"Teman," jawab Vivian singkat, sembari melengos. Hanya saja, lengannya keburu dipegang dan digenggam dengan kencang oleh Thomas, sampai ia tidak bisa berkutik dan tidak bisa pergi kemana-mana.
"Hey, lepas! Nanti Yasmine melihat!" bisik Vivian dengan bola mata yang sudah akan keluar dari tempatnya.
"Benar hanya teman??" cecar Thomas, yang belum puas dengan jawaban Vivian tadi.
"Iya teman. Aku tidak ada hubungan apapun dengannya. Hanya teman kuliah dan juga teman di tempat kerja."
"Tempat kerja?? Kerja apa?? Kerja dimana??" cecar Thomas sampai tuntas.
"Aku kerja di cafe. Itupun Yasmine yang mengenalkan aku dengan temannya itu. Yasmine juga kenal dengannya. Ayo cepat lepaskan. Nanti bagaimana kalau Yasmine melihat kita," bisik Vivian dengan gemas.
Cekalan tangan dilepaskan oleh Thomas. Ia biarkan Vivian masuk dan ia sendiri menutup pintu rapat-rapat. Namun, ketika berada di tangga, Thomas lagi-lagi menghentikan langkah kaki Vivian, dengan sebuah rengkuh yang berujung dengan dekapan tubuh yang erat.
"Tidak usah bekerja. Aku akan memberikan banyak uang untuk kamu dan juga, memenuhi semua kebutuhan kamu."
Dahi Vivian penuh dengan banyak kerutan. Kenapa kedengarannya tidak menyenangkan sama sekali?? Padahal, hidup terasa mudah, tanpa ia harus bekerja keras. Tetapi sayangnya, hal itu malah membuatnya merasa terhina. Ia ingin dijadikan seorang sugar baby kah?? Kemarin diajak menjalin hubungan dan sekarang, diiming-imingi uang serta kemudahan hidup. Bak seorang ani-ani saja. Meskipun, dia bukan lelaki beristri. Tetapi kesannya tetap saja seperti itu.
"Tidak. Terima kasih. Saya masih bisa memenuhi kebutuhan saya sendiri!" tegas Vivian sembari melepaskan dekapan Thomas dan berjalan cepat ke lantai atas.
Thomas menyunggingkan senyumnya dan kemudian mengusap-usap janggutnya dengan kencang. Kesal, karena ia merasa seperti ditolak mentah-mentah macam ini.
Tetapi menyerah?
Tentu saja tidak ada dalam kamusnya. Ia akan tetap mengejar Vivian sampai dapat!
Esok harinya.
Vivian merasakan makanan yang sulit untuk tertelan. Ia rasa, makanan itu tersangkut di kerongkongan, saat lelaki yang juga sedang menikmati sarapan pagi bersama dengannya ini, sedang menatap wajahnya dengan intens sekali dan dengan bola mata, yang hanya stuck di sana, tanpa mau berpindah arahnya.
Vivian mengusap-usap dahinya sendiri. Gugup bercampur dengan rasa takut. Ia takut, bila akhirnya Yasmine sampai memergoki ayahnya itu, yang sedang bermain mata dengannya. Apa yang akan terjadi nanti?
Vivian menghela napas dan mencoba untuk menghindari tatapan mata orang tersebut. Terserah dia lah. Suka-sukanya saja. Asal, ia tidak ikut-ikutan. Jadi, Yasmine pun tidak akan curiga dan tidak menduga-duga, bila ia memiliki hubungan yang tidak biasa dengan ayahnya itu.
Thomas mengembuskan napas. Saat merasa Vivian sudah mengabaikan dirinya. Ia pindahkan saja arah tatapan matanya kepada putri semata wayangnya, Yasmine.
"Yasmine, Dad antar kamu hari ini ya?" ucap Thomas kepada putrinya dan Vivian yang tengah mengunyah malah diam seketika, sembari mendengarkan penuturan Thomas kepada sahabatnya tersebut.
"Tumben, Dad. Kenapa sekarang, jadi mau antar Yasmine terus??" tanya Yasmine.
"Kenapa memangnya? Apakah tidak boleh, seorang ayah meluangkan waktu untuk anaknya sendiri?" ucap Thomas dengan memainkan alis, yang ia angkat keduanya secara bersamaan.
"Iya sih, Dad. Biasanya, Dad sibuk terus."
"Makanya, sekarang, Dad akan meluangkan waktu lebih sering lagi untuk kamu," ucap Thomas yang sudah muncul akal bulusnya. Bila sedang jatuh cinta, apapun ia lakukan, agar bisa melihat pujaan hatinya dengan lebih lama. Terutama, ketika sore harinya dan saat Vivian sedang bekerja.
Thomas memasuki cafe dan duduk pada sebuah meja yang kosong. Ia sedang menunggu untuk dilayani. Kebetulan sekali, hanya ada Vivian yang sedang menganggur dan terpaksa, harus mendekati dan memberikan daftar menu kepada orang yang sejak tadi menatap ke arahnya melulu.
"Ini silahkan, mau pesan apa?" tanya Vivian to the point dan sudah siap dengan kertas maupun bolpoinnya, untuk mencatat pesanan. Tetapi menunggu orang yang hanya diam saja sembari menatap daftar menunya.
"Pesan apa?" tanya Vivian lagi, karena ia tidak ingin mendapatkan masalah, kalau terus menerus berdiri di meja Thomas saja. Masih banyak yang harus ia layani. Tidak mungkin ia hanya berdiri di sini terus menerus.
"Ice coffee?" ucap Thomas sembari meletakkan daftar menu kembali.
"Hanya itu??" tanya Vivian, yang tidak ingin beramah tamah, walaupun hanya sedikit saja kepada tamu yang tidak pernah ia harapkan ini.
"Iya. Untuk sementara hanya itu dulu saja."
Vivian menghela napas dan mengambil kembali daftar menunya, lalu memberikan pesanan ke bagian dapur.
"Ini pesanannya," ucap Vivian yang segera meninggalkan meja lagi dan kembali ke arah meja kasir.
"Aku mau ke toilet dulu sebentar," ucap Vivian kepada rekannya sambil membuka celemek, lalu menggantungnya dan pergi ke toilet.
Di dalam toilet. Vivian membasuh wajahnya hingga beberapa kali. Ia keringkan juga dengan sebuah handuk kecil yang dibawanya sendiri. Tadinya, pekerjaan yang ia jalani sudah cukup menyenangkan. Tetapi setelah laki-laki tua itu datang, malah jadi memuakan begini. Lelaki itu, tidak ada bosan-bosannya dalam mengganggu. Ia saja sampai malas melihat wajahnya terus menerus.
Vivian keluar dari dalam toilet dan lelaki yang sedang duduk manis tadi, kini malah sudah berada di depan pintu keluar toilet dan memang sedang menunggunya. Vivian tidak ingin terkena masalah, di rumah maupun di tempat kerjanya juga. Jadi, ia melengos tanpa permisi dan berpura-pura tidak melihat lelaki tersebut.
"Pulang jam berapa??" tanya Thomas yang tidak dihiraukan sedikitpun oleh Vivian yang berjalan terus saja.
"Aku akan menunggu!" cetus Thomas dan baru Vivian melakukan pemberhentian langkah kaki.
Thomas berbalik dan berjalan ke dekat Vivian, lalu berbicara di sampingnya, di dekat indra pendengaran Vivian persis.
"Aku akan menunggu kamu sampai selesai bekerja. Kita, akan pulang bersama ke rumah," ujar Thomas yang kini berjalan keluar dari dalam cafe dan Vivian pun mengembuskan napas dari mulut yang ia kerucutkan.
Dasar. Duda Posesif. Pasti, karena semalam ia diantar Aldo. Jadinya sekarang, dia ingin menunggunya sampai pulang, agar tidak Aldo yang mengantarnya pulang nanti.
Bukannya mau besar kepala. Tapi sudah terlihat jelas sekali, bila seperti itu maksudnya. Apa lagi, lelaki berumur ini pun, sudah secara terang-terangan menyampaikan rasa suka terhadap dirinya.
"Terserahlah," ucap Vivian yang tidak mau ambil pusing. Ia kembali saja pada pekerjaannya dan ia juga , sudah bisa lebih santai sekarang. Sebab, sudah tidak lagi melihat orang yang selalu mengawasinya sejak tadi dan mengganggunya di tempat kerja seperti tadi.
Sementara itu di luar. Tepatnya di parkiran cafe. Mobil berwarna hitam glossy itu tidak berpindah sama sekali. Mobil itu ada sejak sore tadi, hingga hari yang sudah mulai berubah gelap seperti saat ini dan orang yang berada di dalamnya, mulai merasa bosan sampai harus keluar dari dalam mobil dulu dan meregangkan otot-otot pinggangnya yang rasanya kaku sekali ini. Tapi demi sang pujaan hati, lelaki dewasa itu bahkan rela menunggu. Seberapa lama pun, ia akan menunggu sampai wanita itu menyelesaikan pekerjaannya.
Pukul sembilan malam. Vivian sedang merapikan meja satu persatu. Lalu setelah sekitar lima menit. Ia kembali ke ruang ganti dan memakai pakaian, yang ia gunakan kala pergi kuliah siang tadi.
"Ayo, Vi," ajak Aldo yang sudah selesai berganti pakaian dan memang sudah menunggu Vivian di depan ruangan.
"Kamu menunggu aku, Al?" tanya Vivian pada lelaki yang bersandar sembari bermain ponsel ini.
"Iya. Mau pulang bersama seperti kemarin kan?"
"Eum, sepertinya hari ini aku tidak pulang bersama kamu dulu."
"Lho kenapa??"
"Em, aku dijemput."
"Dijemput?? Dijemput siapa??"
Vivian diam. Sebab, bila jujur nanti, ia bisa habis nanti.
"Pacar?" tanya Aldo.
"Bukan."
"Terus? Dijemput siapa jadinya??" tanya Aldo lagi.
"Eum, supirnya Yasmine," jawab Vivian agar Aldo cepat pergi dari hadapannya.
"Ohh... Ya sudah. Kalau begitu, aku duluan ya??"
"Iya."
Aldo meninggalkan Vivian sendirian dan Vivian pun berdiam diri dulu di depan cafe sampai benar-benar sepi. Baru setelah itu, ia mendatangi mobil yang masih terparkir di depan cafe sejak sore.
Pintu depan di sisi kemudi terbuka. Saat Vivian baru akan sampai dua langkah lagi. Vivian berdengus kesal, lalu masuk ke dalam mobil tersebut dan cepat-cepat menutup pintunya dengan rapat.
"Sudah? Tidak ada yang tertinggal?" tanya Thomas dan dijawab anggukan saja oleh Vivian.
"Ok baiklah. Kita jalan sekarang," ujar Thomas yang kini segera melaju dan pergi dari tempat parkir di cafe tersebut.
"Nekat sekali," ucap Vivian disaat sedang dalam perjalanan pulang.
"Siapa?" tanya Thomas sembari melirik kearah Vivian sesekali.
"Ya siapa lagi. Apa tidak takut, bila ketahuan Yasmine nanti??" seru Vivian dengan bengis sekali, kepada lelaki yang tidak ada takut-takutnya ini.
"Tinggal buat alibi saja."
"Alibi?? Jadi, kamu itu seorang pembohong ulung," celetuk Vivian dan Thomas segera menepi, untuk meminta penjelasan atas ucapan Vivian tadi.
"Pembohong ulung?? Siapa yang kamu maksud??" cecar Thomas.
"Kenapa masih bertanya juga??? Kamu itu, orang yang paling tidak waras, yang baru kali ini aku temui. Tapi yang aku heran, kenapa sih, aku harus bertemu orang seperti kamu??"
"Mungkin, karena garis takdir kita, yang mengharuskan kita untuk bertemu. Kalau tidak, mana mungkin kan kita bisa bertemu lagi dan bahkan dekat seperti sekarang ini. Kita memang ditakdirkan untuk bersama."
"Bullshit. Jangan membuatku ingin tertawa," jawab Vivian yang sudah tidak ada sopan-sopannya. Lelaki ini saja, tidak menganggapnya sekedar 'teman anak'. Dia malah seperti menganggap mereka sebaya saja.
"Tapi aku sangat percaya akan hal itu," ucap Thomas sembari perlahan-lahan mendekat dan menempelkan bibirnya di leher Vivian, lalu menghisapnya kuat-kuat.
"Hey! Kamu benar-benar tidak waras!" seru Vivian sembari mendorong Thomas untuk menjauh darinya.
"Iya. Benar. Aku memang sudah tidak waras dan kamulah penyebabnya. Kamu penyebab ketidakwarasanku ini. Kamu membuatku tergila-gila Vivian. Jadi, jangan ada laki-laki lain di hidup kamu. Selain aku dan hanya aku, yang boleh dekat-dekat dengan kamu," ucap Thomas yang kembali lagi mendekat dan kali ini dengan yang lebih cepat serta sembari meraup bibir Vivian dengan mulut yang terbuka.
Vivian membeliak kaget. Ia dorong bahu Thomas dan mengusap bibirnya yang basah.
"Ayo jalan. Jangan sampai kita malah digerebek di sini," ucap Vivian sembari menatap ke arah jendela dan menyembunyikan rona merah di kedua belah pipinya.
"Baiklah. Kita jalan lagi," ucap Thomas yang kembali membawa mobilnya ke lintasan jalan, hingga sampai ke rumah.
Sesampainya di rumah.
Vivian segera naik ke atas tempat tidur dan merebahkan tubuhnya di sana dengan posisi tubuh yang telentang, sembari membayangkan, kegilaan seseorang pada hari ini. Sudah menguntitnya, menunggui di cafe semalaman, hanya untuk pulang bersamanya saja.
"Dia benar-benar tidak waras," gumam Vivian yang malah jadi terpikirkan akan orang tersebut terus menerus. Berkat hal diluar nalar, yang dilakukan oleh orang itu.
Vivian buat gelengan kepala yang cepat, lalu kemudian memejamkan matanya dengan posisi tubuh menyamping. Lelah. Tidur saja dan besok, ia sudah harus kembali pada rutinitasnya lagi di esok hari. Tetapi, sedang pulas-pulasnya, ia malah merasakan sesuatu. Merasa tubuhnya tengah diraba dan disentuh sampai akhirnya didekap dan ia , jadi terpaksa membuka kelopak matanya.
Vivian putar lehernya untuk menoleh ke belakang dan ia mendapati, lelaki nekat tadi yang sudah merebahkan tubuhnya di belakang tubuhnya ini dan tengah melingkarkan tangannya itu di atas tubuhnya sekarang.
"Astaga! Kenapa Om di sini!?" ucap Vivian dengan berbisik.
"Ingin bertemu kamu. Seharian ini, kita jarang sekali bertemu. Hanya sesekali saja bukan?" ucap Thomas seolah tanpa beban. Kegilaannya sudah tidak dapat dibendung. Ia benar-benar sangat menginginkan wanita di sisinya ini.