Bab 3 - Dunia yang Sempit

1874 Kata
Sebenarnya aku ingin Rian pergi tanpa harus aku keluar menemuinya bahkan berbicara dengannya. Aku takut rasa tegarku runtuh dengan mengeluarkan air mata di hadapannya. Aku melirik jam tangan yang jarum panjangnya sudah lurus ke angka dua belas. Itu artinya aku akan terlambat lebih lama lagi dan Elsa pasti menungguku. Tak peduli kalau tindakanku akan mengundang perhatian banyak orang, aku langsung membunyikan klakson secara berlebihan agar pria itu minggir, sialnya tak berhasil. Wajahnya bahkan mengisyaratkan agar aku mau berbicara dengannya. Memangnya untuk apa dia ingin berbicara denganku? Bukankah semua sudah berakhir? Aku benar-benar tak habis pikir tentang apa yang Rian inginkan. Sialnya, seolah tak ada pilihan selain menemui dan berbicara dengan Rian. Kalau aku terus diam seperti ini, tak akan ada yang bisa menjamin Rian akan berhenti menghalangi jalanku dan aku akan semakin membuat Elsa menunggu lebih lama. Akhirnya aku membuka sabuk pengaman lalu keluar untuk menemui Rian. Saat aku sudah menutup pintu mobil dari luar, jantungku malah semakin berdetak tak beraturan. Aku terus menguatkan diriku. Itu bahkan sudah enam tahun yang lalu. Tak ada gunanya aku gugup. Tapi anehnya, rasa gugup bercampur emosi mulai terpancing untuk bangkit. Emosi yang aku luapkan dengan meninju wajahnya dulu kini seakan hadir lagi. Aku menarik napas panjang, berusaha meyakinkan diri sendiri untuk tetap tenang dan tegar. Tapi, rasa ingin menghantam si pengkhianat ini tak kunjung hilang. "Dara...." Rian mulai memanggil namaku. Bahkan kakinya sudah melangkah mendekatiku. Jujur, aku ragu, aku tak tahu apa yang harus aku lakukan. Aku masih menunduk dan membelakangi, sama sekali tak memiliki keberanian untuk bertatap muka langsung dengannya. "Bisakah kita bicara sebentar?" tanyanya. Ya Tuhan, tolong stabilkan detak jantungku. Ini benar-benar berdetak jauh lebih cepat dari biasanya. Dari sekian banyak ungkapan, dari sekian lama aku pendam hampir enam tahun, banyak kalimat yang ingin aku utarakan pada Rian. Banyak kemarahan yang tak tersampaikan. Namun, aku pikir aku tak bisa berkata-kata lagi saat berhadapan langsung dengannya. Semuanya seakan buyar, aku tak bisa mengatakannya. Oh Tuhan, kembalikan Dara yang kuat, Dara yang tegar. Kenapa aku bisa selemah ini di hadapannya? "Maaf, aku buru-buru," jawabku. Hanya itu yang bisa aku katakan. "Sebentar aja," pinta Rian, ia mengatakannya sangat pelan dengan nada penuh permohonan. Aku kemudian memberanikan diri berbalik badan hingga posisi kami saling berhadapan. Aku berjanji untuk tetap kuat terlebih di hadapannya. "Bicara apa?" tanyaku. "Aku seneng kamu kembali, Dara." "Aku buru-buru, langsung aja ada apa?" Faktanya memang aku sedang buru-buru, Elsa pasti cemas menungguku. "Aku minta maaf, aku juga ingin mengucapkan selamat terhadap hidup barumu," ucapnya. Jujur aku tak mengerti maksudnya bicara seperti ini. "Semua udah terjadi, dulu aku berusaha hubungin kamu buat jelasin semua, tapi kamu bener-bener menghilang sampai pada akhirnya aku tahu kalau kamu mengajukan mutasi ke Bandung." "Tunggu, maksud kamu bahas ini apa? Aku udah menguburnya dan aku nggak mau menggalinya lagi," ucapku. "Aku cuma pengen ingetin kalau kita mungkin bukan jodoh, nyatanya aku udah bahagia." Ada rasa sesak mendengar ucapannya. Lalu apa peduliku? Untuk apa si pengkhianat ini memamerkan kebahagiaannya? Apa ia tak pernah memikirkan bagaimana perasaanku? Juga, hancurnya harapanku enam tahun lalu. "Jadi kamu berpikir aku datang buat ngerusak kebahagiaan kamu?" "Bukan begitu, Dara." "Terus gimana? Bisa to the point aja, Rian?" "Aku mau nggak ada dendam antara kita, aku minta maaf atas kejadian pahit enam tahun lalu." Aku tidak tahu adakah kata yang lebih menenangkan selain maaf? Setelah rasa sakit dan luka yang Rian ciptakan dengan mudahnya ia hanya meminta maaf. Tiba-tiba hati ini semakin memanas, luka yang belum sepenuhnya kering seakan tambah parah. Aku tahu, memaafkan memang tak mengubah segala masa lalu tapi meski aku mencoba mengikrarkan kata maaf untuknya tetap saja rasa sakit yang ia buat tak akan pernah hilang. "Aku udah maafin kamu, sekarang tolong jangan halangi jalanku lagi. Aku buru-buru." Aku bohong, jujur aku belum memaafkan sepenuhnya. Mungkin saja aku membencinya. "Tunggu, Dara. Ada lagi," cegahnya. "Apa?" "Aku udah bahagia dengan istriku. Aku berharap kamu juga bahagia dengan suamimu. Kamu udah nikah, kan?" tanya Rian. Aku bingung apa tujuan Rian mengucapkan secara berulang-ulang tentang kehidupannya yang sudah bahagia. Mungkinkah ia benar-benar berasumsi aku akan mengganggu kebahagiannya? "Sebenarnya nggak ada gunanya membahas hal yang udah berlalu karena mana mungkin bisa mengubah apa pun, semua udah terjadi. Tapi aku rasa aku perlu minta maaf. Aku tahu aku jahat, aku kejam, nggak berperasaan tapi aku nggak ada maksud untuk menduakanmu,” tambah Rian. Aku masih diam karena sepertinya Rian masih ingin terus bicara. “Dua tahun kita berpacaran, banyak kebohongan yang aku buat. Karena sebenarnya aku dengan Risty sudah berhubungan jauh sebelum kita bersama. Aku bukan mengkhianatimu, tapi aku mengkhianati Risty. Kalau ditanya bagaimana perasaanku, aku sayang kamu dan sayang Risty juga. Tapi meski aku sempat menginginkan kalian berdua … tetap saja hanya satu yang bisa aku nikahi dan ternyata Tuhan lebih mengizinkanku dengan Risty. Maaf Dara, maaf banget. Dia hamil dan aku harus segera menikahinya. Aku nggak memilihmu bukan karena aku nggak mencintaimu. Aku mencintai kalian, tapi aku juga harus bertanggungjawab terhadap kehamilan Risty. Jadi...." "Stop, cukup!" Aku mengatakannya dengan rasa sesak yang semakin menjadi jadi. Penjelasan macam apa itu? Bahkan setelah enam tahun aku baru tahu kebenarannya. Apa Rian juga secara tidak langsung mengatakan kalau akulah wanita keduanya? Si penggoda itu? Ya Tuhan. "Aku berusaha menghubungimu, tapi sulit. Terlebih aku pikir kamu sudah bahagia dengan lelaki lain. Aku nggak mau mengganggumu, Dara. Aku ingin kamu tahu kebenaran ini supaya nggak selamanya berpikir buruk tentangku, kamu harus tahu kalau aku nggak seburuk yang kamu kira. Aku begini atas dasar tanggung jawab." Kenapa Rian terus melakukan pembelaan diri? Padahal aku sudah mengatakan tak ingin membahasnya, tapi ucapan Rian membuatku terpancing ingin membahasnya meski aku tahu pembahasan ini sangat tak berguna. "Kalau Risty nggak hamil, apa yang bakal kamu lakukan? Tetap memilih dia, kan?" tanyaku sinis. Rian bungkam. "Kamu nggak bisa jawab, kan? Udah cukup, kesalahanku adalah mendengarkan penjelasan sampah. Aku rasa semuanya percuma. Semua yang kamu jelasin nggak akan mengubah apa pun." Jangan menangis, Dara. Jangan menangis. Aku harus menahannya, aku harus kuat. Aku harus mampu tegar. Lagian untuk apa menangisi pria sampah di hadapanku ini? "Untuk itu aku mau minta maaf, aku mau kita berteman dan melupakan kejadian dulu. Bukankah kita kembali satu kantor? Lagi pula, aku yakin kamu udah bahagia sama laki-laki lain. Aku sadar kamu wanita baik, pasti akan mudah menemukan yang lebih baik. Seperti aku, lihat aku sekarang juga udah bahagia sama Risty. Kami sangat bahagia, seperti kamu bahagia sama keluarga kamu. Kita bahagia dengan hidup masing-masing." Aku ingin sekali berteriak di depan wajahnya. Kenapa Rian terlalu sok tahu tentang hidupku? Jujur aku ingin meninjunya lagi. Tapi aku sudah terlalu muak berhadapan dengannya. "Udah ya, maaf aku ada urusan lain. Permisi," ucapku tanpa melihat wajahnya, aku langsung masuk ke mobil tanpa memedulikan Rian yang berusaha mencegah. Sejak awa aku tahu pembicaraan ini pasti tak ada gunanya. Aku sangat menyesal telah membuang waktu untuk mendengarkannya. Dan yang lebih membuatku semakin menyesal adalah aku telah membuat Elsa menunggu lama. Setelah enam tahun, ini adalah pertemuan pertama kami, tapi rasanya sudah sangat menyakitkan. Apa kabar dengan pertemuan selanjutnya? Aku pikir kami akan sering bertemu dan harus berapa duri lagi yang akan menusuk-nusuk hatiku? Akhirnya aku segera mengemudikan mobil menuju TK Kartini. Aku bahkan sudah telat hampir setengah jam. Elsa, maafkan Bunda. Dalam perjalanan, air mata ini benar-benar mengalir. Tangisku jadi pecah karena sejak tadi aku sengaja menahannya. Aku tak mungkin menangis di depan Rian, sangat tidak mungkin. Perjalanan yang harusnya sepuluh menit entah mengapa aku merasa sangat lama. Aku tak kunjung sampai padahal aku sudah tak sabar ingin segera menemui Elsa. Aku kemudian menghapus air mataku agar tak terlalu kentara dan membuat Elsa curiga. Beberapa saat kemudian, aku sudah benar-benar sampai di TK Kartini. Suasana sudah sangat sepi. Aku mencari-cari keberadaan Elsa dengan menyelidik ke arah pos satpam. "Ibu cari siapa?" ucap seseorang yang tiba-tiba ada di belakangku. Aku menoleh, ternyata seoarang pria berseragam satpam yang barusan berbicara. "Apa semua siswa udah pulang?” tanyaku. “Putri saya ikut daycare juga, namanya Elsa. Sepertinya dia masih di dalam." Jujur aku dipenuhi rasa bersalah kalau Elsa benar-benar sudah menunggu dijemput di pos satpam, tapi harus kembali ke dalam karena aku tak kunjung datang. "Hm, ini Ibu Dara, ya? Elsa itu anak baru, kan?" "Iya, Bapak tahu di mana Elsa? Dia masih di dalam, kan?” “Maaf, Bu Dara. Elsanya sudah pulang.” “Saya nggak memerintahkan siapa pun untuk menjemputnya." Jujur, aku mulai panik. "Elsa ikut pulang ke rumah orangtuanya Kinara, Bu." "Orangtua Kinara?" "Iya, Bu. Jangan khawatir, ini alamat Kinara. Saya jamin Elsa akan baik-baik saja,” kata satpam. “Tadi orangtuanya Kinara nggak tega Elsa terus menunggu, jadi beliau mengizinkan Elsa menunggu di rumahnya aja. Rumahnya dekat dari sini, kok," jelasnya kemudian sambil memberikan secarik kertas. Sekilas aku menatap alamat ini cukup asing, bahkan aku sudah lama tak tinggal di Jakarta sehingga membuatku harus mencarinya. "Baiklah, terima kasih ya, Pak." "Iya, Bu. Sama-sama." *** Saat ini aku sedang mengemudikan mobil pelan, bahkan sangat pelan sambil sesekali memastikan alamat yang tertulis pada secarik kertas di tanganku. Sampai pada akhirnya aku benar-benar yakin kalau aku sudah sampai di alamat yang aku cari. Aku turun dari mobil, tiba-tiba terdengar suara gerbang yang semula tertutup mulai dibuka. “Selamat sore, Bu. Ada yang bisa saya bantu?” ucap seorang pria yang memakai seragam security. “Apa benar ini rumah orangtuanya Kinara?” tanyaku. “Benar, ini pasti orangtua dari temannya Non Kinara, ya? Silakan masuk, saya buka gerbangnya dulu,” ucap security itu lagi sambil bergegas membuka gerbang. Aku pun masuk kembali ke mobil, setelah gerbang terbuka sepenuhnya aku mengemudikan mobil sehingga masuk ke area pekarangan rumah yang cukup luas ini. Beberapa saat kemudian aku turun, security itu sudah menungguku di luar. “Mari saya antar ke halaman samping, mereka ada di sana, Bu.” Aku tak menjawab, hanya mengangguk dan mengikuti security itu dari belakang. Sampai pada akhirnya aku melihat Elsa sedang bermain ayunan dengan gadis seusianya, mungkin itu yang bernama Kinara. “Bunda,” ucap Elsa setengah berteriak begitu menyadari aku menghampirinya. Ia langsung memelukku, tentu saja aku sedikit berlutut untuk mensejajarkan tubuh dengannya. “Tadi pagi kata Bunda, Elsa bakal punya banyak teman. Bunda benar, sekarang Elsa banyak teman dan salah satunya Kinara, Bun. Dia sama mamanya baik banget,” jelas Elsa dengan mata berbinar, nada kebahagiaan jelas sangat kentara dari ucapannya. “Iya, Sayang. Tapi sekarang udah sore, kita pulang yuk,” jawabku. “Ini pasti bundanya Elsa, ya?” ucap seorang wanita tiba-tiba, aku langsung menoleh ke belakang ternyata wanita itu membawa ransel milik Elsa. “Saya mama Kinara, Bu,” ucapnya lagi sambil tersenyum. Aku pun berdiri dan membalas senyumannya. “Terima kasih ya Mama Kinara udah jagain Elsa,” ucapku. Wanita itu mengulurkan tangannya, aku pun membalas uluran itu sehingga kami bersalaman. “Risty. Panggil aja Risty, tampaknya usia kita nggak terpaut jauh,” ucap wanita itu. Hening sejenak. Tentu saja suasana mendadak jadi hening karena pikiranku penuh dengan dugaan-dugaan yang menakutkan. “Dara,” ucapku ragu. Setelah itu, kami melepaskan tangan masing-masing. Entah mengapa, nama orangtua Kinara membuatku tidak nyaman. Dari banyak nama, kenapa ia harus memakai nama Risty? Terlebih dari ratusan bahkan ribuan nama Risty, kenapa wanita di hadapanku ini harus bernama Risty. Ya Tuhan, kenapa pikiranku bisa sejauh itu? Apa dunia memang sempit dan mungkinkah … ini Risty yang itu?
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN