BAB 15 - Deadly Hemlock's BabyGirl

1758 Kata
“Baiklah, sekarang aku siap bicara. Apa yang kau mau dariku?” tanya Jelita dengan wajah dingin.    “Ha-ha-ha … kenapa aku selalu suka dengan gadis yang galak? Iya, aku suka kamu. Karena itulah, kuberi kesempatan padamu untuk memilih.” Setelah melepas tertawa yang seperti melecehkan Jelita, mendadak Jhonas menjadi serius.    “Aku siap mendengarkan,” kata sang gadis tak kalah serius.    Ruangan itu hening, tampaknya sang lelaki tua tengah memikirkan beberapa kemungkinan dan menjajaki kekuatan si gadis saat ini. Ia melirik sedikit pada tangan Jelita yang berbalut perban, kemudian wajah yang tadi agak tegang menjadi agak sedikit mengendur.    Jhonas melangkah ke belakang, dan kembali duduk di belakang meja. Dengan wajah yang masih tetap tenang, ia memberi isyarat pada Jelita untuk duduk pada kursi di depan mejanya.    “Mari kita bicara bisnis. Kurasa, kamu sudah siap untuk duduk bersama sebagai dua orang terhormat yang akan membicarakan kepentingan kita masing-masing.”    Sekarang, tak ada lagi gelak tawa atau canda mengerdilkan lawan bicaranya pada sikap lelaki tua itu. Ia serius dan malah menunjukkan sikap ramah pada tamu yang selama ini terlihat dibencinya.    Kemudian, Jhonas berbicara kembali tanpa memandang pada orang yang diperintahnya, “Kalian berdua pergi dari ruangan ini. Biarkan aku dan tamuku ini membicarakan segala sesuatunya dengan tenang.”    Kedua pengawal segera pergi dengan patuh tanpa sepatah katapun penolakan dari mereka.    Setelah hanya tersisa mereka berdua di dalam ruangan, laki-laki itu memandang lembut pada Jelita dan mengucapkan kata-kata yang mungkin tak pernah diduga oleh gadis itu.    Sorot mata yang lain dari biasa terpancar dari wajahnya. Dan kini, tutur kata yang juga lembut mengalir tanpa emosi.    “Maafkan atas semua ketidaknyamanan selama ini. Mungkin cara kita berkenalan sudah tidak benar sedari awal. Semua itu adalah merupakan kesalahanku semata.” Wajah tua yang masih terlihat tampan itu memandang dengan tatapan yang sukar dilukiskan.    “Namaku Jhonas Miller.” Ia menutup pidatonya dengan sebuah perkenalan resmi sambil berdiri dan mengulurkan tangan pada tamu di depan mejanya.    Mau tak mau, Jelita harus mengikuti apa yang kini tengah dimainkan oleh lelaki yang dalam beberapa menit lalu masih menampakkan sikap bar-barnya.    “Jelita,” Jawab gadis itu singkat sambil menerima uluran tangan Jhonas yang lalu menggenggam dengan hati-hati telapak tangan Jelita yang masih terbalut perban.    “Sakitkah?”    “Lumayan, walau tak sesakit hatiku saat ini,” jawab gadis itu dengan lugas.    “Sekali lagi, maafkan semua kesalahanku,” Pinta Jhonas kembali.    Dalam pandangan Jelita saat ini, Jhonas yang tiba-tiba berubah menjadi manusia ‘normal' itu malah mengundang seribu tanya dalam hatinya. Bukan karena ia curiga memiliki pikiran jika laki-laki itu tengah bersandiwara, namun lebih pada penampilan sesungguhnya Jhonas.    Ya, tak salah lagi. Beginilah laki-laki itu sebenarnya. Ancaman, tawanya yg meledak dan dibuat-buat, serta intimidasi yang lain, sebenarnya memang terlihat terlalu murahan untuk b******n semacam Jhonas.    Karena, dengan bersikap wajar serta serius berbicara seperti itu, sang Predator justru  menampilkan sisi terkejam dalam dirinya. Tutur kata lembut dan senyumnya yang manis itu adakah sebuah topeng alami yang menutupi hati sang pembunuh berdarah dingin.    Semakin ia baik, semakin besar pula nilai ancamannya; karena itu Jelita segera paham tentang hal tersebut saat nalurinya yang semakin tajam membaca setiap analisa dengan matanya yang tetap menatap kritis.    Hukum rimba dunia liar berlaku di sini. Ibarat seekor ular, ia akan meningkat kadar racun berbahayanya seiring semakin indahnya warna kulit. Dan nalurinya mengatakan itu. Jhonas akan semakin mematikan jika ia menjadi serius atau bahkan ramah di hadapan korbannya.    Jelita berpikir sejenak, dan memutuskan untuk mulai serius melakukan negosiasi dengan gembong penjahat ini. Apapun yang harus dilakukannya nanti, yang paling penting adalah keselamatan ibu serta adiknya. Ia tak perlu lagi risau dengan nyawa yang melekat di badan. Gadis itu berpikir; jika matipun, dirinya akan merasa bangga karena telah berbuat sesuatu bagi keluarga.    “Baiklah, sebutkan saja kemauanmu, dan aku akan melaksanakannya sebatas kemampuanku,” Kata Jelita tenang setelah ia duduk kembali dengan nyaman.    Jhonas mengulum senyum puas mendengar kesediaan Jelita untuk bekerja padanya. Tentu saja ia merasa senang karena apa yang dikehendakinya akan segera dapat ia genggam. Hukum telah berjalan dengan benar di dunianya; tak ada suatu apapun yang tak bisa diperoleh bagi seorang Jhonas Miller!    “Baiklah, mari kita tuntaskan urusan kita agar semua dapat berjalan kembali dengan normal. Kita mulai dari dirimu.” Lelaki yang tampaknya sangat menguasai untuk menjadi pemimpin itu berkata dengan nada datar tanpa emosi.    Lalu ia melanjutkan dengan suara jelas, berwibawa, serta penuh ancaman.    “Situasinya adalah, Ayahmu telah berhutang demikian banyak kepadaku. Karena hal itulah, ia harus menanggung konsekuensi dengan mau tak mau menyerahkan puterinya dengan atau tanpa paksaan sebagai penebus hutangnya itu.”    “Maaf, tapi bukankah hal itu tidak adil bagiku yang tak tahu apapun dengan urusan kalian?” timpal Jelita dengan tegas.    “Tapi begitulah hukum yang berlaku dalam dunia kami. Suka atau tidak suka, semua yang terlibat harus mematuhinya.” Laki-laki itu menjelaskan dengan tutur kata lembut, namun lebih jumawa daripada hakim pengadilan mahkamah tinggi sekalipun.    “Baiklah, aku mendengarkan,” kata Jelita kembali setelah berhasil mengatasi kegusaran hatinya.    “Situasi berikutnya, sekarang ini kamu sudah berada dalam kekuasaanku sepenuhnya. Hidup mati, bahagia ataupun menderita; semua tergantung pada setiap ucapan yang keluar dari mulutku.” Bagai seorang ayah yang memberi nasehat pada anak gadisnya, laki-laki itu kembali berkata lembut.    “Dan, hal apakah yang bisa membuatku tetap hidup serta merasa bahagia?”    “Itu bisa di atur. Tergantung sampai di mana tekad dan kemampuanmu.”    “Aku kembali mendengarkan.”    “Baik. Situasi terkini, Ibu dan adikmu telah mendapatkan tempat yang baik untuk menjalani hidup dengan lebih layak. Kamu sudah tahu itu. Namun, semua tetap ada harganya. Bisnis adalah bisnis. Karena kehidupan mereka, sebenarnya bukanlah merupakan tanggungjawab kami. Itu tanggungjawabmu!”    “Dan, apa yang bisa kulakukan untuk mendapatkan biaya bagi kesejahteraan mereka?”    “Pelan-pelan, anak manis. Ku akui, kamu cerdas dan cepat mengerti semua yang ku maksudkan. Dan pasti kamu juga paham jika semua yang kulakukan kepada orangtua dan adikmu bukanlah perbuatan amal yang cuma-cuma.”    “Tidak ada yang gratis,” Tukas Jelita menggaris bawahi.    “Yup, kamu benar. Tak ada yang gratis di sini. Semua orang harus bekerja bila ingin mencukupi kebutuhannya.”    “Aku paham,” Tutup Jelita tenang.    Entah mengapa, sesuatu di bawah sadarnya mendadak mengirimkan ketenangan batin yang luar biasa pada diri Jelita. Mungkin karena kini ia telah mampu mencerna segala sesuatunya dengan pikirannya yang lebih terbuka, atau malah ia kini menikmati tantangan baru yang terbuka di hadapannya.     Yang Jelita sendiri tidak dapat memahami adalah, mengapa kini tak setitikpun ia merasa takut dengan apa yang akan ia hadapi? Apakah karena ia telah begitu pasrah berserah pada kekuatan tak terlihat yang selalu menolongnya? Dan mengapa kini ia bahkan merasakan seluruh adrenalin di tubuhnya bergejolak seakan tak sabar untuk memulai petualangan baru yang diapun belum tahu akan berwujud seperti apa ...  Jhonas menimpali perkataannya tadi,    “Harus! Kamu harus paham terlebih dahulu tentang semua situasi ini agar semua berjalan dengan baik ke depannya.”    “Itu juga yang aku maksud.”    “Berarti kamu paham jika taruhanmu menjadi semakin besar?”    “Apa maksudmu?”    “Sekarang, bukan hanya kamu yang menjadi jaminan hutang Ayahmu, melainkan tiga orang anggota keluarga. Jaminan telah menambah jaminan yang lain lagi. Ibu dan adikmu akan menjadi jaminan hidupmu di sini. Segala sesuatu sikap dan upayamu yang mengancam kehidupan organisasi, akan mengancam juga keselamatan mereka. Paham?”    Jelita mengangguk, karena ia tak perlu menjawab tentang betapa gamblangnya hal tersebut sejak awal. Tak mau bertele-tele, ia segera  mengajukan pertanyaan pada inti masalah mereka.    “Sekarang, apa yang harus aku lakukan untuk membuat semua orang bahagia?”    “Tergantung kemampuanmu,” jawab Jhonas tegas. Lalu ia kembali melanjutkan, “Jujur, aku kagum dengan kemampuanmu melumpuhkan tiga orang anak buahku. Mereka orang pilihan, yang berarti memiliki keahlian bertarung di atas rata-rata dibanding laki-laki pada umumnya. Dan ku katakan kepadamu, jika bakat serta keahlian itu akan sangat diperlukan di sini.”    Jelita tercekat. Meskipun ia sudah menebak apa yang diinginkan lelaki itu, tak urung ia kaget karena segera sadar jika sebenarnya ia juga tak pernah memiliki kemampuan untuk itu. Hanya Tuhan yang tahu mengapa ia bisa begitu hebat bagai banteng terluka yang mengamuk menumbangkan apapun disaat-saat kritis dalam hidupnya. Namun ia berusaha tetap tenang, karena lelaki itu tak perlu tahu jika ia tak memiliki apa yang diinginkannya.    “Hal itu sudah mendarah daging dalam diriku,” Jawabnya tegas.    “Pertanyaan berikutnya adalah, mengapa bukan pada saat mereka menculikmu saja kau melakukan perlawanan. Bukankah hal itu lebih mudah dilakukan?”    Otak Jelita berpikir cepat, lalu menjawab, “Mereka curang dengan menggunakan obat bius untuk melumpuhkanku.”    “Hmm ... betul juga katamu ... Nah, pertanyaan terakhir. Bersediakah dirimu untuk bergabung dengan kami? Tapi asal kamu tahu, konsekuensinya luar biasa berat,” tanya Jhonas tegas.    ”Tergantung kesepakatan apa yang bisa kita buat,” Jawab gadis itu menirukan kata-kata lelaki itu tadi.  “Oke. Kesepakatannya adalah, ibu dan adikmu akan mendapatkan perawatan kelas satu sebagai balas jasa jerih payahmu.”    “Untuk?”    “Untuk melakukan apa saja yang aku mau,” Jawab laki-laki itu kembali.    “Menyangkut?”    “Yang jelas, kamu sudah naik kelas. Dari yang tadinya hanya merupakan b***k yang akan kujual kepada laki-laki hidung belang, namun sekarang menjadi berbeda. Kamu punya kemampuan, dan itulah yang akan menjadi modalmu bekerja di sini.”    “Tapi aku butuh kejelasan tentang semua tugas yang harus kujalani,” Tegas Jelita. Lalu dilanjutkan lagi,    “Dan aku juga harus tahu sebesar apa bayarannya jika pekerjaanku ternyata memiliki resiko yang tinggi.”   “Ha-ha-ha ... tak salah jika sejak awal aku suka padamu. Kamu berkelas dan punya harga diri. Aku suka itu! Dan ku harap, kamu juga cukup punya harga diri untuk tetap menghormati kesepakatan kita. Hmm ... jangan seperti ayahmu ...” kata-kata terakhir itu menghujam bagai sembilu yang mencap tepat di ulu hati Jelita.    Dengan mengangkat wajah penuh percaya diri, gadis itu segera menanggapi kata-kata pedas dari sang gembong penjahat itu,    “Seperti yang tadi kau katakan, kita duduk sebagai dua orang terhormat. Dan aku yakin pada diriku sendiri jika aku adalah orang yang cukup memiliki kehormatan memegang janji, walau itu harus ditebus dengan nyawa kami bertiga!” Kata-kata yang tegas, lugas dan gamblang untuk menjawab tantangan dan hinaan Jhonas pada ayahnya.    “Bagus. Aku percaya kata-katamu. Nona Jelita, selamat datang dalam keluarga kami. Kamu bukan lagi merupakan tahanan. Saat ini juga kamu bebas untuk melihat-lihat seisi rumah yang akan menjadi tempat tinggal kita bersama. Sementara kamu tetap di kamarmu dulu, dan tunggu seseorang yang akan menjemput dan mengantarkanmu ke tempat baru yang lebih nyaman.”    Laki-laki itu mengulurkan tangan untuk menjabat Jelita sekali lagi. Keduanya pun saling menggenggam tangan dengan pandangan tajam ke mata masing-masing yang ada di hadapan mereka. Lalu, bersamaan keduanya tersenyum.    “Semoga betah di sini. Pembicaraan aku cukupkan; hal-hal lain akan diurus oleh Amara, istriku.”    Jhonas menutup pertemuan, memanggil dua orang penjaga pintu dan mengatakan kepada mereka,    “Antarkan Nona Jelita dengan baik untuk kembali ke tempatnya. Jangan satupun diantara kalian ada yang berani berbuat kurang hormat kepadanya, karena ia sekarang adalah anggota keluargaku yang baru,” Tegasnya kepada para bawahan yang hanya bermodal otot itu.    Mereka mengangguk hormat pada Jhonas, dan sekali lagi mengangguk sambil menghadap Jelita yang tak sedikitpun mau menegok pada mereka.  Ketiganya segera berlalu.    ***   
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN