Menghindar

1016 Kata
Jam pelajaran pun telah berlalu, hingga bel akhir jam pelajaran berbunyi. Aku dan Nadira sengaja pulang lebih akhir, hanya untuk melanjutkan tugas untuk esok hari. "Ini kamu nggak apa-apa di kerjakan sekarang?" tanyaku ke Nadira. "Iya nggak apa-apa, aku sudah kirim pesan singkat ke Mamaku. Lain kali main ke rumahku yuk," ajak Nadira. Aku tersenyum ke arah Nadira, lalu menganggukan kepala. Kami berdua sembari mengerjakan asik mengobrol dan becanda, hingga kami terdiam kala Kak Reza masuk ke dalam kelas. "Cecyl, boleh ngomong sebentar?" tanya Kak Reza. Aku melihat Kak Reza menatap Nadira, kemudian Nadira tiba-tiba berpamitan untuk pulang terlebih dahulu. "Ce, aku pulang dulu ya. Nanti tugasnya kita kerjain lewat ponsel saja," ujar Nadira sembari memasukan bukunya ke dalam tas. "Kenapa? Kok mendadak Dir?" tanyaku. "Iya, lupa kalau mau di ajak tanteku keluar," Nadira memberi alasan. Nadira melenggang keluar kelas sembari melambaikan tangan ke arahku. Aku pun segera memasukkan bukuku juga ke dalam tas, aku tak ingin karena Kak Reza penyamaranku gagal. Aku beranjak dari tempat dudukku, pergi meninggalkan Kak Reza. "Cecyl, bentar aku mau ngomong." Kak Reza mengejarku. "Ngomong apa? Aku nggak mau buat gara-gara ke Kak Monica dan teman-temannya, jadi jangan deketin aku," ujarku sembari melangkah semakin cepat meninggalkan Kak Reza. Kak Reza mengambil sepeda motornya di parkiran dan saat itu juga kesempatanku untuk menjauh dari dia. Aku memutuskan untuk berlari menghampiri Pak Nadim, yang sudah menungguku tak jauh dari sekolahan. Beliau dengan sigap membukakan pintu, saat itu segera aku menyuruh Pak Nadim melajukan mobilnya dengan cepat. Beliau hanya mengiyakan ucapanku, sesekali aku menoleh ke belakang berharap Kak Reza tak mengejarku. Benar saja, tak ada tanda-tanda dari dia. Perasaan lega saat itu, aku menyandarkan kepalaku dengan mata tertutup. "Non, mampir ke mana ini?" tanya Pak Nadim. "Ke pom bensin saja Pak," jawabku. Berhenti hanya untuk berganti pakaian menjadi hal rutin yang aku lakukan setiap berangkat dan pulang sekolah. Aku tak ingin orang tuaku tahu akan penyamaran yang aku lakukan selama di sekolahan. Tak berselang lama, dari kejauhan terlihat pom bensin. Pak Nadim memberitahukan kepadaku, di dalam mobil rambutku yang terkepang sudah aku lepas dan saat ini hanya gerai. Aku selalu mengenakan hoodie dan masker agar tak diketahui orang lain. Aku turun dari mobil dan segera bergegas menganti pakaianku di toilet. Tak perlu waktu lama aku pun selesai, aku mengajak Pak Nadim untuk segera pulang. Jalanan cukup lenggang untuk hari ini, sehingga memperlancar perjalanan kami menuju rumahku. Dari kejauhan tampak rumah yang begitu besar dan megah, mungkin orang lain akan bangga ketika masuk ke dalam rumah bak istana itu. Namun berbeda denganku, aku merasa bagaikan di dalam sangkar mas. Aku terkurung di sana dengan segala aktivitas yang diatur. Kami sampai di depan pagar rumah, tanpa perlu aba-aba pintu pun segera dibuka. Pak Nadim melajukan mobilnya sampai depan pintu masuk rumah ini. Mobil pun terhenti, beberapa pengawal pun mendekat dan salah satu dari mereka membukakan pintu. Berjalan masuk ke dalam rumah saja di sambut dengan istimewa, tetapi itu semua yang membuat aku risih. Aku masih menenteng tasku, dihampiri beberapa asisten rumah tangga yang setiap kali aku pulang selalu di sambut untuk membawakan barang bawaanku. "Non, tasnya," ujar salah satu asisten rumah tanggaku. Aku menatapnya sembari terus berjalan menuju anak tangga. "Bisa bawa sendiri. Sudah beberapa kali aku bilang, nggak perlu seperti ini," ujarku berlari menaiki anak tangga. Namun baru setengah aku menaiki anak tangga, aku berhenti. Aku ingin bercerita banyak hal ke Mbak Rohmah tentang yang aku alami seharian ini. "Mbak-mbak, minta tolong panggilkan Mbak Rohmah. Suruh ke kamarku sekarang," ujarku ke asisten rumah tanggaku, sembari kembali menaiki anak tangga. "Perlu dibawakan apa, Non?" tanya salah satu asisten rumah tanggaku itu. "Makan siangku saja," ujarku. Entah mereka menjawab apalagi aku tak mendengarnya, sebab aku terus menaiki anak tangga hingga menuju ke dalam kamarku. Aku menaruh tasku di atas meja belajar, lalu tanpa melepas sepatu aku berbaring di atas sofa. Tok tok tok! "Non, ini Mbak Rohmah," ujar Mbak Rohmah dari luar pintu kamarku. "Masuk saja," jawabku singkat. Aku menoleh ke arah pintu yang terbuka karena Mbak Rohmah. Aku melihat dia membawa makanan dan minuman di atas nampan yang lumayan besar. "Taruh meja dulu aja, Mbak. Belum terlalu lapar," ujarku memberitahu. "Keburu dingin, Non. Nanti malah nggak enak," jawab Mbak Rohmah dengan ragu saat ingin meletakkan makanannya di atas meja. "Taruh saja," ujarku. Mbak Rohmah akhirnya menuruti kemauanku, dengan meletakkan nampan di atas meja yang ada di kamarku. Mbak Rohmah tetap berdiri terpaku di tempatnya, aku hanya menatapnya menunggu dia menghampiriku. "Mau berdiri di situ sampai kapan? Mbak Rohmah kebiasaan, nunggu di suruh dulu," ujarku dengan wajah yang cemberut. "Iya, Non. Mau apa lagi?" tanya Mbak Rohmah. Aku mengerutkan keningku saat mendengar pertanyaan dari Mbak Rohmah. Aku berpikir dia bekerja bertahun-tahun denganku, aku selalu memintanya untuk menganggapku seperti orang-orang pada umumnya. Namun sepertinya tak pernah dilakukannya hingga aku mulai beranjak dewasa seperti ini. Dia berjalan menghampiriku, lalu di duduk di atas karpet tepat di samping sofa tempatku berbaring. Dia memegang kakiku hendak melepaskan sepatu yang aku kenakan, namun aku bergegas mengelaknya. "Saya bantu bukain, Non," kata Mbak Rohmah. "Mbak, aku bisa. Duduk atas sini loh, aku mau cerita-cerita," ujarku. "Tapi, Non ... Non Cecyl makan dulu ya. Takut Tuan segera pulang." Mbak Rohmah beranjak dari tempat duduknya, hendak mengambil makanan yang tadi ia letakkan di meja. "Makan saja dulu, hari ini ada latihan lagi. Biar Non Cecyl ada tenaga," ujar Mbak Rohmah mengingatkan kegiatan yang rutin aku kerjakan saat aku pulang sekolah. "Mbak, emangnya semua orang hidupnya juga diatur semua seperti aku?" tanyaku. Mbak Rohmah tak lantas menjawab pertanyaanku, beliau hanya menatap mataku dengan tatapan yang sedih. "Mbak jawab. Apa cuma aku yang semua aktivitas diarahkan, aku merasa hidupku tak sebahagia anak seumuranku," kataku. Mbak Rohmah menari napasnya hingga dalam, mungkin saat itu dia sedang memberikan alasan yang tepat untuk pertanyaanku. "Setiap keluarga ada aturannya masing-masing, Non. Non termasuk beruntung terlahir di keluarga yang serba mewah, kadang yang di luar sana mereka memang tak seketat ini aturan hidupnya. Namun mereka memiliki masalah masing-masing, misal kekurangan materi untuk makan esok hari," ujar Mbak Rohmah menasehati. Bersambung....
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN