Linda diam seribu bahasa, tak dapat menjawab pertanyaan yang keluar dari bibir Jelita. Sesaat wanita itu menatap penuh iba, lalu perlahan senyum tipis merekah; seolah mencoba memberikan pengertian kepada Jelita bahwa ‘hal itu tidak benar’.
“Pakailah, Nona. Tuan Jhonas tidak senang menunggu terlalu lama.”
“Bibi, sebenarnya ini tempat apa?!
Jelita kembali bertanya kepada Linda dengan nada yang sedikit mendesak. Ia membutuhkan informasi lebih banyak karena ia tak mau merasa bodoh seperti ini. Jika ingat perlakuan dan sikap Jhonas padanya yang penuh napsu dan sikap para anak buah yang begitu kasar, ia mengambil kesimpulan kalau tempat ini bukanlah tempat yang “biasa”.
Linda hanya bergeming dan mengabaikan pertanyaan dari Jelita. Ia tetap fokus menyisir rambutnya yang tergerai, kemudian Jelitapun hanya bisa diam dan pasrah.
Ia tak marah kepada Linda yang enggan menjawab pertanyaannya, namun ia juga jadi merasa kesal dengan semua ini. Bayangan sang Ibu melintas di kepala saat ia menatap bayangan dirinya dan Linda di cermin. Semakin lama, bayangan itu menjadi semakin kabur, tertutup air mata yang kembali menggenang di sudut pelupuk.
Suara derit pintu yang dibuka dengan kasar, sontak membuat Jelita dan Linda terkejut hingga sisir yang berada ditangan wanita itu terjatuh ke lantai.
“Hey, Linda! Kenapa sangat lama, hah?! Kau kan tahu Tuan Jhonas tidak suka menunggu terlalu lama!”
Danu—si Asisten kepercayaan Jhonas datang lagi bersama dua bodyguard yang telah bersikap sangat kasar pada Jelita.
“Maafkan saya,” jawab Linda sambil menunduk. Jelita bisa melihat tangan Linda gemetar, entah bagaimana bisa wanita keibuan ini terdampar disini dan bekerja untuk Jhonas. Pertanyaan itu muncul dalam pikiran Jelitan dalam logika yang menilai ketidakwajaran.
Danu memberi isyarat dengan dagunya untuk membawa Jelita kembali keluar kamar. Gadis itu seketika merinding ngeri saat membayangkan dua tubuh besar dan kekar itu akan menyeretnya lagi. Sikap itu telah begitu terpatri dalam benak serta pikiran Jelita. Tapi dia hanya bisa pasrah ketika dua orang itu mencengkeram lengannya dengan sangat kuat, lalu menariknya untuk bangkit dari duduk.
“Agghh!” Jelita merintih menahan sakit, namun sama sekali tidak digubris oleh orang-orang itu.
Sebelum keluar dari kamar, Jelita sempat menoleh ke belakang dan ia mendapati Linda sedang menangis. Tatapan wanita itu seolah mengisyaratkan permohonan maaf tak terucap.
Kini, Jelita berdiri di depan sebuah pintu kayu raksasa yang memiliki ukiran khas di mana setiap lekuknya saling terhubung dan membentuk sebuah bunga yang ia sendiri tak tahu namanya apa.
Jelita segera tahu jika ia akan masuk di ruangan lain yang berbeda lagi, bukan tempat dimana tadi saat Ia dipaksa menghadap Jhonas. Ia ingat persis ukiran yang terukir di pintu sebelumnya adalah bunga lotus yang mekar.
Danu mengangguk—memberikan isyarat agar dua bodyguard yang mencengkeram kuat lengan Jelita untuk mendahului masuk ke dalam. Kembali perasaan tertekan mengusiknya. Ia merasa bahwa dibalik pintu itu, Jhonas sudah kembali menunggunya dengan sikap yang angkuh dan penuh birahi.
Jelita berusaha menarik napas dan membuangnya perlahan meskipun itu hanya sedikit membantunya untuk tenang. Ia ingin sekali memeluk dirinya sendiri namun apa daya kedua pergelangannya telah kembali terikat.
Dugaannya benar. Begitu Ia masuk, segera matanya menangkap sosok dengan jas hitam sama persis dengan yang dilihat sebelumnya sedang duduk di tepi meja sambil memegang gelas kristal berisi cairan merah.
Ruangan ini lebih minimalis daripada ruang sebelumnya yang hampir mirip dengan ballroom. Jelita menyapu pandang sekilas, ruangan itu yang didominasi warna merah marun, emas dan hitam bergaya victoria.
Ia juga melihat sebuah lemari kaca berisi penuh buku-buku yang tersusun rapi dan beberapa Candle Lamp klasik yang menempel di dinding.
Perhatian Jelita kembali tertuju pada Jhonas yang terlihat menyeringai, lalu meneguk habis cairan dalam gelas tersebut dan dengan elegan meletakan gelas yang sudah kosong ke atas meja. Ia bangkit lalu berjalan perlahan ke arah Jelita yang masih dicengkeram kuat oleh dua bodyguard Danu.
“Welcome to my room, Jelita. Sepertinya ... kamu takjub dengan ruangan ini.”
Jhonas tepat berdiri di depan Jelita. Perlahan ia merasakan cengkeraman di lengannya mengendur, lalu dua bodyguard yang tadi memeganginya telah menjauh.
Jelita baru sadar kalau Jhonas memiliki tinggi badan yang sama dengan dua laki-laki yang memeganginya tadi. Tubuhnya tinggi tegap meskipun kerutan di sudut mata tak bisa berbohong bahwa laki-laki blasteran itu sudah berumur lebih dari setengah abad.
Jelita kembali menunduk ketika Jhonas menatapnya. Laki-laki itu mendekatkan wajahnya ke telinga Jelita, dan reflek membuat Jelita menghindar.
“Hmmm ... Linda memberikan aroma wangi yang sangat cocok untukmu. Dia memang asisten yang handal.”
Jelita merasakan Jhonas mengendus rambut yang menjuntai dekat kepalanya. Spontan, ia mendorong Jhonas dengan kedua tangannya yang terikat. Namun, tiba-tiba secepat kilat lengannya telah kembali dicengkeram oleh dua orang yang bersiaga di belakangnya.
Jhonas tertawa mengejek sambil memberikan isyarat pada bodyguard itu untuk melepas cengkeraman mereka.
“Its oke,” katanya lalu menyeringai.
Jhonas mengitari meja kerjanya yang terlihat mewah, lalu duduk di kursi kulit hitam dengan penuh wibawa. Ia kembali mengisyarakan agar Jelita duduk di kursi yang berhadapan dengannya.
Danu berjalan mendekat ke arah sang Big boss dan berdiri di samping laki-laki itu. Sudah bisa Jelita pastikan kalau Danu adalah orang kepercayaan Jhonas. Ia juga memiliki akses dan wewenang yang lebih tinggi daripada pelayan yang lain. Tatapan Danu yang tajam justru membuat Jelita merasa muak pada laki-laki itu.
Jhonas mengangkat tangan kanannya sebagai isyarat meminta sesuatu pada Danu, lalu dengan cekatan laki-laki itu mengambil sebuah map berwarna cokelat tua yang tergeletak di meja kecil tak jauh dari jangkauannya.
Jhonas membuka map tersebut, ia kembali bangkit dari duduk dan berjalan mengitari meja agar bisa berada di samping Jelita.
Diletakannya Map cokelat tersebut di atas meja tepat di depan Jelita. Jhonas membuka map tersebut sambil dengan sengaja tubuhnya didekatkan secara intim pada Jelita, bahkan tangannya juga secara perlahan berusaha merangkul pundak gadis itu.
Reflek Jelita berusaha menepis dengan menggerak-gerakan pundaknya sebagai bentuk protes agar Jhonas menyingkirkan tangannya.
“Read This!” titah Jhonas kepada Jelita sambil menunjuk kertas yang ada di balik map tersebut.
Mau tak mau, gadis itu memusatkan pandangan pada kertas yang ditunjukkan padanya. Saat menangkap beberapa huruf yang menulis nama ayahnya, Jelita lalu menjadi tertarik dan mulai membaca dengan seksama isi dari kertas tersebut.
Selagi mengumpulkan semua konsentrasinya, Ia merasa terganggu dengan ulah lelaki tua itu yang kini terus saja mengendus rambut serta pundaknya.
“Bagaimana aku bisa membaca isi kertas itu kalau kau terus saja menggangguku?!!” bentak Jelita dengan suara yang sedikit ditekan. Suara gertakan giginya malah membuat Jhonas kembali tertawa.
Ia senang sekali melihat respon Jelita yang agresif dan terang-terangan seperti itu. Cantik tapi liar! Namun, ia tak lantas percaya begitu saja akan keberanian gadis ini. Baginya, Jelita sama saja dengan b***k-b***k jaminan lainnya. Emosional, main gertak, tapi pasti akan menyerah dan bertekuk lutut sambil menangis memohon ampun.
Jhonas mengangkat kedua tangannya, lalu beralih duduk di atas meja menghadap Jelita yang kembali serius berusaha membaca dan mencerna isi dari kertas tersebut.
Kata demi kata ia baca dengan cermat. Namun, tiap kalimat yang terangkai malah membuat dadanya jadi terasa ngilu. Ia tak sanggup lagi membendung air mata yang sedari tadi ia tahan di sudut mata.
Jawaban atas pertanyaan yang menganggu kepalanya kini terjawab sudah. Apa yang dikatakan Jhonas memang benar adanya. Hutang-hutang Ayahnya sebesar 10 Milyar adalah fakta dan dirinya secara tegas dan meyakinkan telah tercatat sebagai jaminan atas hutang-hutang tersebut. Ini semua adalah nyata, walaupun tak ada sedikitpun keadilan.
“Hey ... hey ... Don’t cry baby.”
Jhonas kembali mendekat ke arah Jelita dan merangkul gadis itu. Jelita hanya pasrah, ia terus menunduk sambil menangis. Dadanya berkecamuk dengan rasa-rasa yang menyakitinya secara bersamaan. Perasaan marah juga benci kepada sang Ayah dan perasaan rindu kepada Ibu, adik, juga Adam. Ia ingin pulang.
‘Ya, aku harus pulang. Kalau memang ini hutang, berarti ada cara untuk melunasinya bukan?’
Suara dari dalam pikirannya membuat Jelita berhenti menangis. Perlahan ia mengangkat wajah dan menatap nanar kursi kulit mewah yang kosong karena sang pemilik masih merangkulnya dengan erat dan dekat. Ia kini bahkan bisa merasakan napas Jhonas dengan aroma wine menguar didekat indera penciumannya.
“Aku akan melunasi hutang-hutang, Ayahku,” katanya tegas.
***
Bersambung ...