Namaku Andara Larasati, orang biasa memanggilku Dara. Kata orang, cinta akan menemukan jalan pulang. Tapi, apa kabar dengan cintaku? Aku bahkan tidak terlalu yakin cinta itu akan kembali karena aku sadar orang yang pernah aku cinta sudah bahagia dengan wanita pilihannya. Ya, merekalah dalang dari segala kesedihanku.
Risty atau siapa pun namanya aku tak peduli, ia telah mengambil Rian dariku, betapa bodohnya Rian yang lebih memilih penggoda itu sampai menyia-nyiakan aku. Aku bahkan tak tahu apakah cintaku sudah berubah menjadi benci atau dendam sepenuhnya. Aku tidak yakin.
Saat ini, aku menatap fotoku bersama Rian. Foto yang diambil tujuh tahun silam saat aku masih bersamanya. Sebelum hadirnya orang ketiga itu. Orang ketiga yang betapa menyakitkan hatiku. Aku masih ingat, mungkin akan selalu ingat saat terakhir aku bertemu Rian enam tahun yang lalu, di suatu taman.
Seperti film yang diputar, kejadian itu seakan menyeruak dalam ingatan memaksaku menggali kenangan. Hampir enam tahun lalu.
"Aku kangen banget sama kamu, Rian." Aku bergelendot manja, sungguh saat itu aku sangat merindukan Rian. Pria itu baru saja pulang dari tugasnya di luar kota. Kami bekerja satu kantor, hanya saja ia baru pulang setelah menyelesaikan pekerjaannya di luar kota.
"Aku juga kangen kamu, Ris," balas Rian, tapi tatapannya tertuju entah ke mana. Seperti sengaja menghindariku.
Tapi tunggu … Ris? Namaku Dara!
Tentu saja aku jadi terkejut setengah mati. Apa-apaan ini? Seketika Rian jadi terdiam, mungkin karena menyadari kesalahannya dalam menyebutkan nama. Aku juga secara spontan langsung melepaskannya.
Seketika kehangatan karena rindu menjadi buyar dan mendadak hening berubah menjadi rasa sakit seperti ditusuk-tusuk duri.
"Ris?" tanyaku, bahkan mata ini mulai memanas menahan tangis. Aku tak pernah sedikit pun curiga pada Rian, tapi kenyataan ini membuat dadaku sesak.
"Maaf, Dara."
"Namaku nggak sedikit pun ada embel-embel Ris. Kenapa kamu bisa salah menyebut?"
Rian hanya diam.
"Tunggu, nggak perlu dijawab, ini semua sudah cukup. Jelas kamu salah sebut,” ucapku. “Aku kecewa banget, sulit dipercaya kalau kamu sebenarnya...." Aku tidak bisa melanjutkan ucapanku karena bersamaan dengan itu tangisku mulai pecah.
Rian berusaha merangkulku, menarikku ke dalam pelukannya. Namun, dengan cepat aku menghindar.
"Dara," ucap Rian dengan wajah yang dipenuhi rasa bersalah, entah aku tak tahu apakah itu hanya trik karena bisa saja ia berpura-pura.
"Rian, aku tahu aku nggak sempurna dan banyak kekurangan, kamu bahkan yang selalu bilang akan menerima kekurangan ini. Aku bahkan nggak tahu selama hampir dua puluh empat bulan bersamaku, apa yang kamu rasa? Jadi selama ini hanya sandiwara? Apa kamu nggak pernah mencintaiku sehingga mengkhianatiku dengan perempuan bernama Ris itu?" Aku mengatakannya sambil menangis, aku tak bisa untuk tidak cengeng sekarang. Hatiku bahkan sangat hancur. Terlebih Rian yang hanya memilih diam.
"Mencintai seorang pengkhianat adalah hal yang paling mengerikan. Aku nggak nyangka, sampai detik ini pun hampir nggak percaya bahwa lelaki yang aku pikir sempurna … nggak lebih dari pecundang. Kamu pengkhianat, Rian!"
"Dara," Rian berusaha memelukku, tapi dengan cepat aku menepis tangannya.
"Jangan sentuh aku, sama sekali aku nggak sudi sebelum kamu mengatakan yang sebenarnya. Meski semua udah jelas, tapi aku ingin memastikan. Apa kamu mencintai Ris itu? Atau bahkan kalian sudah terikat hubungan?"
Rian terdiam sejenak, mungkin sedang mencari kalimat yang tepat agar tak terlalu menusuk hatiku. Padahal kenyataannya hatiku sudah seperti tercabik-cabik.
Tak beberapa lama, Rian kemudian mengangguk. "Aku ingin sekali mengatakannya, tapi aku belum mampu. Aku takut menyakitimu."
Sungguh, ucapan Rian membuat seluruh harapanku musnah secara perlahan.
"Memendam semuanya nggak akan membuat semua menjadi lebih baik, Rian. Ini bahkan lebih dari menyakitiku."
"Dara, aku ... aku, aku nggak bermaksud mengkhianatimu."
"Tapi bermaksud menghancurkan perasaanku, kan? Sudah, cukup, ini sulit diterima. Aku sangat mencintaimu, kenapa kamu harus … ya Tuhan, apa aku terlalu berharap kamu memilihku? Aku bahkan membenci diriku sendiri, aku begitu mencintaimu sampai pengkhianatan yang kamu lakukan nggak membuatku ingin pergi."
Tangisku semakin menjadi, akhirnya aku tak bisa menolak lagi saat Rian memelukku.
"Kamu jahat, Rian. Jahat!" Aku memukul-mukul tubuhnya.
Aku kemudian melepaskan pelukannya, dan kami masih berhadapan dengan saling menatap.
Berharap itu sebenarnya tak salah, tapi kesalahan terbesarku adalah terlalu menggantungkan harapan pada Rian sehingga saat terjadi hal menyakitkan seperti ini aku menjadi sangat hancur, bahkan lebih dari hancur.
"Maaf aku mencintai Risty. Dan aku juga mencintaimu, Dara."
Ucapan Rian benar-benar membuatku ingin merobek mulutnya. Ya Tuhan, seperti inikah lelaki yang dua tahun ini kucinta? Bahkan, aku telah merelakan segalanya untuk Rian. Ya, segalanya, tanpa pengecualian.
"Mungkin ini pertanyaan konyol, hanya saja aku ingin menegaskan padamu siapa yang kamu inginkan untuk berdiri di sampingmu, Rian?"
"Kalian," jawab Rian.
"Kamu gila! Mana ada wanita yang mau pada posisi nomor dua?"
"Dara...." Rian mulai meraih tanganku, menggenggamnya erat tapi tidak menyakitkan.
"Maaf, wajar jika setelah ini kamu membenciku." Ucapan Rian membuatku berpikiran negatif.
Tanpa harus ia katakan, sepertinya aku sudah tahu jawabannya. Aku sudah tahu apa yang harus aku lakukan. Aku harus pergi. Rian pasti memilih wanita sialan itu!
"Kami akan menikah," ucap Rian lirih.
Ya Tuhan, aku terlalu berharap Rian mengatakan 'kita menikah' tapi faktanya ia mengatakan 'kami' sudah jelas ia memilih Risty. Aku akan menjadi wanita terbodoh jika masih mengharapkannya.
Setelah selama dua tahun aku dan Rian menjalin hubungan, haruskah se-mendadak ini? Seperti tamparan keras, hatiku seperti dicambuk. Ya Tuhan, aku ingin berhenti menangis tapi aku tak bisa menghentikan derasnya air mataku.
Akhirnya tanpa menjawab, tanganku yang mengepal langsung meninju wajahnya, aku mendengar ia memekik kesakitan tapi aku tak peduli. Aku rasa ini pantas untuknya. Pukulan ini tak sebanding dengan luka pengkhianatan yang ia ciptakan.
Tanpa mempedulikan Rian lagi, aku lalu pergi dari tempat itu. Dengan setengah berlari aku meninggalkan Rian. Telingaku sudah tertutup sehingga saat Rian berteriak memanggilku, aku tak sedikit pun iba untuk kembali menghampirinya. Aku rasa semua sudah berakhir dan tak akan pernah kembali.
Seiring langkahku meninggalkannya, bersamaan dengan itu perasaanku yang teramat dalam padanya otomatis lenyap.
"Bundaaa!" Suara khas anak kecil yang sangat lucu dan menggemaskan membuyarkan segala lamunanku. Aku langsung menyimpan foto yang sedari tadi aku tatap.
Melamunkan masa lalu membuat air mataku menetes tanpa kusadari. Ya Tuhan, aku langsung menghapusnya. Jangan sampai putri kecilku curiga. Aku terus menghapus sisa air mata ini secepatnya.
"Bunda, dipanggil kok diem aja?" tanya putri kecilku lagi.
Dia adalah Elsa. Usianya lima tahun, dia yang paling berhasil mengalihkan hatiku untuk berhenti memikirkan Rian. Aku membesarkannya dengan penuh cinta kasih meskipun harus menjadi orangtua tunggal yang mengharuskanku menjadi ibu sekaligus ayah untuknya.
Aku sangat mencintai putriku ini, lebih dari apa pun. Meskipun aku tak pernah menikah, tapi aku tidak malu memilikinya. Aku malah bangga karena Elsa tumbuh menjadi gadis kecil yang lucu dan cerdas.
"Bunda pulang jam berapa?" tanya Elsa lagi.
"Nanti bunda jemput kamu, Sayang. Bunda usahakan siap di depan gerbang sekolah sebelum Elsa bubar. Hm, udah siap ke sekolahnya?"
"Siap sih, tapi Elsa nggak punya teman. Bun … kenapa kita harus pindah ke sini, sih?"
Untuk ukuran anak lima tahun, Elsa memang sudah sangat pintar dalam berkomunikasi.
Aku berlutut untuk mensejajarkan tubuhku dengan Elsa. "Sayang, bunda itu, kan, karyawan. Karyawan harus patuh sama bosnya. Dan bunda dipindahtugaskan ke sini. Masa bunda ngelawan?"
Awalnya aku juga sebenarnya ragu memutuskan setuju dimutasi ke Jakarta lagi, tapi mau bagaimana? Kejadian itu sudah terlalu lama. Enam tahun aku rasa cukup untuk melupakan meski kenyataannya aku belum seratus persen lupa.
"Hm, kenapa Bunda harus kerja terus, sih?"
Ada sedih yang tak bisa kujelaskan saat mendengar pertanyaan putriku barusan. Aku menarik napas sejenak, lalu mengelus rambutnya penuh kasih sayang.
"Bunda kerja buat kamu, Sayang. Segala yang bunda lakukan, cuma buat Elsa."
"Apa karena Elsa nggak punya ayah, ya? Kalau punya ayah, pasti bunda nggak usah kerja. Tapi, ayah Elsa udah nggak ada, kan?" ucap Elsa.
Sungguh hatiku semakin teriris mendengarnya. Aku langsung meraihnya ke dalam pelukan. Memeluknya erat, tanpa sadar air mataku menetes lagi. Aku harus segera menghapusnya, jangan sampai Elsa melihat air mata ini. Setelah beberapa saat kami saling melepaskan pelukan.
"Ya udah, bunda antar Elsa ke sekolah baru, ya."
Elsa mengangguk. Ia sangat cantik dan harus selalu tersenyum. Aku akan mengajarkan tentang ketegaran. Dia harus kuat sepertiku.