduk bersebelahan dengan pria bernama lengkap Cakrawala Aresta itu. Ia benar-benar merasa tidak tenang. “Kamu suka makan apa?” tanya Cakra tiba-tiba. Naira mengejap. Ia baru sadar jika mobil yang mereka tumpangi kini sedang berhenti karena lampu lalu lintas menunjukkan warna merah. Ia memiringkan kepalanya, merasa seperti mendengar suara dari pria di sebelahnya. “Y- ya?” Cakra tersenyum tipis. Akhirnya ia tahu jika gadis di sebelahnya sedang melamun sejak tadi. “Kamu suka makan apa?” ulangnya. Naira mencoba berpikir, apa makanan yang paling ia sukai selama ini. Namun, ia sendiri merasa bingung, karena selama ini bisa makan apa saja, dan menyukai banyak makanan sekaligus, tergantung suasana hatinya. “Banyak sih, Pak. Tapi kenapa?” “Sirloin steak suka? Atau lebih suka seafood?” Naira mengernyitkan keningnya. Ia masih tidak mengerti kenapa Cakra tiba-tiba menanyakan hal pribadi seperti itu. Apalagi, makanan yang Cakra sebutkan adalah jenis makanan yang kurang cocok gaji karyawan bergaji menengah seperti Naira. “Itu … kedengerannya enak juga. Anda lapar? Kalau Pak Cakra mau mampir makan dulu, nanti turunin saya di dekat halte depan itu aja, Pak! Kebetulan bus yang biasa saya naiki juga sering berhenti di halte itu, kok,” ucap Naira. Lampu lalu lintas kembali berubah menjadi warna hijau. Cakra pun kembali menginjak pedal gas mobilnya, dan menjalankannya dengan kecepatan sedang. Naira pikir, Cakra akan menghentikan laju mobilnya di halte yang tadi ia tunjuk. Namun, ternyata tidak. Pria itu membawa mobil yang mereka tumpangi melewati halte itu begitu saja. “Pak-” “Loh, Pak, kok nggak jadi berhenti?” bingung Naira. “Saya nggak bermaksud buat nurunin kamu. Lagi pula kan sejak awal saya berniat buat nganterin kamu. Jadi, mana bisa saya ninggalin kamu sembarangan?” balas Cakra. “Tapi kalau Anda mau mampir-” “Kenapa kita nggak makan bareng aja?” “Apa?” “Sebentar lagi juga sudah waktunya makan malam, kan? Sekalian saja kita makan!” ajak Cakra. Naira menelan salivanya dengan susah payah. Dengan berbagai menu yang sudah terlanjur Cakra sebutkan, dan melihat bagaimana gaya hidup pria itu, Naira tidak yakin saldo rekeningnya akan baik-baik saja jika mengikuti standar seorang Cakrawala Aresta. “Pak, kayaknya nggak bisa, deh …” “Kenapa?” Sesekali, Cakra melempar pandang ke arah Naira, untuk melihat ekspresi yang ditunjukkan oleh gadis itu. “Saya nggak terlalu bisa makan makanan yang biasa Anda makan. Dari menu makan aja kayaknya kita udah nggak cocok. Jadi, mending Anda makan sendiri saja! Nggak papa kok saya nggak makan,” ujar Naira. “Itu dia kenapa tadi saya tanya, kamu suka makan apa …” ujar Cakra. “Ya emang saya nggak punya makanan kesukaan secara khusus. Saya suka apa aja, selagi enak. Dan tergantung juga saya lagi pengen makan apa,” balas Naira. “Oke, kalau sekarang, kamu lagi pengen makan apa?” tanya Cakra lagi. Naira kembali berpikir. Kali ini, ia berusaha memikirkan makanan yang biasanya ia sukai, tetapi tidak mungkin dibeli oleh Cakra. Mengingat pria itu sempat menyebutkan sirloin steak dan seafood, berarti Naira harus memikirkan makanan yang lauk utamanya bukan berasal dari seafood dan sapi. Dan tentunya, harus menu sederhana sehingga Cakra tidak akan menyangka dan tidak akan mengikuti keinginan Naira. “Bakmi Jawa,” jawab Naira pada akhirnya. Membayangkan kuah beraroma kaldu daging ayam jawa dan telur, Naira nyaris ngiler sendiri. Padahal ia tadi hanya asal menyebutkan saja. Namun, ia malah jadi benar-benar ingin memakannya. Apalagi, di warung bakmi di dekat kosnya. Hanya sebuah warung tenda sederhana, yang bahkan untuk parkir mobil saja susah. “Saya ada langganan warung bakmi di dekat kos saya. Tapi saya ragu Anda bisa makan di sana. Soalnya warung biasa aja, nggak bersih-bersih amat kayak di restoran. Tempat buat parkir mobilnya juga susah,” ucap Naira bermaksud menambah alasan agar Cakra semakin tidak ingin makan di sana. “Oh, oke. Nanti saya bisa parkir agak jauhan,” balas Cakra. Naira membulatkan matanya. “Anda mungkin belum bisa bayangin tempatnya. Tempatnya tuh biasa banget, Pak. Cuma di kios kecil gitu, berus sama pasang tenda gitu di depannya. Kursinya aja cuma kursi plastik itu. Nggak ada AC, apalagi pengharum ruangannya pokoknya.” “Oke.” “Kadang suka ada lalatnya juga, Pak. Terus, antara tempat duduk pelanggan sama warung itu juga deket banget. Jadi kita sering kebrisikan sama suara mas-masnya yang lagi masak. Mana baunya nyebar.” “Oke.” “Kalau mau parkir mobil, nanti jalannya sekitar seratus meter. Habis itu harus jalan kaki ke warungnya.” “Oke.” “PAK!” Naira benar-benar kehabisan akal. Ia sudah berusaha mencari alasan untuk membuar Cakra mengurungkan niatnya. Namun, pria itu seolah tidak peduli dengan masalah-masalah yang Naira katakan. Pria seperti apa, sih, seorang Cakrawala Aresta itu sebenarnya? Naira mengembuskan napas jengah. Ia mengalihkan pandangan ke depan, dan menekuk wajahnya. Cakra terkekeh saat ia menoleh dan melihat raut wajah gadis di sampingnya. “Kenapa jadi kamu yang kesal?” “Saya nggak kesal. Cuma aneh aja sama Anda. Ngotot banget mau beli bakmi jawa di langganan saya. Padahal, Anda nggak cocok makan di sana,” balas Naira. “Nggak cocoknya kenapa?” Naira menoleh lagi, menatap Cakra dengan kesal. Ia menunjuk penampilan Cakra dari atas hingga bawah. “Bapak pikir ada gitu orang yang pakai setelan kemeja dan celana mahal kayak Anda, jam tangannya bermerk dan harga ratusan juta, makan di warung bakmi jawa pinggir jalan?” “Jadi, menurut kamu saya harus ganti baju dulu?” Naira menghempaskan bahunya ke sandaran kursi. Rasanya percuma ia bicara dengan Cakra jika pria itu sudah terlanjur mempunyai keinginan. “Terserah Anda saja.” Cakra tidak main-main dengan perkataannya. Tanpa Naira menjelaskan arah ke warung bakmi jawa itu, Cakra sudah tahu dan meminggirkan mobilnya di depan sebuah ruko kosong berjarak sekitar seratus meter dari warung. Setelah itu, Cakra keluar, membuat Naira menatapnya dengan heran meski akhirnya ia ikut juga. “Serius Anda mau makan di sana? Udah lihat penampakannya kan, tadi waktu lewat?” Sekali lagi, Naira ingin mengkonfirmasi. Ia tidak ingin nanti Cakra tiba-tiba akan rewel dan membuat ia malu di pedagang langganannya itu. “Sudah, dan sejauh ini saya nggak lihat ada yang salah. Soal lalat, saya yakin kamu pasti bohong. Saya tahu kamu nggak sejorok itu,” balas Cakra. Naira mendecak sebal. Ia berjalan mendahului Cakra. Ia ingin membuat jarak agar orang-orang tidak berpikir jika mereka saling mengenal. “Mas, bakmi rebusnya satu, telurnya pakai telur bebek, ya! Sama minumnya jeruk hangat,” ucap Naira. “Hmm … nanti saya duduknya di sebelah sana itu aja! Yang lesehan.” “Oh, oke, Mbak. Ada tambahan lain?” “Itu aja. Nanti kalau nambah kerupuk, saya bilang pas bayar, kayak biasanya.” “Oke oke. Kalau masnya?” Naira menoleh ke arah Cakra. “Saya juga bakmi rebus pakai telur bebek. Minumnya kopi aja. Yang panas tapi jangan terlalu panas!” Pedagang bakmi itu menatap Cakra aneh. Sedangkan Naira hanya bisa memutar bola matanya malas. “Tapi di sini nggak ada termometer loh, Mas. Sejadinya aja ya nanti gimana?” Cakra mengangguk menurut. “Kopinya mau kopi hitam, atau-” “Kopi hitam aja, gulanya nggak usah banyak-banyak!” “Oke oke. Duduknya mau jadi satu sama mbaknya?” Naira langsung membuang muka saat Cakra dan pedagang itu menatap ke arahnya. Namun, ia bisa mendengar jelas saat Cakra meng-iya-kan pertanyaan pedagang bakmi itu. Setelah itu, Naira pun segera menuju tempat yang sudah ia pilih. Ia memilih tempat lesehan, agar bisa meluruskan kakinya sambil menyandarkan punggungnya di tembok. Namun, baru saja Naira ingin melemaskan otot-otot kakinya, sebuah tangan memukul kakinya hingga berbunyi nyaring. “Ah!” Memang pukulan itu tidak keras, tapi cukup mengejutkan untuk Naira. “Duduk yang bener! Saya mau duduk di sini,” kata Cakra, menempatkan dirinya di hadapan Naira, dan hanya berbatasan dengan meja kecil dengan gadis itu. Otomatis, Naira tidak bisa meluruskan kakinya karena tempat yang terbatas. Naira mendecak. Gara-gara Cakra, ia jadi tidak bisa duduk seenaknya. “Dibanding aku, kayaknya malah kamu yang jadi nggak nyaman makan di sini,” komentar Cakra. Naira memaksakan senyumnya, sebelum akhirnya berpura-pura fokus pada ponselnya. Sayang sekali, hari ini, ia benar-benar gagal menghindar dari gangguan Cakra. Pria itu ternyata jauh lebih hebat dan tak terduga, dari apa yang Naira bayangkan.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN