Isi Hati

1124 Kata
Perubahan suasana hati dapat terjadi denga cepat hampir ke semua orang, ada banyak hal yang dipikirkan yang berhubungan dengan kesenangan hati namun juga ada satu hal yang langsung membuat kita kecewa. Ada banyak hal yang bisa membuat seseorang senang, namun ada juga satu hal yang membuat seseorang berpikir keras hingga melupakan kesenangannya yang dulu. Oh ayolah dia masih terlalu muda untuk memikirkan semua ini, memikirkan skripsi saja sudah tidak kuat apalagi ditambah dengan masalah teka-teki seperti ini. Jenni bingung, apakah jika dapat menyelesaikan ini semua maka ia akan mendapat hadiah seperti yang di televisi? Jika tidak dapat maka dia juga tidak mau melakukannya. “Positif thingking Jen, kembalikan kewarasanmu pelan-pelan.” Perempuan muda yang tengah memijit kepalanya secara pelan itu terlihat gelisah, sesekali mengusap wajahnya untuk menghilangkan rasa khawatir dan juga penasaran yang menjalar di d**a. Jenni menatap makanan di depannya tanpa minat, selera makanannya sudah hilang entah kemana. Belum ada makanan yang dia sentuh kecuali es teh yang sudah habis setengah gelas, mau ia kemanakan semua makanan ini? “Mas, Mas bisa minta tolong?” panggil Jenni ke arah pelayan yang kebetulan tengah membersihkan meja di sebelahnya. “Iya mbak?” “Saya ada urusan mendadak yang tidak bisa ditinggal Mas, makanan ini belum ada yang saya sentuh kecuali minumannya. Daripada mubazir lebih baik ini buat Mas aja, udah saya bayar kok,” ucap Jenni dengan mengeluarkan struk dari dalam tasnya. Pelayan tadi terlihat kebingungan, namun tak urung mengangguk dan mengucapkan terimakasih kepada Jenni. Dengan segera Jenni membereskan barang miliknya, memasukannya ke dalam tas dan bergegas pulang ke apartemennya. Tidak lupa Jenni mengirim pesan kepada sang suami bahwa dia pulang lebih cepat dari perjanjian yang telah ditentukan. Mengendari motor sembari mendengarkan musik memang menyenangkan, namun entah kenapa saat ini ia tidak terlalu menikmatinya. Pikirannya berkelana entah kemana, terlalu banyak memikirkan hal-hal baru yang memasuki kehidupannya saat ini, dan lagipula sejak kapan dia memiliki anak? “Keponakan nggak punya, tetangga juga ngga ada anak kecil, nggak pernah ikut bakti sosial, nggak pernah angkat anak dari panti asuhan, nggak pernah hamil juga, eh astagfirullah Jen….” Jenni menepuk mulutnya dengan kesal, apa yang baru saja dia ucapkan tadi sulit untuk di nalar. Bagaimana bisa hamil jika mempratekkanya saja belum pernah. “Ya Allah Jen pikiranmu…. Nggak pernah hamil nggak tuh, kamu aja belum ngasih itu ke Mas Doni, gimana mau hamil coba,” gerutu Jenni di atas motor, beruntung dia menggunakan helm berkaca gelap sehingga meminimalisir jika dilihat orang di sampingnya. Motornya melaju dengan kecepatan standar, Surabaya ini begitu ramai apalagi saat jam kerja. Jenni lebih baik mengalah daripada ada sesuatu hal yang tidak diinginkan menghampiri dirinya. Memarkirkan motor dengan sat set dan segera menuju unit apartemennya. “Assalamualaikum rumah.” Jenni tau jika suaminya itu sudah pulang, terbukti dari suara gemercik air di dalam kamar mandi. “Untung Mas belum berangkat, coba kalau udah berangkat terus sampai di sana aku nggak ada. Emhh pasti udah marah banget tuh, diem seharian penuh nggak mau ngomong sama aku deh pasti,” Jenni mengira-ngira karena dia sudah mulai memahami karakter suaminya. Klek Jenni membalikkan badan mendengar suara pintu di buka, dia menghampiri Doni dan menyalami pria itu. “Bajunya di atas ranjang ya, Mas.” Doni mengangguk singkat, membiarkan Jenni masuk ke dalam kamar mandi. Pria dengan tinggi 180 cm lebih itu mengambil kaos tanpa lengan dan celana pendek yang ada di atas ranjang, memakainya dengan cepat dan duduk di tengah ranjang sembari menunggu sang istri menyelesaikan ritual mandinya. Mata pria itu melirik ponsel sang istri yang berada di nakas, menatap benda itu lama seolah benda mati itu telah melakukan kesalahan fatal. Tatapan Doni tidak bisa berbohong, pria itu benar-benar menatap tajam benda tak bersalah, entah apa yang sedang dia pikirkan. “Mas tadi udah makan?” Pandangan Doni teralihkan dan menatap sosok perempuan cantik yang tengah mengenakan dress tidur di atas paha. “Belum.” Jenni menghentikan langkah kakinya mendengar jawaban yang keluar dari bibir Doni, wah dirinya seperti seorang istri berdosa yang membiarkan suaminya kelaparan. “Aku gorengin ayam sebentar yah Mas, sama buat sambel kemangi. Mas mau apa lagi?” Doni menggelengkan kepala, merebahkan badannya di tengah kasur dan menimang-nimang ponsel istrinya. Entah sejak kapan ponsel mahal itu sudah ada di tangannya. “s**u protein aja.” “Mas diet lagi?” Melihat anggukan kecil yang diberikan Doni membuatnya menghela napas, dirinya ini merasa di saingi suami sendiri karena Doni lebih rutin melakukan diet sehat daripada dirinya sebagai seorang perempuan. “Diet tuh nyiksa tubuh, perut perih sama badan jadi lemes. Mending juga beli makanan berat, udah enak plus bikin kenyang. Ah nggak usah ikut-ikut diet Jen, seblak masih enak,” ucap Jenni menyemangati dirinya agar tidak mengikuti jejak sang suami yang terus-terusan diet. “Aku tambahin roti panggang biar perut Mas nggak kosong banget.” Jenni meletakan segelas s**u beserta roti di atas nakas, gelas yang dia bawa tadi merupakan gelas berukuran besar. Jenni yakin bahwa dia hanya mampu menghabiskan setengah gelas, beda dengan Doni yang langsung menghabiskan s**u itu dengan sekali teguk. Kedua manusia itu sibuk dengan urusannya sendiri, mengakhiri sholat isya dengan sebuah kecupan singkat di pipi mulus sang istri. Doni melepaskan sarung dan juga baju koko dan meletakkannya di tempat yang sudah Jenni sediakan, berbaring di atas tempat tidur dan bersiap menyelam ke alam mimpi. “Sayang tidur.” “Ah engga Mas, ini aku mau beresin buku-buku aku dulu.” Jenni berucap tanpa menatap sang lawan bicara. “Sayang tidur.” “Iya Mas duluan aja,” ucap Jenni dengan nada lembut. “Sayang tidur.” Jenni menghela napas, sepertinya ini sebuah titah bukan sebuah pertanyaan. Ia membalikan badan, dan berucap lebih sopan kepada Doni. “Yaudah sebentar yah ini nanggung Mas.” Doni menunggu, mengikuti setiap langkah Jenni yang hampir menyusuri semua penjuru apartemen. Mengambil ini, meletakkan itu, melipat baju koko miliknya yang dirasa kurang rapi dan sebagainya. Pria itu mendekatkan tubuh saat Jenni telah menaiki ranjang, merengsek masuk ke dalam pelukan sang istri yang begitu menenangkan. “Mau tidur sekarang?” Jenni harus menundukan kepala untuk menatap wajah Doni yang sudah tenggelam di dalam dadanya. Melihat anggukan kecil dari Doni membuat Jenni sedikit bingung. “Baru jam delapan kurang, Mas.” “Mas capek.” Jenni mengulum bibir mendengar jawaban singkat itu, ia memutuskan mengusap lengan polos berotot milik Doni sebagai cara mengungkapkan rasa sayang. Ia akui bahwa dia luluh jika sudah dalam posisi seperti ini, suaminya ini seolah-olah mempercayakan dirinya untuk melindungi dari segala mara bahaya. Merasakan jika Doni masih mengusap perutnya pertanda jika pria ini belum tidur, Jenni membuka obrolan. “Aku boleh tanya nggak Mas?” Doni bergerak sebentar menyamankan posisi dan menjawab Jenni. “Silahkan,” ucap Doni dengan mengangkat kepalanya menatap Jenni. “Nggak ada yang Mas sembunyiin dari aku kan?”
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN