Sebiru Langit

2448 Kata
Halaman rumah simbah yang penuh daun-daun kering terlihat suram dari balik kaca jendela kamarku. Kamar yang biasa aku tempati ketika berkunjung ke kota kecil ini, kamar yang selama tiga tahun menjadi kamarku sewaktu aku remaja, menghabiskan hari-hari penuh keceriaan semasa SMA. "Kamu jadi pulang besok tho, Le?" suara simbah membuyarkan lamunanku. Aku berbalik, tersenyum pada simbah yang sudah duduk di samping ranjang, menatap wajah keriputnya dengan sayang. "Iya, Mbah. Bunda ingin aku ke Jakarta dulu sebelum ke Tapanuli." “Kamu jadi ke Tapanuli?” kekhawatiran terselip pada suaranya. Aku tertawa pelan, menyandarkan punggungku pada jendela dan menyilangkan tangan di depan d**a. “Ya iyalah, Mbah. Kan udah janjian sama temen-temen.” Aku mengerti apa yang dikhawatirkan simbah, ini menyangkut hobiku. “Mbok yao ... kamu berhenti mencoba jadi burung ...” gumam simbah, matanya terlihat sendu. “Menjadi burung gimana maksud Mbah?” “Lha wong terbang pake gantulan gitu yo namanya mencoba jadi burung tho?” “Gantole, Mbah.” Ralatku dengan senyum pada ujung bibirku. “Podo wae. Sama saja. Intinya hobimu itu berbahaya, Le.” “Tidak berbahaya kalau dilakukan secara profesional, Mbah.” Aku mencoba menenangkan simbah. “Alah ... susah ngomong sama kamu itu.” Simbah bangkit dari duduknya, “Yo wis, simbah tak keluar dulu. Jangan lupa makan, kamu belum makan dari siang tadi.” “Nggih mbah ...” Simbah keluar dari kamar dengan langkahnya yang masih sigap. Usianya yang menjelang 70 tahun sama sekali tidak mempengaruhi kesehatannya. Aku kembali berbalik memandang keluar jendela, beberapa dedaunan kering berterbangan tertiup angin sore yang cukup kencang. Mengingatkanku pada kejadian 10 tahun silam. “Kau memainkan ding dongku.” Aku menoleh pada suara di sampingku. Tertegun melihat seorang gadis yang berkacak pinggang dengan muka kesal. Rok abu-abunya berakhir lima cm di atas lututnya, memperlihatkan plester luka yang menarik perhatianku. Rambut sebahunya terkumpul jadi satu dan diselipkan di belakang topi yang dikenakannya. “Aku bicara padamu.” Teriaknya mencoba mengalahkan suara keras mesin ding dong. Aku mengangkat sebelah alisku acuh, “Aku tahu.” Gumamku, lalu kembali asik memainkan game yang tadi terhenti. Merasa tidak diperhatikan, gadis itu menghentakkan sebelah kakinya kesal, lalu memutari bangku yang kududuki untuk ikut duduk di sampingku. Menyilangkan tangannya di depan d**a dan memperhatikan permainanku. Sungguh kehadirannya mengacaukan konsentrasi, aku mati dalam satu babak. Tawa ringannya mau tak mau membuatku ingin tersenyum. “Permainanmu buruk sekali.” Ujarnya dengan nada mengejek. “O, ya?” gumamku, lalu mengetikkan tiga angka yang selalu kupakai disetiap akhir permainan. “007?” teriak gadis itu tak percaya. Aku merengut melihat namaku kini berada di urutan terbawah. “Aku tidak percaya kau 007.” Merogoh saku celana, aku mengeluarkan koin yang tersisa. Gadis itu mencekal lenganku ketika aku siap memasukkan koin itu pada mesin ding dong. Aku menoleh padanya. “Kau benar-benar 007?” Aku memutar bola mata, memasukkan koin tersebut. Lalu mulai berkonsentrasi dengan permainanku. Kali ini gadis itu memperhatikan permainanku dengan serius. Dan dia berteriak tidak percaya ketika aku akhirnya melewati level 12. Aku menyeringai senang ketika melihat namaku berada di urutan teratas, menggantikan nama Lindy yang sebelumnya berada di urutan pertama. “Kau mengalahkanku.” Gumam gadis itu kesal. Hmm ...  jadi dia si  Lindy itu?  Orang yang selama ini selalu bersaing menduduki tingkat pertama pada permainan Mission SS ini denganku? “Kamu Lindy?” tanyaku pelan. “Aku Lindy. Kamu?” dia mengulurkan tangan dan tersenyum hangat. Aku membalas uluran tangannya canggung,  “Aku ... Budi.” “Budi?” dia mengangkat sebelah alisnya. Aku mengerti apa yang ada dalam pikirannya, serentak kami menyanyikan sebaris lagu Iwan Fals. “Si Budi kecil kuyup menggigil ...” Membuat aku dan Lindy tertawa bersama. “Jangan mengejekku.” Gumamku. Lindy menggeleng dan tersenyum. “Ayo main lagi. Aku suka melihatmu bermain.” “Kenapa kita tidak main bersama. Kau bisa jadi partnerku.” Kembali Lindy tersenyum, “Oke. Tapi jangan salahkan aku kalau aku bukan partner yang baik. Aku terkekeh, “Tidak masalah.” Gumamku dan mulai memasukkan semua koin yang tersisa. Memainkan game ini bersama Lindy terasa berbeda. Mendengar teriakannya ketika pesawatnya tertembak, melihat gerakan tangannya yang lincah dan sesekali kakinya yang menghentak lantai karena kesal. “Kurasa cukup untuk hari ini.” Aku suka bermain ding dong dengan Lindy, tapi aku ingin mengenalnya lebih jauh. “Tidak. Ini belum sore.” Protes Lindy. Aku berdiri dan meraih tasku, “kita jalan-jalan aja yuk.” Ajakku. Lindy ikut berdiri dan mengikutiku. “Kemana?” tanyanya ingin tahu. “Kemana aja.” Aku meraih tangan lindy dan setengah menariknya menuruni eskalator. Menyusuri jalan kecil yang penuh pohon-pohon besar, aku menanyakan banyak pertanyaan pada Lindy. “Kamu tinggal dimana?” tanyaku memulai. “Rumahku, apa kos-kosanku?” dia balik bertanya. “Kamu ngekos?” “He eh,” Lindy menganggukkan kepalanya. “Rumahmu dimana?” “Teluk Ratu.” Dia menyebut sebuah kota yang jaraknya sekitar satu jam dari kota ini. “Kos-kosanmu?” “Bukitraya.” Aku mengerutkan hidung. “Sekolahmu dimana?” kalau tebakanku benar, dia bersekolah di sekolah khusus perempuan. “Kamu bisa baca di sini kan.” Lindy menyodorkan bahu, menunjukkan emblem yang menempel pada lengan kanannya. Aku nyengir, tebakanku benar. “Kenapa kakimu terluka?” tanyaku untuk kesekian kalinya. “Jatuh.” Seperti sebelumnya, dia selalu menjawab dengan jawaban pendek. “Kenapa jatuh?” “Karena aku di jegal lawanku saat bermain basket.” Lindy menghembuskan napas kesal, mulai bosan menjawab pertanyaanku. “Apa yang kau sukai?” tanyaku lagi. “Berhenti menanyaiku hal-hal yang tidak penting, kau bukan wartawan gosip kan?” Aku tersenyum. Aku tidak tahu kenapa aku menanyakan pertanyaan-pertanyaan itu, aku hanya ingin mengulur waktu bersamanya. Dia hangat, ceria meski terkesan tomboy dan ceroboh. Aku berhenti bertanya, Lindy juga terdiam. Kami hanya melangkah menyusuri jalan yang dipenuhi dengan daun-daun kering. Sesekali angin menerbangkan beberapa daun kering itu, membuatnya melayang-layang beberapa saat untuk kemudian terhempas lagi. “Aku ingin terbang dengan gantole.” Gumam Lindy mengejutkanku. Aku pernah mendengar gantole sebelumnya, itu olahraga yang kurang populer saat ini, apalagi di kota sekecil ini. “Kenapa?” tanyaku ingin tahu. “Asik aja kali ya.” Lindy mendongak, aku melihat sinar matahari sore menyorot wajahnya, membuatnya terlihat bagai siluet emas. “Aku suka langit, aku suka awan. Aku suka benda-benda yang bisa mendekatkanku pada mereka.” Jadi itu alasannya dia suka memainkan game mission ss, karena dia suka pesawat juga. “Suatu saat aku akan melakukannya.” “Apa?” tanyaku. Lindy menoleh ke arahku, lalu tersenyum hangat. “Terbang dengan gantole.” Katanya yakin. Saat itu aku hanya tersenyum, menyukai idenya meski agak terlalu aneh buatku. “Le...” panggilan simbah menarikku dari lamunan masa lalu. “Iya mbah...” jawabku. “Makan tho.” “Nggih mbah.” Aku menatap halaman rumah simbah sekali lagi, menyaksikan daun-daun kering yang melayang-layang diterbangkan angin. Lalu beranjak keluar dari kamarku. Ruang makan simbah sangat luas, terlalu luas untuk ukuran rumah yang di tempati dua orang, simbah dan Murni, seorang gadis remaja yang mengurus keperluannya. Aku menghampiri meja bulat model kuno yang berada di tengah ruangan dan menarik kursinya untuk kemudian duduk di atasnya. Simbah menghampiriku, meletakkan segelas teh hangat di samping piring, kemudian duduk di sebelahku. “Mbokyao rambutmu itu dipotong tho, Le. Masa laki-laki rambutnya sepinggang gitu, kaya perempuan aja.” “Biarin tho mbah, keren.” Celetuk Murni yang berada tidak jauh dari kami. “Rambutnya mas Budi meskipun panjang kan ndak berantakan kaya preman, tapi terawat. Item, tebel, rapi lagi. Bisa lurus gitu, emang direbonding ya, mas?” “Huss. Kamu itu.” gumam simbah. Aku hanya tersenyum, “Ya ndak tho Mur, ini emang asli dari sananya ko.” “Ooo...” Murni manggut-manggut. Aku menyelesaikan makanku cepat-cepat, ingin segera kembali ke kamar. “Kamu itu, kalo main ke sini, pasti selalu mengurung diri di kamar. Ngalamun aja, sebenere apa yang dilamunin tho, Le.” “Ndak ngalamun ko, mbah.” Simbah mencibir tak percaya. “Kamu ndak bisa mbohongin simbah, simbah itu udah paham, dari delapan tahun yang lalu, kamu kalo ke sini ya cuman berdiri di depan jendela mandangin halaman rumah simbah.” Aku tersenyum miris, tidak menyadari simbah memperhatikan kebiasaanku. “Ya sudah mbah, aku ke kamar dulu.” Bergegas aku ke kamar, menghindari pertanyaan selanjutnya, yang aku yakin akan terus ditanyakan simbah jika aku tidak segera pergi. Dikamar, seperti yang dikatakan simbah, aku kembali berdiri di depan jendela kamar. Kembali mengingat seraut wajah hangat yang selalu berada dalam pikiranku. “Sebenarnya, apa sih yang kamu sukai dari komik itu?” tanyaku suatu waktu ketika Lindy asik membaca komik Samurai X. Aku duduk disampingnya, di bawah salah satu pohon besar yang ada di alun-alun, di atas hamparan rumput hijau. “Aku suka Kenshin.” Jawabnya. “Siapa Kenshin?” Lindy menyodorkan komiknya padaku, “Si Samurai X. Lihat, keren kan. Aku paling suka rambutnya Kenshin. Meski panjang, sama sekali tidak memberikan kesan feminin pada Kenshin, justru sebaliknya, dia terlihat sangat maskulin.” “Apanya yang keren, itu cuma tokoh komik.” Gumamku kesal, merasa cemburu pada Kenshin. Lindy memukulkan komiknya ke atas kepalaku pelan, “Dasar cowok.” Lalu dia merebahkan tubuhnya di atas rumput, aku mengikuti jejaknya. Menatap langit yang terlihat cerah sore ini. Kami terdiam, menikmati birunya langit dengan beberapa awan yang menghiasi. “Kenapa kau suka langit?” tanyaku memecah keheningan.   “Suka aja. Langit itu luas, aku suka bertanya-tanya, adakah kehidupan di atasnya? Kalau ada, aku akan melakukan apapun untuk menjadi penduduknya.” “Termasuk terbang dengan gantole?” gumamku. Lindy terkekeh, “Mungkin.” Tiba-tiba Lindy beranjak bangun, “Oya, aku punya sesuatu buatmu.” Dia meraih tasnya dan merogoh kedalamnya. Merasa tertarik aku ikut bangun. Lindy menyerahkan sesuatu padaku, aku menerimanya. Sebuah miniatur gantole berada di telapak tanganku. “Ini buat aku?” tanyaku tak bisa menghapus senyum konyol dari wajahku. “Iya, aku melihatnya kemarin waktu jaga stand di Expo. Tiba-tiba inget kamu, jadi aku beli.” “Kamu inget aku?” hatiku terasa membuncah karena bahagia. Lindy tersenyum, “Itu rakitan, lho. Aku merakitnya sendiri, biar kamu gak lupain aku.” Aku enggak akan bisa melupakan kamu, Lindy. Aku tidak bisa menahan diri, aku menghampirinya dan mencium pipinya, membuat wajah Lindy merona. “Makasih ya,” gumamku. Lindy berdehem, “Oke.” Gumamnya mengangkat bahu. “Sebenarnya, aku juga punya sesuatu untukmu” gumamku mengingat kalung dengan liontin sepasang pesawat yang mirip dengan pesawat tempur pada game mission ss yang biasa kami mainkan. “Oya?” “Ya, tapi aku tidak membawanya sekarang. Besok kubawa.” “Kau tidak berbohong karena merasa tidak enak padaku kan?” tanyanya curiga, matanya menatapku menyelidik. “Tentu saja tidak. Aku membelinya beberapa hari yang lalu.” “Lalu, kenapa tidak kau berikan padaku?” “Itu, eh ...” aku bingung mau menjawab apa. Aku memang membeli kalung itu beberapa hari yang lalu, berniat memberikan pada Lindy dan menyatakan cinta padanya. Wajahku memanas mengingat rancana itu. Cinta. Aku jatuh cinta pada Lindy. “Kau kenapa?” tanya Lindy menyadari perubahan wajahku. Aku menggeleng gugup. “Mukamu merah, kau menyembunyikan sesuatu padaku ya?” tanyanya curiga. “Tidak. Iya, maksudku ... aku akan mengatakannya besok.” Gumamku, keringat dingin mulai membasahi leherku, “Aku juga akan membawa kalung itu besok.” “Kalung? Kau membelikan aku kalung?” Lindy terlihat bersemangat. “Eh, hanya kalung perak. Ada liontin sepasang pesawat yang mirip dengan pesawat kita pada kalungnya.” Aku berkata pelan. “Pasti bagus sekali.” Gumamnya menerawang, “Terimakasih ya.” Lindy menatapku dan tersenyum hangat. Aku membalas senyumnya. Pohon bunga mawar yang ada di samping kamarku bergoyang tertiup angin, rantingnya mengenai kaca jendela kamar, menimbulkan bunyi ketukan yang berirama. Aku menyentuh kalung yang kupakai, agak kekecilan buatku. Meraba liontin sepasang pesawat yang masih tergantung disana. Aku tidak pernah mempunyai kesempatan memberikan kalung itu pada Lindy, juga mengungkapkan perasaanku. Aku berjalan terburu-buru menuju tempat biasa aku bertemu Lindy. Ada les dadakan di sekolah, membuat aku terlambat tiga jam dari janjiku pada Lindy, kuharap Lindy masih menunggu di sana. Melewati sebuah kerumunan di jalan raya, samar-samar aku mendengar orang-orang yang membicarakan kecelakaan yang baru saja terjadi. Korbannya meninggal seketika, aku masih melihat genangan darah segar di tengah jalan raya, agak bergidik membayangkan jika aku mengenal korban itu. Aku tidak ingin mengetahui terlalu jauh, Lindy sudah terlalu lama menunggu. Berlari, aku menaiki tangga menuju lantai paling atas plaza tempat biasa aku bertemu Lindy. Sampai disana aku tidak menemukan Lindy, dia sudah pergi. Wajar saja, dia menunggu terlalu lama. Mungkin aku bisa memberikan kalung ini besok. Tapi esoknya, aku juga tidak melihat Lindy. Begitu juga dengan hari-hari berikutnya. Sampai dua minggu kemudian seorang gadis yang mengenakan seragam yang sama dengan Lindy menghampiriku. “Budi ya?” tanyanya padaku. Aku mengangguk. “Bisa kita bicara? Ini tentang Lindy.” Lindy? Aku kembali mengangguk. Gadis itu duduk di hadapanku. “Aku Tia, teman sekelas Lindy, dia banyak menceritakan tentang kamu padaku.” Aku tersenyum mendengar itu. “Sudah satu minggu ini aku disini, berusaha menemukanmu. Dan aku baru bisa yakin kau yang kumaksud ketika sudah melihatmu beberapa kali.” “Dimana Lindy?” tanyaku tidak sabar. Tia menghela nafas panjang. “Maaf, aku mencarimu karena ada yang mau kukatakan tentang Lindy.” “Lindy kenapa?” tanyaku mulai cemas. Apa dia sakit? “Lindy kecelakaan, dua minggu yang lalu. Tidak jauh dari sini.” Aku memucat, bayangan genangan darah yang kulihat menghantuiku. Bisik-bisik kerumunan orang yang mengatakan korban kecelakaan itu meninggal seketika memenuhi telingaku. Aku menggelengkan kepala, menepis pikiran itu. “Apa dia baik-baik saja?” tanyaku lemah, takut dengan jawabannya. “Lindy meninggal, Budi.” Kepalaku mendadak berdenging. Bayangan wajah Lindy dengan berbagai ekspresi melintas cepat dalam pikiranku. “Tapi sebelumnya, dia mengatakan padaku satu rahasia, Lindy jatuh cinta padamu Budi ....” *** Aku berdiri di salah satu bukit di desa Huta Ginjang, Tapanuli Utara. Bersiap melakukan penerbanganku yang kesekian kali. Aku memakai kacamata terbang, lalu mengikat rambut jadi satu, membiarkan angin menerbangkan ujung-ujungnya. Menatap langit biru dengan beberapa gumpalan awan yang menghiasinya, persis seperti langit yang kunikmati bersama Lindy. Aku menurunkan ranselku, miniatur gantole pemberian Lindy menggantung dengan setia di tas ranselku. Meraba liontin yang kukenakan, aku kembali menatap langit. Untungnya aku tidak melihat pemakaman Lindy, itu meyakinkanku bahwa Lindy masih selalu ada, di sana, di atas langit biru, seperti apa yang diinginkannya. Menjadi penduduk langit. Aku mempersiapkan gantole, arahan dari rekanku tentang arah mata angin hanya terdengar samar di telingaku. Sudah waktunya aku kembali, menepati janji untuk menemui Lindy. Dia sudah terlalu lama menunggu. Sebiru langit Yang selalu kuyakini tentang hariku Ketika aku melewatinya bersamamu Sebiru langit Yang kuyakini tentang waktuku Ketika aku melewatinya bersama kenanganmu Sebiru langit Yang kuyakini tentangmu Ketika aku kembali padamu ....       END
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN