07 - Red Flag

1311 Kata
Cakra memilihkan dress untuk Naira. Awalnya, pria itu memiliki beberapa pilihan. Mulai dari yang warna gelap, hingga terang. Lalu ada juga yang tertutup, dan ada yang cukup terbuka. Pria itu meminta Naira mencoba satu per satu gaun itu. Dari enam gaun yang Naira coba, akhirnya pria itu menemukan dua pilihan yang menurutnya terbaik. “Ambil yang biru tadi, lalu pakaikan dia yang ini!” ujar Cakra pada seorang pegawai butik. “Serius mau yang ini, Pak? Yang merah tadi kayaknya lebih bagus,” kata Naira. Dia sebenarnya sudah menaruh perhatian lebih pada gaun merah gelap yang sempat ia coba tadi. Gaun itu memiliki potongan yang cukup pendek dan hiasan elegan di bagian dadanya. Naira suka. Andai ia punya budget untuk membelinya, pasti ia akan membeli sendiri gaun itu meski ia tidak tahu kapan ia akan memakainya. “Gaun tadi cocoknya untuk orang dewasa,” balas Cakra. “Lah-?” Naira menunjuk dirinya sendiri. Usianya sudah menginjak dua puluh empat tahun. Sudah pantas, kan, dia masuk ke kategori dewasa? “Saya akan dikira mengeksploitasi anak-anak kalau bawa kamu ke pesta dengan pakaian seperti itu,” ujar Cakra. Naira menajamkan indera penglihatannya. Apa karena tubuhnya yang mungil dan tingginya tidak seberapa sehingga Cakra bicara seperti itu? “Maksud Bapak, saya baby face, kan?” Naira masih berusaha untuk berpikiran positif. “Kamu itu bukan baby face. Tapi memang pendek aja, jadi kelihatan kayak anak kecil.” “Sialan!” Naira membulatkan matanya setelah sadar apa yang baru saja ia katakan. Ia membungkam mulutnya, lalu berpura-pura menghampiri pegawai butik untuk menghindari Cakra. Lantai dua dari butik itu ternyata merupakan salon khusus rias. Naira dirias di sana. Sedangkan Cakra, tetap menunggu di ruang tunggu lantai satu sambil menyibukkan diri dengan tabletnya. Setelah hampir satu jam dirias, akhirnya Naira dibawa kembali ke lantai satu. Tatapannya bertemu dengan manik gelap milik Cakra begitu kakinya menginjak anak tangga terakhir di bangunan itu. Dilihatnya, Cakra membeku sejenak sembari menatap penampilannya. Naira pun bertanya-tanya, kenapa Cakra sampai melihatnya demikian. “Apa ada yang salah ya sama penampilan aku?” pikir gadis lugu itu. Baru Naira berjalan tiga langkah, Cakra lebih dulu menghampiri gadis itu. Ia meletakkan sepasang sepatu berwarna hitam dengan hiasan beberapa permata di hadapan Naira. “Bantu dia memakai sepatu ini!” titah Cakra pada pegawai yang ada di samping Naira. “Baik, Pak. Mari, Mbak!” Naira hanya bisa pasrah. Ia diam saat pegawai itu mengganti sendal karetnya dengan sepatu yang Cakra berikan. Jika boleh jujur, Naira ingin memuji selera Cakra sekarang. Sepatu itu benar-benar terlihat elegan dan mahal. Apalagi, setelah Naira berdiri dan melihat penampilannya dari atas hingga bawah melalui cermin yang ada di dekatnya. Ia merasa baru saja berubah dari itik buruk rupa menjadi angsa hitam yang memesona. “Ternyata benar ya, kalau ada orang yang bilang uang bisa membeli segalanya termasuk penampilan?” gumam Naira sambil mengagumi penampilannya saat ini. Sebagai perempuan dewasa yang masih single, tentu ia suka berias. Ia suka membeli baju-baju bagus, sepatu, skincare, make up dan sebagainya. Namun, tentu saja itu berada di level berbeda dengan apa yang ia pakai saat ini. “Bagaimana? Suka?” tanya Cakra yang kini berada di belakang Naira, turut menatap pantulan penampilan gadis itu melalui cermin. Naira mengangguk. “Bagus, Pak. Kayaknya kalau gini, orang-orang nggak akan tahu kalau saya cuma staff kantor biasa. Menipu banget penampilan saya.” “Kamu merasa cocok dengan tampilan seperti ini?” Naira diam sejenak. “Sebagus-bagusnya penampilan saya sekarang, kalau suruh begini lagi kayaknya enggak deh, Pak. Saya sudah cukup percaya diri dengan penampilan harian saya. Lebih menggambarkan kehidupan saya, dan nggak terkesan memaksakan juga, hehe.” Naira berbalik menghadap ke arah Cakra. Lalu, pria itu menyerahkan sebuah tas berwarna silver pada Naira. Naira mengernyit bingung. “HP sama dompet kamu sudah saya pindahin ke sana.” Akhirnya, gadis itu mengerti dan segera meraih tas itu. Katakan saja, Cakra juga berniat memakaikan tas itu untuk menunjang penampilan Naira. Lagi pula, mau kapan lagi Naira menenteng tas yang ia taksir harganya mencapai dua digit itu? Setelah itu, keduanya pun segera berangkat menuju tempat reuni diadakan. Ternyata, reuni itu diadakan di sebuah hotel bintang lima di daerah Jakarta Selatan. Selama di perjalanan, Cakra juga sudah menjelaskan sekilas tentang apa yang harus dan tidak boleh Naira lakukan selama di acara nanti. Naira pun dengan mudah dapat mengerti penjelasan dari Cakra. “What’s up, Bro? Wih … baru lagi, nih?” sapa seorang teman Cakra sambil mengalami pria itu dengan asyik. Cakra hanya tersenyum sekilas menanggapinya. “Namanya siapa, Mbak? Kenal sama playboy satu ini di mana?” Cakra menyenggol lengan sahabatnya. “Gue nggak seberengsek lo, ya!” “Lah … ngaku-ngaku. Lebih parah padahal, haha …” balas teman Cakra itu. Lalu, pria itu kembali menatap Naira. “Bercanda, Mbak. Dia nggak pernah jalan sama lebih dari satu cewek, kok. Ya tapi kalau beda hari, ya bisa aja, hehe.” Naira memasang senyum paksa pada pria itu. Baru juga masuk, tapi sudah ada saja yang membuat ia tidak nyaman. “Wih, Cak, baru, nih?” “Yang kemarin udah putus, Cak?” “Yang ini bakal diseriusin nggak, nih?” “Mbak tahu nggak, Mbak. Mbak cewek ketiga yang kelihatan jalan sama Cakra tahun ini loh.” Sepertinya, pria bernama lengkap Cakrawala Aresta itu memiliki imej yang berbeda dengan yang ada di kantor selama ini. Cakra tidak sehijau yang Naira pikirkan. Ternyata, dia memiliki sisi gelap juga. Layaknya pria kaya pada umumnya yang Naira tahu, ternyata Cakra sama saja suka bermain perempuan seperti mereka. Naira menatap Cakra horor saat keduanya memiliki waktu untuk jauh dari godaan teman-teman pria itu. Tatapan mereka bertemu. Cakra tampak tidak terlalu peduli dengan komentar teman-temannya terhadap dirinya. Ia merasa tidak perlu menjelaskan apapun dari gadis lugu yang tampak syok di sampingnya. “Haus?” “Nggak kok,” jawab Naira. Namun, Cakra tetap mengajak Naira mengambil minum, sebelum akhirnya duduk bergabung dengan beberapa teman Cakra yang lain. “Tumben nggak ambil whisky, Cak? Efek bawa cewek yang ini, ya?” “Beda banget vibesnya Cakra sama yang ini, daripada sama yang biasanya. Karena umur kali, ya? Mbaknya masih kuliah?” Naira sadar pertanyaan itu ditujukan untuknya. “Enggak, saya sudah kerja.” “Oh … sudah kerja,” jawab teman-teman Cakra serentak. “Model? Atau apa?” Naira tampak bingung dalam menjawab. Cakra tadi belum sempat memberi arahan soal bagaimana ia harus menjelaskan tentang latar belakangnya sendiri. “Soalnya beberapa mantan Cakra mayoritas model. Siapa tahu kan, Mbaknya juga sama,” sambung seorang perempuan bergaun terbuka yang seolah akrab dengan circle Cakra. “Saya karyawan biasa, kok. Kerja juga di kantor yang sama sama Cakra,” jawab Naira pada akhirnya. “Oh … karyawannya Cakra?” “Tumben, Cak, ngambil orang kantor? Nggak takut imej kamu hancur lebur seketika? Biasanya kan lo paling anti sangkut pautin hal-hal pribadi sama urusan kantor?” “Yang ini beda,” kata Cakra, membuat tawa riuh teman-temannya pecah. Gugup, Naira segera meneguk minumannya. Untungnya, di antara minuman beralkohol yang disediakan, Cakra masih cukup waras untuk memilihkan orange juice untuknya. “Bau-bau mau diseriusin nih yang ini.” “Gas lah, Cak! Udah umur juga. Aresta juga butuh pewaris kali!” “Ya elah, pewaris doang mah paling juga benih Cakra udah banyak tersebar luas di seluruh Jakarta. Iya, nggak, Cak?” Candaan itu dibalas tawa renyah oleh teman-teman Cakra yang lain. Mereka tidak tahu saja, jika candaan mereka itu berhasil membuat seorang gadis yang merasa paling asing di lingkaran ini meremang. Bulu kuduknya berdiri membayangkan kemungkinan terburuk yang bisa saja terjadi padanya, ketika ia berada di sekitar orang red flag seperti Cakra. Genit-genit begitu, Naira tidak pernah berencana untuk menyerahkan kesuciannya pada seseorang selain suaminya. Dia masih cukup waras untuk membedakan yang baik dan yang buruk. Namun, sepertinya, ia salah membaca suasana. Ia salah memasuki pintu kehidupan di mana di dalamnya terdapat sosok berbahaya dengan sampul setenang lautan.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN