Asisten rumah tangga yang berada di sini pun terlihat panik akan kejadian seperti ini. Mereka terlihat mengerumuni pengawal itu.
"Bawa masuk ke dalam, kita proses pemakamannya saat ini juga!" perintah papa.
"Keluarganya gimana, Pa?" tanyaku.
Papa menatapku sebelum beliau memanggil salah satu dari pengawalnya. Papa melambaikan tangan ke salah satu pengawal yang tadi ikut mengejar sang pelaku.
"Iya, Tuan," ujar pengawal itu sembari membungkukkan badan.
"Jemput keluarganya, untuk menyaksikan prosesi pemakaman. Masalah kematian saya beri kompensasi uang satu milyar," ujar papa dengan entengnya.
Beliau menganggap seakan-akan kematian bisa dibayar dengan jumlah uang yang tinggi. Papa tak pernah memikirkan perasaan orang. Beliau begitu entengnya menganggap sepele segala sesuatu dengan uang yang dimilikinya.
"Pa, apa Papa nggak mikir bagaimana kesedihan yang mendalam keluarganya?" tanyaku sedikit kesal melihat perlakuan papa yang seperti itu.
Papa pun melangkahkan kaki masuk ke dalam rumah, aku dan mama hanya mengekor di belakangnya. Papa berjalan menuju sofa, aku hanya menunggu jawaban tanpa mengulang lagi pertanyaanku. Aku takut jika salah kata terhadapnya, sedangkan pengawal yang ditugaskan pun segera melaksanakan perintah papa.
Papa pun duduk, namun masih tak menjawab pertanyaanku. Aku hendak bertanya tetapi dalam hatiku penuh dengan keraguan yang sangat mendalam.
"Pa." Panggilku walaupun terasa ragu.
Beliau hanya menatapku tak menjawabnya dengan satu kata apapun.
"Ku kira kamu paham kalau duka mereka bisa di tutupi. Tapi ternyata Papa tak lihat itu dari satu pertanyaanmu tadi," jawab papa.
Aku mengernyitkan dahiku saat mendengar perkataan papa. Namun papa malah menyeringai melihat kebingunganku.
"Mereka dengan uang milyaran rupiah dengan seketika melupakan orang yang meninggal!" ujar papa tetap dengan senyum menyeringai.
Aku tak habis pikir dengan ucapan papa yang tak memiliki hati nurani sama sekali. Aku tanpa menjawab apapun, memutuskan untuk melenggang pergi dari tempat itu. Aku berjalan menuju tangga yang menghubungkan menuju kamarku.
Aku membuka pintu secara perlahan, letih dan kantuk teramat sangat yang aku rasakan. Aku memutuskan untuk duduk di sofa dan bergegas melepaskan sepatu. Kemudian aku berbaring dan memejamkan mata. Aku berpikir hanya untuk beristirahat sebentar saja.
Hingga tak terasa aku pun tidur cukup lama, aku terbangun karena Mbak Rohmah mengetuk pintu kamarku.
Tok tok tok!
"Non Cecyl." Panggil Mbak Rohmah entah sudah yang keberapa kali.
Aku membuka mataku secara perlahan, dengan rasa malas aku pun menjawab panggil Mbak Rohmah.
"Iya, Mbak. Masuk!" ujarku.
Mbak Rohmah pun masuk, lalu berjalan mendekat ke arahku.
"Non, keluarga korban penembakan sudah datang. Non Cecyl di suruh segera turun sama Tuan dan Nyonya," Mbak Rohmah memberitahu.
Aku terburu-buru beranjak dari tempat tidurku menuju kamar mandi.
"Aku mandi dulu, Mbak. Tolong siapkan bajuku, ya," ujarku sembari menutup pintu kamar mandi.
"Iya, Non." Jawab Mbak Rohmah, mungkin sembari mengambilkan baju yang pas untuk aku kenakan.
Aku mandi alakadarnya yang penting bersih, karena aku tak ingin keluarga korban menungguku terlalu lama. Toh mandi nanti bisa aku lakukan lagi saat prosesi pemakaman selesai.
Aku mengenakan pakaian yang sudah disiapkan Mbak Rohmah. Atasan blouse berwana pink dan celana panjang berwarna hitam. Aku pun hanya mengikat rambut bentuk cepol, lalu aku segera turun menuju lantai dasar.
Aku membuka pintu sudah terdengar isak tangis dari seorang wanita. Saat aku turun, aku melihat beberapa orang wanita dan pria sedang memeluk jenazah pengawal yang meninggal tadi.
Saat menyadari aku turun, pandangan mereka menatap ke arahku. Sontak aku menjadi bingung dengan sikap mereka, isak tangis tiba-tiba terhenti begitu saja.
"Itu, ya anak Tuan Jonathan? Cantik banget," ujar salah satu pemuda dari keluarga pengawal dengan berbisik.
Wanita paruh baya yang bersamanya pun menyikut perut pemuda itu, mungkin agar pemuda itu tak melanjutkan ucapannya. Mereka menatapku seolah-olah kagum dengan parasku yang hanya berpenampilan apa adanya.
"Sini sayang, keluarga Pak Feri pengawal kita," ujar Mama.
Aku menghampirinya dan berdiri di samping Mama.
"Halo semua, aku Cecylia." Aku mencoba ramah dengan memperkenalkan diri.
Pemuda yang berbisik tadi pun tersenyum ke arahku, dia mungkin tak beda jauh dengan usiaku. Pemuda dengan badan tinggi, berkulit sawo matang dan di tambah lesung pipi membuat dia tampak ideal karena begitu manis tampangnya.
"Halo, Non Cecylia. Saya Andrea anak bapak Feri, senang berkenalan dengan wanita cantik seperti anda," ujar pemuda itu dengan menjulurkan tangan mengajakku bersalaman.
Aku pun bergegas membalas senyuman dan salamannya. Lagi-lagi wanita paruh baya yang bersamanya mengikut perutnya.
"Apa sih, Bu?" tanya pemuda itu dengan berbisik.
"Nggak pantes!" jawab wanita itu dengan berbisik namun terdengar ketus.
Semua pengawal dan asisten rumah tangga pun berkumpul semua, lalu ada beberapa tetangga yang mungkin juga sudah mendapatkan kabar kematian dari pihak kami.
Mungkin saat aku tidur mereka memberikan kabar dengan orang yang berada di sekitar rumah kami. Jenazah pun segera di bersihkan dan di kafani, tak perlu waktu lama segera di berangkatkan.
Mobil ambulance pun sudah terparkir di halaman kami, ternyata selama aku tidur banyak aktivitas yang sudah aku lewatkan. Keluarga korban menaiki mobil ambulance menemani jenazah, sedangkan dari keluargaku menaiki salah satu mobil sport yang kami miliki.
Kami semua mengantar pengawal ke peristirahatan terakhirnya, prosesi pemakaman tak perlu waktu lama pun selesai. Keluarga korban diajak papa untuk kembali ikut ke rumah kami.
Mereka di kumpulkan di ruang tamu dan terdapat satu buah koper di atas meja. Kami hanya mengikuti apa yang akan menjadi keputusan papa. Sedangkan aku dari tadi merasa risih dengan tatapan Andrea anak pengawal tadi yang selalu menatap setiap gerak-gerikku.
"Bu Beti istri Pak Feri?" tanya ayah ke wanita paruh baya itu.
Wanita itu menganggukan kepala sembari berkata, " Iya Tuan, saya Beti istrinya. Terimakasih atas seluruh biaya pemakaman dari pihak keluarga Pak Jonathan."
"Oke baiklah, saya mengumpulkan anda sebagai keluarga korban ada kepentingan yang mendasari. Sebelumnya terimakasih atas jasa korban dan saya akan memberikan santunan atas pengabdiannya Pak Feri selama ini," ujar papa.
Ayah menoleh ke arah pengawal, tak tahu kode apa yang di berikan. Tiba-tiba salah satu pengawal menghampiri tas koper di atas meja lalu membukanya.
Terdapat uang seratus ribu rupiah dengan jumlah banyak dan bertumpukan. Mata keluarga korban pun seketika terbuka dengan lebarnya.
"Uang?" ujar Bu Beti.
"Yups, ini uang. Mungkin lebih dari cukup untuk kehidupan anda," ujar papa.
Seketika wajah yang sebelumnya terlihat sedih pun berganti menjadi senyum yang merekah.
Bersambung….