Arsenio melangkah menuruni tangga dan menghampiri Raka yang masih menunggu seraya membaca majalah bisnis. Arsenio menghela napas panjang dan duduk dihadapan Raka. Raka sudah pasti penasaran pada wanita yang hamil itu dan terlebih lagi ada Arsenio yang terlihat melindunginya.
“Lo gak perlu mengatakan apa pun ke gue, gue udah tahu apa maksud dari lo di sini dan menunggu gue,” kata Arsenio.
Raka tertawa dan menganggukkan kepala. “Gue emang lagi butuh penjelasan lo.”
“Tentang wanita itu?”
“Ya tentu saja. Lo udah 18 tahun di Jakarta, dan gue lah teman lo, jadi gue harap, lo gak menyembunyikan apa pun dari gue.”
“Jika seseorang melihat gue bersama wanita itu di rumah ini, gue pasti di anggap jahat dan berselingkuh dari Mufta.”
“Lalu? Apa yang sebenarnya terjadi?” tanya Raka. “Kenapa wanita itu ada di sini, ada di rumah lo, dan kenapa dia hamil? Apakah kalian sudah menikah?”
Arsenio menganggukkan kepala dan berkata, “Ya. Aku sudah menikahinya.”
“Secara?”
“Hukum islam,” jawab Arsenio.
“Lo menjadi mualaf?”
Arsenio menganggukkan kepala.
“Demi dirinya?”
“Bisa dikatakan seperti itu,” jawab Arsenio.
“Wah.” Raka tertawa kecil dan mengelus dagunya, ada sisi baru yang Raka lihat dari Arsenio. Pria yang sudah lama ia kenal itu, adalah pria yang setia, ia akan tetap setia pada Mufta apa pun yang terjadi, melihatnya sekarang bersama wanita lain, tentu saja membuat Raka menggeleng tak percaya.
“Mufta seorang muslim, tapi lo tidak pernah menjadi mualaf ketika menikah dengannya. Lalu sekarang—”
“Dia istri gue dan gue menginginkan dia,” jawab Arsenio.
“Sen, gue tahu lo itu pria yang setia, lalu kenapa sekarang lo menyembunyikan wanita itu di sini? Apa ada hal yang gak gue ketahui? Apa hal itu memberatkan lo?” tanya Raka.
Arsenio menundukkan kepala dengan helaan napas panjang, Arsenio berpikir sesaat, ia tidak ingin menceritakan ini kepada Raka, karena Raka adalah sepupu Mufta, namun jika ia tidak menceritakannya kepada Raka, sudah pasti Raka akan selalu mendesaknya, karena memang benar, teman pertama yang Arsenio kenal adalah Raka, selanjutnya adalah Mufta dan Enggar. Di saat itu lah Arsenio jatuh hati kepada Mufta.
“Sebenarnya ….” Arsenio mendongak dan melihat tatapan Raka yang masih menunggunya. “Mufta berselingkuh dari gue.”
“Apa? Dia berselingkuh?”
Arsenio menganggukkan kepala.
“Dengan siapa?”
“Enggar,” jawab Arsenio.
“APA? ENGGAR?” Wajah Raka menegang, matanya membulat. Sesuatu yang sulit untuk dipercaya.
“Mereka menjalin hubungan selama dua tahun hingga sekarang.”
Raka melemah. Ia tidak bisa berkata apa-apa lagi, selain memikirkan semuanya, apakah yang dikatakan Arsenio itu benar? Mengapa Mufta dan Enggar melakukan itu kepada Arsenio? Namun, semua hal bisa saja berbalik.
“Jadi, maksud lo … lo melakukan ini karena ingin membuat Mufta terluka?”
“Meski gue melakukan ini, Mufta tidak akan pernah terluka. Dia bukan Mufta yang dulu,” kata Arsenio.
Sedangkan sepasang telinga mendengar perbincangan mereka, seseorang itu adalah Berlian, yang baru saja menuruni tangga dan hendak ke dapur. Ia pusing jika harus duduk diam di kamar dan tiduran terus. Namun, ketika ia hendak melangkah, ia mendengar nama Enggar di sebut oleh Arsenio.
Selama ini, Arsenio menyembunyikan kenyataan tentang Enggar, selama ini juga Berlian merasa Enggar lah pria yang baik dan ia lah yang mengkhianati pria itu, tapi siapa sangka, ternyata dugaannya selama ini salah. Berlian memilih berdiri didekat tangga dan enggan melanjutkan langkah kakinya.
“Apa yang terjadi? Lo tahu darimana mereka berselingkuh?” tanya Raka.
“Apa Lo tidak pernah menemui mereka bersama?”
“Ya gue pernah bertemu mereka di hotel Emplyti. Tapi, gue tidak pernah menyangka mereka berselingkuh. Karena mereka mengatakan ada yang harus di urus sesuai perintah lo. Karena lo di Jogja kala itu, jadi gue percaya saja. Karena gue pikir, mereka tidak akan pernah melakukan itu ke lo.”
“Selama ini, gue juga tidak percaya, namun sepertinya gue telah dibodohi. Maaf jika gue mengatakan ini, apalagi mengingat jika Mufta adalah sepupu lo.”
“Lo sudah mencari tahu tentang ini? Dan, kenapa lo gak pernah cerita ke gue?”
“Karena lo sepupunya Mufta,” jawab Arsenio.
“Tapi, meski dia sepupu gue, tapi gue gak akan membenarkan apa perbuatannya,” sambung Raka. “Gue gak nyangka aja mereka melakukan ini ke lo dan sulit bagi gue buat percaya.”
“Awal gue tahu hubungan mereka, gue melihat dengan mata kepala gue sendiri, mereka b******a di ranjang gue dan memadu kasih ketika gue ke London kala itu, dan mereka menikmatinya,” terang Arsenio. “Lalu gue pergi dari rumah itu, dan berpura-pura belum pulang, untuk memberi kejutan kepada Mufta. Namun, siapa sangka hal seperti ini akan terjadi? Gue aja gak pernah bisa percaya dan sulit untuk percaya. Apalagi Enggar adalah teman kita.”
“Ya Tuhan, kenapa mereka melakukan itu?”
“Gue memilih diam dan gak pernah membahas itu pada Mufta, lalu membiarkan Mufta ke jalan yang salah, bukan karena gue gak sayang lagi sama dia, tapi gue inget Alifah, dia butuh ibunya.”
Raka menghela napas halus, ia tidak pernah bisa menyimpulkan apa pun, meski ia tahu bahwa Arsenio tidak akan pernah berbohong tentang ini.
“Dan, wanita yang kini berbaring di atas adalah … kekasih Enggar,” sambung Arsenio.
Mata Raka kembali membulat, seperti melihat sesuatu yang tidak ia inginkan, Raka menggeleng kuat dan kejutan ke dua yang ia dengar tentang masalah pribadi sahabatnya itu.
“Jadi, kenapa lo menikahinya?” tanya Raka.
“Awalnya, gue pengen melihat reaksi Enggar, bagaimana rasanya seseorang yang dia cintai direbut oleh gue, tapi … gue gak pernah melihat dia marah. Dia malah mengatakan bahwa gue memang harus menjaganya dan jangan pernah menyakiti hatinya. Emang gak sesuai ekspetasi gue, gue pikir dia akan marah besar dan akan jujur masalah hubungan gelapnya dengan Mufta, namun dia malah berpikir sebaliknya.”
“Wah. Jadi sejak awal mereka melakukan itu padamu? Mereka memang manusia yang menjijikkan,” geleng Raka. “Apa kamu masih mau mempertahankan pernikahanmu dengan Mufta?”
“Entah lah. Gue pernah memberikannya kesempatan agar berubah, namun sepertinya … Mufta menikmatinya.”
“Lalu tinggalkan wanita itu, jangan pernah melampiaskan kemarahan lo kepadanya,” kata Raka.
“Dia hamil anak gue,” kata Arsenio. “Gue bukan pria yang gak bertanggung jawab seperti itu.”
Raka menghela napas panjang dan menganggukkan kepala. “Gue tahu. Ya sudah. Lo bisa memikirkan semua ini sendirian, apa pun yang terbaik untuk lo, gue akan ngedukung. Lo udah gue anggap seperti saudara sendiri.”
Arsenio menganggukkan kepala.
“Biarkan gue bertanya lagi,” kata Raka.
Arsenio mengangguk.
“Sampai kapan lo akan mempertahankan Mufta?”
“Sampai Alifah mau memahaminya,” jawab Arsenio.
Raka menghela napas halus dan menganggukkan kepala, ia mencoba memahami keputusan Arsenio, karena semua hal yang berkaitan tentang sahabatnya itu, semuanya adalah yang terbaik untuknya.
“Jadi … Enggar mengkhianatimu? Dan, berselingkuh dengan istrimu?” tanya Berlian menghampiri dua pria yang kini sedang mengobrol.
Arsenio dan Raka menoleh membulatkan matanya penuh ketika melihat Berlian menghampiri mereka.
“Kenapa kamu gak pernah cerita sama aku? Kenapa kamu membuatku berharap bahwa Enggar adalah pria yang baik? Kenapa kamu membuatku berpikir kamu adalah pria yang jahat?” tanya Berlian memukul dadanya kuat, membuat Arsenio panik dan bangkit dari duduknya, ia menghela napas kasar dan memeluk istrinya erat, membuat Raka mendongak dan menganga tak percaya.
Arsenio terlihat khawatir dan menggendong istrinya ala bridal style, sedangkan Berlian mengamuk di gendongannya. Arsenio menoleh dan menatap Raka, lalu berkata, “Gue akan menghubungi lo. Biarkan gue tenangin dia dulu,” kata Arsenio lalu melangkah dan menaiki tangga, masih menggendong istrinya, sedangkan Eci melihat hal itu dan merasa kasihan kepada Berlian dan tuannya.
“Turunkan aku,” kata Berlian mengamuk.
“Aku tidak akan pernah menurunkanmu,” kata Arsenio, mengeratkan gendongannya dan membawa istrinya masuk ke kamar. Lalu, sampainya di sana, ia menurunkan Berlian di atas ranjang dan menarik selimut untuk menutupi sebagian tubuh istrinya.
Arsenio lalu duduk ditepian ranjang, berdekatan dengan istrinya. Arsenio pun merasa kasihan kepada Berlian, karena selama ini ia telah memberi harapan kepada Berlian, bahwa Enggar adalah pria yang baik.
“Aku minta maaf,” ucap Arsenio menggenggam kedua tangan istrinya. “Aku salah.”
“Kamu gak pernah memberiku kesempatan untuk ngomong, kamu selalu mengatakan gak ada yang terjadi pada Enggar, namun sekarang, aku malah merasa bodoh telah percaya kepadamu. Andai saja kamu mengatakan itu sejak awal, aku pasti akan menghentikan harapan kosongku ini, aku gak pernah berharap lebih lagi padanya,” lirih Berlian menitikkan airmata.
Arsenio mengeratkan genggaman tangannya pada dua telapak tangan istrinya. “Kamu sedang hamil dan kata dokter kandunganmu lemah, jangan banyak berpikir. Aku berharap kamu mau menjaga kehamilanmu.”
“Ya aku tahu aku hamil, aku juga sudah mengeceknya beberapa kali, namun aku memilih gak memberitahumu.”
“Tapi kenapa?”
“Aku gak mau mempertahankan anak ini,” kata Berlian.
“Berlian, jangan berpikir kamu bisa melakukan semua hal sesuai keinginanmu, ada nyawa diperutmu dan kamu gak boleh berkata seperti itu, jika kamu gak mau mempertahankan anak kita, kamu hanya akan membuat dosa besar,” sambung Arsenio.
“Tapi—”
“Aku akan bertanggung jawab. Aku suamimu, meski kita hanya menikah sirih, namun aku janji akan melindungimu.”
Berlian menitikkan airmata.
“Aku minta maaf karena telah menyiksamu selama ini, aku telah banyak menyakitimu dan memberimu luka yang besar, namun sekarang aku akan mencoba berubah, aku akan menyayangimu, aku akan memberikan seluruh perhatianku kepadamu. Aku gak pernah menganggap anak ini sebagai musibah, aku mensyukurinya dan kita harus merayakannya.”
“Tapi—”
“Percaya kepadaku,” kata Arsenio lalu memeluk istrinya dan menghela napas halus.