“Gimana hari ini, Ta?”
“Rame banget, Kak. Prita izin nggak masuk hari ini. Makanya aku sama Joana kerja rodi, hah.”
“Hehe, enggak papa. Tetap semangat!”
“Pasti dong, Kak Adam!”
Motor terus melaju menembus dinginnya malam pukul 10. Nampak bulan sabit terlukis di langit gelap bersama taburan bintang yang nampak berkilauan.
Malam boleh larut dan telah membawa lelap sebagian orang yang ada di kota ini. Namun tidak dengan dua muda-mudi yang masih terjaga karena baru saja pulang mencari rezeki.
Jelita Revanala, gadis 21 tahun yang harus putus kuliah karena usaha kedua orangtuanya mengalami kebangkrutan total. Hal tersebut membuat semua harta benda yang dimiliki menjadi habis tak tersisa, termasuk juga dengan perginya sang Ayah begitu saja tanpa pamit.
Laki-laki itu menelantarkan Jelita, Ibu juga adik laki-lakinya yang masih duduk di kelas 4 SD, tak berselang lama setelah kebangkrutan keluarga terjadi. Semua yang terjadi secara bersamaan itu, seketika membuat Ibunya terbaring sakit.
Dua bulan lalu adalah masa-masa terberat bagi Jelita untuk bertahan. Hari-hari pelik dengan permasalahan kompleks yang harus Ia tanggung. Apalagi ketika mereka harus menghadapi kenyataan lain, bahwa sang Ayah telah begitu tega meninggalkan meraka begitu saja. Ia melarikan diri dan tak mau bertanggung jawab atas semua yang terjadi.
Jelita kini mengerti, kasih yang selama ini Ayah berikan adalah kasih palsu tak berperasaan, yang akhirnya hanya membuat mereka menderita. Terlebih bagi sang Ibu yang merasa sangat dikhianati.
Namu walau awalnya terasa berat, kini ia merasa telah mampu kembali berdiri tegap untuk menanggung semua beban dengan merawat sakit sang Ibu serta mengurus adiknya yang masih kecil agar tetap bisa bersekolah. Semua dukungan dan kekuatan yang Jelita peroleh tak lain berasal dari Adam, sang kekasih yang senantiasa setia menemaninya hingga kini.
Adam menjadi salah satu orang luar yang tahu tentang bagaimana suksesnya usaha kedua orangtua Jelita dan juga menjadi saksi bangkrut serta carut-marutnya keluarga kekasihnya itu.
Dalam lubuk hatinya yang paling dalam, Lelaki itu merasa kasihan ketika melihat Jelita harus kerja banting tulang untuk membiayai Ibu juga adiknya. Gadis itu juga rela putus kuliah serta menerima semua cemooh yang dilemparkan padanya dengan mengambil sikap diam dan tetap melanjutkan sampai sekarang.
Andai ia bisa membantu lebih banyak, apapun akan ia berikan untuk Jelita. Namun kembali lagi, Adam hanyalah orang dari kalangan biasa bukan dan bukan terlahir sebagai keluarga konglomerat.
Ia mahasiswa yang bekerja paruh waktu di sebuah kedai kopi. Untung saja Ia mendapat beasiswa dari pemerintah, sehingga membuatnya bisa tetap mengenyam bangku kuliah hingga lulus nanti.
Kekasih Jelita merupakan anak pertama dari 4 bersaudara. Tentu saja hal itu membuatnya merasa bertanggung jawab untuk membantu orangtuanya yang juga pas-pasan. Mereka hanya bekerja sebagai buruh di salah satu pabrik tahu yang tidak terlalu besar dan hanya berjarak 100 meter dari rumahnya.
Namun, Adam sudah berjanji pada diri sendiri untuk selalu ada dan siap kapanpun Jelita membutuhkannya. Dan kini, betapa senang tak terkira pemuda itu ketika telah dapat melewati 2 bulan lebih masa-masa yang berat bersama sang pujaan hati. Semua badai akan segera berlalu, dan akhirnya sekarang ia bisa melihat kembali senyum tersungging di wajah ayu gadis itu.
Ia semakin bersemangat memberikan dukungan, apalagi ketika suatu saat Jelita meminta dirinya untuk membantu mencarikan informasi tentang lowongan pekerjaan.
Dan, sekarang hampir satu bulan Jelita bekerja menjadi pramusaji di salah satu restoran nusantara berkat informasi yang Adam dapat.
Dalam kesengsaraannya, setitik harapan tersebut membuahkan rasa senang bukan kepalang ketika Jelita bisa diterima bekerja di tempat tersebut. Gadis itu menjadi lebih bersemangat untuk bekerja karena semua dilakukan demi Ibu dan adiknya.
Adam selalu memberikan dukungan pada Jelita untuk tetap kuat meskipun ia tahu bahwa gadis itu telah demikian hancur. Pemuda tersebut sangat paham betapa hati gadis itu begitu pecah berkeping dan berserakan penuh darah di sepanjang waktu ini.
Baginya, senyum Jelita yang kembali mengembang adalah sebuah keajaiban. Hal itulah membuat Adam bertekad untuk tetap mempertahankannya seperti itu selama yang ia mampu.
“Sehat terus ya, Ta. Selalu semangat sambil tetap menjaga mimpimu agar bisa kuliah lagi,” kata Adam menyemangati disela-sela perjalanannya mengantar Jelita pulang ke rumah.
“Hehe, siap Kak!”
Jelita semakin mempererat pegangan pada pinggang kekasihnya itu. Adam adalah seseorang yang sangat berharga baginya. Ia laki-laki yang setia dan begitu menyayangi. Adam memberikan kekuatan dalam melewati masa-masa sulit nan kelam yang menimpa, bahkan bersedia melakukan apapun agar bisa membuatnya tetap semangat.
“Udah sampai!!” seru Adam setengah berbisik ketika sudah sampai di depan rumah kontrakan Jelita yang sangat sederhana.
Dinding dari bahan papan kayu yang di cat putih dan daun jendela berwarna cokelat tua menambahkan kesan jadul rumah ini. Pagar rumah setinggi kurang lebih 1 meter saja nampak usang dan berkarat. Di sana-sini kawatnya sudah berlubang.
Adam mematikan mesin motornya diikuti Jelita yang telah lebih dulu turun dan langsung membuka pagar rumahnya.
“Makasih banyak ya, Kak Adam.”
“Sama-sama, Ta. Jangan lupa, cek dulu semua pintu ya. Pastikan udah terkunci. Terus mandi, kalo udah kabarin aku, lalu istirahat. Oke?”
“Hihi, iya-iya Kak. Siap, pokoknya beres!”
Mereka berduapun tertawa kecil dan sebuah cubitan gemas dari Adam melayang tepat di hidung Jelita yang membuat gadis itu harus menahan tawa.
“Nakal Kak Adam ah, he-he.”
“Ta?”
“Hmm?”
“Enggak papa, ngetes doang haha.”
“Ih, kakak mah. Udah sana pulang. Nanti malah makin kemaleman. Kak Adam kan besok ada kuliah pagi.”
“Hehe iya sih. Enggak tau kenapa rasanya enggak pengen pulang.”
“Halah, gombal! Udah sana,” Jelita mencubit lengan Adam untuk memberi isyarat kepada Laki-laki itu supaya lekas pulang karena malam semakin larut.
Jarak rumah Adam bisa dibilang tidak begitu jauh, hanya berbeda wilayah saja dengan tempat Jelita.
“Hehe, oke. Bye Jelita, sampai besok ya. Kabarin aku.”
“Siap, Kak. Hati-hati ya.”
Adam kembali menyalakan mesin motor lalu tersenyum kepada Jelita. Ia meluncur perlahan meninggalkan rumah kekasihnya itu. Jelita masih menunggu hingga bayangan Adam menghilang di belokan depan.
“Hoaamh, capek juga hari ini,” keluh Jelita pada diri sendiri.
Jelita kemudian bergerak hendak mengunci kembali pagar rumahnya. Namun, niatnya terhenti ketika ia melihat 2 orang laki-laki tinggi tegap mengenakan setelan jas lengkap dengan kacamata hitam berjalan melangkah mendekat ke arahnya.
Tubuh Jelita mendadak kaku dan pandangannya nanar tanpa bisa dialihkan dari kedua orang tersebut. Aneh, itu hal pertama yang Ia rasakan ketika melihat di malam buta begini ada dua orang lelaki yang mengenakan kacamata hitam.
Mereka berdua berdiri di depan Jelita yang sudah mulai merasa takut. Tangannya mendadak berkeringat dingin juga gemetar.
Kemudian, langkah kaki samar-samar terdengar semakin mendekat ke arahnya. Bertambah seorang lagi laki-laki yang juga memiliki tubuh tinggi tegap mendekat. Orang itu juga mengenakan kecamata dan topi yang serba hitam.
Jelita menelan ludah, Ia terpaku tanpa bisa menggerakkan tubuh, hingga tibalah orang itu tepat di depannya.
Dua orang lain memberikan tempat dengan sikap hormat untuk pria bertopi itu. Sekarang menjadi jelas siapa yang memiliki kedudukan paling tinggi diantara mereka bertiga.
“Jelita Revanala,” kata Pria bertopi tersebut yang membuat Jelita tersentak terkejut karena orang itu mengetahui namanya.
Dalam ketakutan serta kepanikan yang menyelimuti, Jelita memberanikan diri untuk membuka suara.
“Ka ... Kalian siapa?”
Jelita mengepal kuat-kuat untuk menyembunyikan kedua telapak tangannya yang bergetar dingin dan berkeringat.
Ujung bibir pria bertopi tersebut terangkat lalu diikuti dua orang yang ada di belakang dengan seringai yang membuat Jelita bergidik ngeri.
Pria bertopi itu maju selangkah agar lebih dekat dengan posisi Jelita berdiri. Gadis itu tak bisa berkutik. Ia tak bisa menggerakan kakinya untuk mundur menjauh dari mereka.
“Kami adalah orang-orang yang akan menjemputmu,” begitu kata Pria bertopi menjawab pertanyaan dari Jelita.
“Menjemput?? Menjemput untuk apa?”
Tanpa menjawab pertanyaan Jelita, pria itu mengangguk sekali ke arah para bawahan. Adegan berikutnya, dengan sigap kedua orang pria yang ada di belakang mendekat ke arah Jelita dan langsung mengunci lengan kanan dan kiri gadis itu.
Jelita yang ketakutan mencoba untuk berteriak namun usahanya gagal ketika salah seorang pria yang mengunci lengannya itu, membekap mulut dengan cepat menggunakan kain. Tak berselang lama, Jelita pingsan dan hilang kesadaran diri.
Mereka membawa Jelita menjauh dari rumah dan memasukkannya kedalam mobil sedan berwarna hitam yang langsung meluncur jauh meninggalkan rumah Jelita.
Sementara itu ...
Adam sedang dalam perjalanan kembali menuju rumah Jelita.
“Kalo besok pagi enggak di pake mah, aku ambil besok aja. Duh, pake lupa segala helmnya.”
Adam memacu kendaraanya cukup cepat, agar lekas sampai dan ia bisa langsung pulang. Namun tiba-tiba saja Adam hampir terperosok ke bahu jalan karena berpapasan dengan mobil sedan yang melaju tak kalah cepat dan hampir saja menabraknya.
Mobil itu tiba-tiba saja muncul dari belokan dan membuatnya terkejut.
“Hey, hati-hati dong!” seru Adam yang terpaksa menghentikan laju motornya sementara sedan hitam itu terus melaju dengan cepat dan meninggalkannya dalam kebingungan.
Adam menghela napas, lalu kembali mengendarai motornya menuju rumah Jelita.
Tiba di depan rumah, mendadak Adam mengernyit bingung. Dengan sedikit tergesa, ia turun dari motor untuk menghampiri pagar yang masih terbuka dan belum terkunci.
Tak jauh dari itu, Adam melihat helm miliknya yang di pakai oleh Jelita tergeletak terbalik di tanah dan sebuah kunci yang Adam tahu merupakan kunci pintu depan rumah Jelita tergeletak di dekat helm tersebut.
Adam memungut kedua benda itu dengan perasaan was-was dan berpikir tentang apa yang sebenarnya telah terjadi.
Rasa penasarannya semakin besar ketika Adam membuka pintu dan melihat Altara—Adik Jelita keluar dari kamar sambil menangis. Rupanya Ia mengetahui kedatangan Adam.
Dengan tergesa-gesa, Adam menghampiri bocah itu. Tiba-tiba Altara langsung memeluk Adam dan menangis lirih dipelukannya.
“Ada apa, Al? Ada apa??”
Bocah itu memeluk Adam semakin erat. Tubuhnya terasa dingin dan bergetar seperti bocah yang sedang ketakutan.
“Enggak papa, Enggak papa, ini Kak Adam. Altara kenapa, Al?”
Adam mencoba menenangkan bocah itu dengan mengusap-usap kepala dan punggung Altarra.
Perlahan bocah itu melepas pelukan. Dengan mata berlinang, ia berusaha untuk berbicara dengan Adam.
“Kak ... Kak Jelita diikat orang ... Alta takut ...”
“Apa? Diikat?”
Altara mengangguk dengan air mata yang masih berlinang meluncur melewati pipinya.
“Bibirnya di kasih plester terus di gendong enggak tau di bawa kemana. Aku udah lari tapi kakak masuk mobil, huaaa takut ... Alta takut...”
Kembali Altara memeluk Adam dan menangis dalam diam. Bocah itu menangis lirih namun jelas sekali kalau ia ketakutan.
Pikiran dan hati Adam seketika berkecamuk tak karuan. Rasa khawatir memenuhi rongga dadanya.
‘Jelita diculik!’
***