Perlahan kesadaran Jelita mulai kembali. Gadis itu mengernyitkan kening karena merasakan kepalanya seperti ditindih batu yang sangat berat.
“Sssshhh ... aduhhh ...” denyut menggigit semakin terasa saat ia berusaha menggerakkan badannya.
Kembali Jelita merintih ketika rasa sakit menjalar pada tubuh dan tangan saat ia berusaha untuk bangkit dari posisi berbaring. Dengan sekuat tenaga dan lebih karena tekad yang demikian kuat, akhirnya gadis itu bisa bangun dan memposisikan dirinya untuk duduk bersandar pada ujung tempat tidur.
Merasakan sesuatu yang aneh, sang gadis menatap telapak tangan kanan yang kini telah dibalut kain perban. Ada sedikit bercak merah noda darah tersisa di sana. Lalu ingatannya berkelebat tentang bagaimana luka itu bisa ia dapatpun. Terbayang dalam benaknya kembali, bagaimana ia mampu menghancurkan sebuah lemari kayu yang demikian keras dan kokoh.
Begitu jelas gambaran itu sekarang. Bahkan, perasaan yang ia rasakan saat itupun masih bisa ia ingat. Hal itu adalah tentang perasaan sedih, marah, kecewa, takut, juga rindu yang berkumpul menjadi satu.
Jelita merasakan tubuhnya begitu lelah, lemah dan sangat sakit. Kembali ia memikirkan apa yang terjadi saat itu. Semua adalah nyata, dan bukan ilusi karena perasaan batinnya yang tertekan. Dalam puncak kemarahannya, dengan sekali pukul saja benda itu telah hancur berantakan bagai sepotong barang lapuk tak berarti.
Ia sama sekali belum mengerti dengan apa yang ada padanya. Jika memang itu kekuatan dari dalam, mengapa tak mau menampakkan diri disaat ia begitu membutuhkannya? Dan, mengapa sangat sulit untuk melakukan hal seperti itu dalam keadaan sadarnya?
Ia sudah berlatih kembali dan melakukan teknik pernapasan yang diajarkan seseorang dari masa lalunya dulu, namun kekuatan penuh itu tidak muncul. Apalagi muncul dengan berjaya, bahkan untuk memperlihatkan tanda-tanda saja seakan enggan.
Namun mengapa justru kekuatan itu muncul ketika ia tak berniat memunculkannya. ‘Tunggu? Mungkinkah ... energi yang aku miliki hanya muncul ketika aku marah saja? Dan tidak akan datang jika aku berniat untuk memunculkannya?’ Jelita bermonolog dengan dirinya sendiri sambil mencoba berpikir dan menghubungkan kembali tiap-tiap moment yang terjadi.
Dengan mata liar, ia mengedarkan pandangan ke penjuru ruangan ini untuk mengingat apa yang telah terjadi, lalu perhatiannya tertuju pada ponsel berwarna hitam yang tergeletak di atas nakhas. Seketika ingatan tentang ancaman Jhonas muncul dalam kepalanya. Tubuh Jelita kembali bergidik ngeri membayangan Diana dan Altara yang kini telah ikut dilibatkan.
Gadis itu kembali menangis dalam diam karena merasa bingung dan tertekan. Satu sisi ia tidak mau bekerja dengan Jhonas dan menjadi budaknya, namun di sisi lain ia juga tak ingin Ibu dan adiknya dalam bahaya.
Saat kebimbangan menyelimutinya, ponsel hitam itu kembali berbunyi.
Ting!
Sebuah pesan kembali masuk dan sudah bisa ditebak siapa pengirimnya. Jelita masih takut untuk membaca pesan dari Jhonas, akan tetapi ia juga penasaran dengan apa yang akan disampaikan oleh laki-laki itu padanya.
Akhirnya, ia meraih ponsel itu dengan tangan kiri, lalu membuka pesan tersebut. Wallpaper mirip bunga wortel itu kembali terlihat dengan jelas seolah memancarkan keindahan misteriusnya dalam background gelap.
Kali ini Jhonas mengirimkan foto-foto Diana dan Altara, mulai dari mereka sedang makan di sebuah restoran cepat saji terkenal, berjalan-jalan di mall, hingga duduk di sebuah tempat yang nampak nyaman berlatar TV LCD berukuran jumbo lengkap dengan home teathernya.
Mata Jelita panas dan perlahan pandangannya kabur karena tertutup oleh air mata. Ia merasa lega karena dua orang yang amat dicintainya dalam keadaan baik-baik saja bahkan terlihat bahagia. Tentu saja, penampakan mereka sekarang jauh berbeda dibandingkan keadaan mereka sebelumnya seperti ketika ia tinggalkan.
‘Benarkah itu mereka? Ya Tuhan ... Mama ... Altara aku kangen kalian’ batin Jelita sambil mengusap foto Ibu dan adiknya itu.
Tak berselang lama, Jhonas kembali mengirimkan sebuah pesan video padanya. Dengan mengumpulkan segenap keberanian, Jelita menekan tombol Play pada video tersebut.
Detik pertama, video itu menampilkan sebuah ruangan yang memiliki TV LCD 56 inchi lengkap dengan home teather terpajang elegan di seputarnya. Kemudian detik berikutnya, Jelita mendengar suara seperti orang yang sedang berbicara. Iapun memperbesar volume ponsel agar lebih jelas terdengar.
“Oh, sudah mulai ya? Baik ... terima kasih ya ..."
“Mama? Ayo cepat sini, Ma."
Jelita membulatkan mata tak percaya dengan apa yang ia dengar. Sebuah suara yang teramat ia rindukan kembali muncul. Merasa belum mempercayai pendengarannya, ia menambah volume suara pada ponsel tersebut.
Pada detik selanjutnya, nampak sosok Diana dan Altara tepat terbingkai dalam layar ponsel yang sedang Jelita genggam.
“Ya Tuhan ... itu Mama dan Altara ..."
Suara Jelita lirih terdengar menahan getaran hati karena tangis yang sudah siap meledak saat itu juga.
“Halo Kak Jelita ... hehehe, kakak lagi apa? Eh apa Ma?"
“Altara duduk dulu yang pinter, sini deket Mama sini."
Nampak Diana menyuruh Altara untuk duduk dekat dengannya kemudian memeluk bocah laki-laki itu.
“Jelita Sayang, apa kabarmu Nak?” tanya Diana dengan mata yang sudah berkaca-kaca.
“Kakak sehat kan?” Altara sang adik kembali ikut berbicara.
“Mama mau bilang, terima kasih banyak karena sudah membantu Mama dan Altara. Tempat ini sangat bagus, bagus sekali, Nak."
Jelita tak kuasa membendung air matanya ketika mendengar Diana berbicara. Dalam hati ia merasa sangat bahagia mendapati Ibu dan sang adik dalam keadaan baik-baik saja, bahkan terlihat lebih sehat dari sebelumnya.
Kondisi mereka nampak sangat berbeda, dengan baju yang lebih layak dan baru, juga wajah yang jauh lebih cerah dari sebelum Jelita menghilang.
“Lihat, adikmu terlihat sangat tampan dengan baju superhero yang kamu belikan kemarin, bukan? Saking senangnya ia tak mau ganti dengan baju santai yang kamu belikan juga untuknya. Katanya, ia jadi terlihat lebih tampan. Hihi, Altara ini ada-ada saja ya, Nak."
Jelita tersenyum meskipun air matanya terus mengalir deras, ia senang sekali bisa melihat adik dan Ibunya lagi walau tak secara langsung. Ia benar-benar merasa lega karena kedua orang yang sangat ia cintai dalam keadaan sehat.
“Jelita sayang, Mama sudah sehat. Ya, meskipun masih harus rutin kontrol ke Dokter, tapi Mama sudah merasa jauh lebih baik. Obat yang diberikan untuk Mama, pasti selalu Mama habiskan karena Mama selalu ingat kamu. Terima kasih ya Sayang; karena kamu, Mama sekarang sudah sembuh dan merasa sehat kembali. Oh ya, waktu itu Mama sempat kaget karena mereka bilang kalau Mama dan Altara harus pindah rumah. Mama pikir bakal disita, ternyata mereka bilang kamu sudah membeli apartemen yang bagus ini untuk tempat tinggal kami, bahkan Altara juga sudah diurus untuk sekolahnya yang tidak jauh dari sini. Jelita, Mama mengucapkan banyak terima kasih padamu, Sayang. Meskipun jujur Mama masih kaget dengan kepergianmu yang sangat mendadak itu, tapi mereka sudah menjelaskan sama Mama kalau ada pekerjaan yang memang harus kamu selesaikan. Emm ... Jelita sayang, baik-baik di sana ya ... Mama dan Altara kangen sama kamu, Nak. Kapan kita bisa bertemu lagi ya?"
Air mata Jelita mengalir deras mengalir melewati pipinya, saat mendengar kata-kata yang halus bertutur cerita dari Mamanya.
Meskipun banyak hal janggal yang ia dengar, rasa lega dan bahagia karena melihat sang Mama membuatnya menepis itu semua. Kemudian giliran sang adik yang ikut berbicara, menyampaikan rasa rindu juga menanyakan keadaan Jelita sang Kakak.
“Ayo, Altara bilang sama Kakak. Ini Om nya mau lanjut kerja ... ayo cepet ..."
“Iya-iya. Kak Jelita ... cepet pulang ya Kak ... Altara kangen sama kakak ... eh apa tadi Ma, eh Kakak sehat-sehat terus ya ... nanti kalo pulang jangan lupa Altara dikasih hadiah lagi hihihi .. oh iya Altara udah lihat sekolahnya ya kan Ma ... bagusssss banget ... suka ... Makasih ya Kakak ... hihihi muah muah ..."
Video itu berakhir dengan lambaian tangan perpisahan dari Diana dan Altara untuk Jelita. Semua kembali hening seperti semula. Gadis itu menunduk sambil menatap kosong ke arah ponsel yang ada di genggamannya.
Jelita memang merasa lega karena kini ia tahu bhawa Ibu dan adiknya baik-baik saja, akan tetapi ia juga merasa was-was karena itu berarti mereka telah benar-benar berada di tangan Jhonas. Laki-laki itu bisa bebas melakukan apapun kepada Ibu dan adiknya, bahkan tak segan-segan melukai bila ia menolak apa yang Jhonas minta.
Sekarang, semua keputusan ada di tangan Jelita. Jika ia ingin Ibu dan adiknya baik-baik saja, menuruti apa mau Jhonas adalah jalan keluarnya.
Tapi, Jelita tidak mau begitu saja diperdaya oleh Jhonas, ia harus memikirkan kepentingannya yang lain. Jika Jhonas saja sampai memintanya bergabung, itu berarti ia memiliki sesuatu yang Jhonas butuhkan. Dan hal itu bisa ia manfaatkan supaya dirinya tidak benar-benar menjadi b***k laki-laki itu.
Gadis pintar itu sangat paham jika Jhonas adalah orang yang licik, maka dari itu ia juga harus membuat siasat supaya dirinya tidak benar-benar dirugikan. Yang paling utama, Ibu dan adiknya harus baik-baik saja selama dia tak bisa bertemu dengan mereka. Semua tidak gratis, Jhonas pun harus membayar itu jika memang laki-laki itu, menginginkannya.
Jelita menarik napas dan menghembuskannya perlahan,
“Ya, aku harus berbicara dengannya."
Semangatnya bangkit, seluruh tubuhnya seakan dialiri oleh sebuah energi yang seketika membuatnya bugar dan memiliki ‘sesuatu’ hal yang berbeda dari sebelumnya. Ia tahu, jika hanya ketenangan mentallah yang dibutuhkan saat ini.
Sebuah keyakinan terpatri dalam benak; jika suatu waktu nanti, ia pasti akan memiliki kekuatan dan keahliannya kembali. Hal itu pernah ia miliki sebelumnya, pasti suatu saat akan tetap menjadi miliknya. Bertahun ia pernah belajar dan menekuni itu tanpa sadar, berarti itu akan kembali padanya jika ia telah menemukan sebuah pencerahan.
***