Pria itu baik, berpendidikan tinggi dan juga ramah. Untuk pengertian ramah di sini adalah ramah kepaa orang yang dia kenal sama dan beberapa orang tertentu yang dia anggap orang baik. Jenni hanya menganggukan kepala kepala saat Doni berkata jika dia dapat menebak sifat seseorang hanya dengan melihat wajahnya, entahlah mungkin suaminya itu memiliki garis keturunan peramal.
Doni pria pengertian, terbukti saat dirinya tengah mengalami sakit perut akibat datang bulan, Doni dengan sigap memberikannya pijatan lembut dan membuatkan teh untuknya. Mungkin ini terlihat seperti hal sepele bagi orang lain, namun tidak untuknya. “Diam-diam membuat salting.”
“Apa sayang?”
Jenni yang tengah melamun tiba-tiba dikagetkan dengan pertanyaan Doni, mungkinkah suaminya itu mendengar ucapannya? “Eh ngga papa kok Mas,” ucapnya.
“Kamu tadi bilang apa?” cecar Doni.
“Engga, aku ngga bilang apa-apa. Mungkin Mas Doni salah denger aja, udah yuk tidur aja yuk,” bujuk Jenni mengalihkan pembicaraan.
Dia benar-benar lelah harus menata ulang barang hingga akhirnya enak untuk dipandang, menyewa orang untuk membereskan ruangannya namun juga tidak sesuai dengan apa yang dia inginkan. Hanya membuang-buang uang, lumayan jika ditabung untuk membayar uang makannya selama sebulan. “Mas mau aku bikinin kopi atau teh hangat?”
“s**u aja.”
Mendengar dua kata singkat dari Doni membuatnya refleks menyilangkan kedua tangan di depan d**a, menatap pria di depannya dengan pandangan sulit dijelaskan. “Su-su-s**u yang man-mana Mas?” tanyannya dengan terbata-bata.
Posisi Doni yang sedang duduk di sofa sedangkan Jenni berdiri di depannya membuatnya mengangkat kepala, menyatukan alis dengan bingung sembari menatap sang istri. “s**u mas lah, s**u yang mana lagi memangnya?”
“Ah iya aku lupa, maafin aku Mas agak loading lama.”
Jenni ingin bunuh diri rasanya, ah apa yang dia pikirkan hingga terlalu jauh ke arah sana.
Dengan segera Jenni berlalu ke arah dapur, membuatkan s**u sesuai permintaan sang suami. Sepanjang membuat s**u perempuan itu tidak berhenti meruntuki dirinya yang benar-benar bagaikan orang bodoh, arghhh ini memalukan bukan. Seakan-akan dirinya lah yang menawari dan bersikap agresif, padahal tidak.
“Aku tidur duluan ya Mas, selamat malam,” ucap Jenni terburu-buru setelah meletakan segelas s**u hangat di atas meja. Perempuan itu menarik selimut hingga batas dagu, berpura-pura tidur agar segera tidur.
Jenni selalu terlena dengan empuknya kasur yang dia tempati, empuk dan sangat nyaman untuk melepaskan penat. Semenjak tidak diperbolehkan untuk membelakangi sang suami, Jenni berusaha untuk miring ke tengah agar nanti Doni dapat memeluk dirinya. “Selamat tidur suamiku yang kaya,” ucap Jenni sebelum menutup matanya.
***
Semua orang tengah terlelap dalam mimpinya, hanya ada beberapa anak muda yang masih nongkrong di bawah kafe dekat apartemen ini, itupun juga tidak terdengar karena kamarnya berada di lantai enam belas. Bukan karena berisiknya anak muda di bawah sana yang membangunkannya dari alam tidur, melainkan dering nada telepon ponselnya yang sedari tadi tidak mau diam.
“Ya Allah ini siapa malem-malem yang gangguin Putri Solo lagi tidur ih,” gerutu Jenni.
Mata Jenni mengerjap pelan, meraba-raba ponsel miliknya yang berada di atas nakas. Namun setelah tidak lagi mendengar suara dering ponsel, Jenni memilih untuk memeluk suaminya kembali yang terlelap dengan nyaman di tempat favoritnya. “Astagfirullah siapa sih yang nelpon?”
Perempuan itu membenarkan beberapa kancing bajunya yang sudah terlepas dari tempat seharusnya, mengecup kening Doni singkat dan mengangkat telepon dari seseorang itu. “Halo?” suara Jenni menggantung di pertengahan kalimat.
“Maaf nyonya Jenni telah menganggu waktu istirahat anda, saya tidak akan bertele-tele dan langsung kepada poin intinya. Saya sudah tidak punya uang untuk mengurusnya, saya juga sudah berpenyakitan dengan segala diagnosa dokter yang mengatakan bahwa umur saya juga tidak akan lama,” ucap seseorang itu dengan tergesa-gesa.
Jenni yang merasa jika panggilan ini penting memutuskan untuk turun dari ranjang dan berjalan ke arah kaca balkon. “Loh kamu siapa? Mbak sakit apa?” tanya Jenni dengan bingung di tengah nyawanya yang belum terkumpul sepenuhnya. “Mbak ini siapa? Aku kenal sama mbak, atau aku ken-”
Tit tit
Jenni begitu kaget saat ponsel di genggamannya tiba-tiba di rebut oleh sang suami dengan kasar. “Mas apa-apaan sih, kenapa telponnya dimatiin coba?”
“Kamu selingkuh dari Mas?” tuduh Doni dengan mata merah.
“Apaan sih Mas, lagian siapa yang selingkuh? Nggak ada yang selingkuh, sini balikin ponsel aku,” pinta Jenni dengan tergesa-gesa.
“Jujur aja sama Mas, kamu selingkuh sama siapa hah? Siapa laki-laki yang membuatmu seperti ini?” cecar Doni.
Jenni menggelengkan kepala pelan, tidak percaya dengan tuduhan tak masuk akal yang dilontarkan Doni kepadanya. Apa yang sedang dibicarakan pria ini sebenarnya? “Hal apa yang buat Mas yakin kalau aku lagi selingkuh?”
“Ada sesuatu yang aku sembunyiin dari Mas?”
“Ada kegiatan mencurigakan dari aku?”
“Ada suatu kewajiban yang aku tinggalkan hingga Mas berpikir seperti ini?”
Pertanyaan bertubi-tubi mendatangi Doni, terlihat di matanya bahwa sang istri tersulut amarah seperti dirinya.
Jenni menghela napas pelan, mendudukan dirinya dipinggir ranjang mencoba berpikir tenang. Entah hal apa yang mampu menyulut emosinya seperti ini, jika tidak ada yang mengalah antara dirinya dan sang suami maka bisa dipastikan akan semakin panjang permasalahan ini. “Aku nggak selingkuh Mas, itu tadi telepon dari orang yang nggak dikenal, terus kalau aku rasa pembicaraanya berat makanya aku berdiri buat ngimbangin. Nggak ada yang aku sembunyiin dari Mas, apa sih yang Mas pikirin? Masih nggak percaya sama aku sampai detik ini?”
Doni diam, meremas ponsel di dalam genggamannya dengan erat.
“Aku minta ponsel aku Mas, aku mohon balikin yah,” pinta Jenni dengan lembut, dia telah menurunkan nada suaranya untuk menghadapi Doni.
“Kamu nggak bohongin Mas, kan?” Doni masih bertanya dengan penuh curiga namun tak urung memberikan ponsel itu kepada sang pemilik aslinya.
Jenni menerimanya dengan sigap, menelpon nomer tadi dengan cepat. Beberapa panggilan telah dia lakukan, namun sayang jawaban dari sang operator yang dia terima. Siapa perempuan tadi? Kenapa di tengah malam seperti ini membuatnya overthinking?
“Arghh kok nggak bisa sih,” ucap Jenni dengan kesal.
Perempuan itu mengalihkan pandangan, terfokus ke arah sang suami yang hanya diam memandangi langit-langit kamar. “Yaudah Mas ayo tidur lagi, subuhnya masih lama.”
Doni diam.
“Mas?”
Jenni memegang lengan Doni, memeluk suaminya di saat dia tahu bahwa Doni terkena serangan panick attack. “Shutt im sorry.” Jenni hanya diam saat merasakan pelukan erat dari Doni, apa yang sebenarnya Doni pikirkan?