Bab 8. Jangan Sentuh Gadisku

1163 Kata
Prasta masuk ke kamar lebih dulu usai melihat kejadian di dalam kamar sang papa. Ia tak tahu, tapi semua yang ia lihat tadi sangat berbanding terbalik dengan apa yang ada dalam pikirannya. "Apa dia serius? Aku yakin itu hanya akting," ucapnya pada diri sendiri. Tak lama kemudian, pintu terbuka. Sasti tampak berjalan dengan tenang masuk ke kamar tanpa mempedulikan sang suami. Ia bergegas pergi ke kamar mandi untuk mencuci muka. Sementara Prasta menunggunya di tepi ranjang. Ketika Sasti selesai, Sasti menghampiri sang suami dan melempar tanya. "Kita enggak akan tidur seranjang, kan?" Prasta mendongak, lalu berdiri. "Ya, enggaklah. Elu tidur aja di sofa," ucap Prasta kemudian. Sasti membuang napasnya dengan kasar. Sudah ia duga, pasti begini kejadiannya. Sama seperti yang ia bayangkan. Jadi, ia bergegas menarik selimut dan mengambil bantal untuk dipakainya tidur di sofa. Saat itu, Prasta benar-benar tidak tahan ingin bertanya mengenai sang papa. Jadi, ia yang awalnya ragu kemudian memberanikan diri melempar tanya pada sang istri. "Elu ngapain dari kamar Papa?" Sasti yang sudah merebah buru-buru bangkit. Ia mengambil duduk dan menatap Prasta yang masih duduk di tepi ranjang. "Ehm ... cuma bantuin aja," katanya. "Bantu apa?" "Tadi ... Pak Hans pusing. Jadi, aku bantu ke kamar," sahut Sasti ragu-ragu. Prasta menatap wajah Sasti yang tertunduk. Entah apa yang disembunyikan oleh gadis itu. Namun, Prasta tak ingin terlalu peduli. "Oh." Prasta kemudian merebah. Namun, Sasti masih dalam posisi yang sama. Sejujurnya, ada hal yang mengganjal di hati gadis itu. Entah kenapa tadi mertuanya meminta dirinya untuk menjaga Prasta. "Memangnya dia masih bocah," celetuk Sasti. "Apa?" Prasta yang mendengar gadis itu bicara melempar tanya. Namun, Sasti buru-buru menggeleng dan merebah, lantas menutup semua tubuhnya dengan selimut. * Pagi-pagi sekali, Sasti sudah bangun dan bersiap. Gadis itu harus pergi ke agensi karena ada kontrak kerja yang harus diselesaikan. Ketika ia keluar dari kamar mandi Prasta baru saja membuka mata. Ia menyipit ketika melihat sang istri sudah bersiap dan rapi. "Mau ke mana elu?" tanyanya. "Ada kerjaan." "Di mana?" Sasti menoleh. Mengapa pria itu mendadak penasaran? Bukankah biasanya tidak peduli. "Agensi," sahut Sasti kemudian. "Gua antar." Sasti langsung menoleh ketika mendengar ucapan Prasta. Demi apa pria itu begitu baik pagi ini? Namun, Sasti tak begitu saja percaya. Jadi, ia memperjelasnya. "Kenapa tiba-tiba?" "Enggak usah protes," sahut Prasta. Sasti mencebik. Ia lantas memaku pandangan pada Prasta yang berjalan pelan menuju ke kamar mandi. Gadis itu menggeleng lemah. Entah mengapa sikap suaminya berubah sejak semalam. Jadi, apa yang terjadi? Namun, Sasti tak peduli. Jika harus menunggu Prasta, bisa dipastikan ia akan terlambat. Jadi, ia turun lebih dulu. Namun, Hans yang ada di ruang makan memanggil gadis itu untuk bergabung. "Iya, Pak." "Duduk!" titah Hans. Sasti manut. Ia mengecek arloji di pergelangan tangannya dan mengambil duduk. "Makan dulu," kata Hans. "Sasti harus ke agensi, Pak. Ada kontrak yang harus diselesaikan," ucap Sasti. Hans yang tadinya hendak menyuap kembali meletakkan sendok dan menatap menantunya lekat. Lantas, melempar tanya. "Mana Prasta? Minta dia mengantarmu," katanya. "Prasta masih-" "Aku di sini, Pa," kata Prasta seraya turun dari tangga. Pria itu berpakaian kasual dengan jaket yang ia tenteng di pundak. Rambutnya masih berantakan dan basah. Agaknya, tadi ia buru-buru demi menyusul Sasti yang keras kepala dan ingin pergi seorang diri. "Antar Sasti ke agensinya," titah Hans. "Iya, Pa," sahut Prasta. Sasti membuang napasnya dengan kasar. Ia lantas pamit untuk berangkat. Sebelum itu, ia dengan takzim mencium punggung tangan Hans lembut. Lantas, berlalu ke pintu utama. Saat itu, Hans merasa sedikit aneh dengan kelakuan gadis itu. Bahkan, kedua anaknya saja tidak pernah mencium tangannya dengan begitu takzim. "Kami berangkat, Pak," kata Sasti. Gadis itu melambai, lalu berjalan lebih dulu menuju ke parkiran. Mobil Prasta kemudian melaju ke arah agensi di mana Sasti bernaung selama ini. Ketika sampai di sana, semua orang tampak memperhatikan pasangan yang baru saja menikah beberapa hari yang lalu itu dengan saksama. "Di sini tempat kerja elu?" tanya Prasta. "Iya. Kamu pulang aja, deh. Aku enggak tahu di sini sampai jam berapa," kata Sasti. "Gua tungguin!" Prasta menyalip Sasti dan berjalan lebih dulu menuju ruangan seseorang. Saat masuk ke ruangan itu, semua yang ada di sana terkejut. Mereka tak menyangka jika Sasti akan mengajak serta suaminya yang tidak lain adalah calon pewaris Adyatama Group. "Pak Prasta. Wah, kehormatan sekali Bapak datang ke agensi kita," kata Martin selalu owner di sana. "Iya. Aku ngantar Sasti. Sekalian mau lihat gimana lingkungan kerjanya dia," kata Prasta. Sasti berdecih lirih. Sejak kapan pria itu jadi demikian perhatian kepadanya. Namun, itu tak membuatnya jadi besar kepala. Gadis itu kemudian mengambil duduk dan mulai mendengarkan penjelasan Martin untuk pemotretan yang akan berlangsung sesaat lagi. "Ini hanya akan memakan waktu sebentar saja. Jadi, pastikan semuanya bagus, ya," kata Martin. Semua bersiap dan Prasta masih mengekor. Tak lama kemudian, Frans datang dengan tergopoh. "Maaf, Bos. Macet tadi jalannya," kata pria itu. "Iya, enggak apa-apa. Cepat bersiap. Kita akan mulai sebentar lagi," kata Martin. Saat itu, Frans terkesiap ketika melihat Prasta ada di sana. Pria itu adalah orang yang mempermalukannya kemarin. Jadi, untuk apa ia datang ke sini? Namun, Frans tak mau berurusan lagi dengan suami sang mantan. Ia lebih baik fokus pada pekerjaan dan selesai. Sasti pun terkejut ketika melihat Frans. Bukankah ia hanya akan berfoto seorang diri? Lantas, kenapa pria itu ada di sini? "Bos, aku take sendiri, kan?" tanya Sasti. "Harusnya, iya. Tapi, klien minta satu foto berdua. Jadi, tadi aku telepon Frans," jelas Martin. Sasti langsung menoleh ke arah Prasta yang tampak tenang-tenang saja di kursinya. Ia ingat kejadian kemarin. Jadi, ia berharap baik Prasta maupun Frans akan bersikap dewasa saat ini. Pemotretan pun dimulai. Mulanya Sasti yang diambil gambarnya seorang diri. Setelah beberapa kali take, ia diharuskan berpose dengan Frans. "Okay, ini hanya sebuah pekerjaan. Jadi, tenang saja Sasti," bisik gadis itu pada dirinya sendiri. Frans diarahkan untuk memeluk pinggang Sasti dari belakang. Awalnya, Sasti berusaha untuk tetap tenang. Namun, lama-lama ia merasa tidak nyaman. Saat itu, Prasta yang melihat ekspresi sang istri mulai menyadari sesuatu. Sampai akhirnya, Sasti melempar protes. "Jangan kencang-kencang pegangnya. Aku enggak nyaman," kata gadis itu. "Ini sesuai saran dari fotografer kita," sahut Frans. Namun, saat itu kentara sekali jika pria itu tengah memanfaatkan situasi. Jadi, Prasta yang awalnya duduk langsung bangkit dan menarik tubuh istrinya dengan sedikit kasar agar bisa terlepas dari dekapan Frans. "Hai, santai saja, Bro. Ini cuma pemotretan," kata Frans. Prasta menoleh pada Sasti yang terlihat tidak nyaman sama sekali. "Kalau enggak boleh istrimu dipegang-pegang jangan izinkan dia jadi model," imbuh Frans memancing emosi Prasta. Saat itu, Sasti mengangguk lemah demi menenangkan sang suami. Baiklah, ini akan selesai sesaat lagi. Jadi, tidak perlu terbawa perasaan. Jadi, Prasta manut dan kembali mengawasi mereka. Ketika tak lama kemudian, Frans malah bertindak lebih dan Sasti mencoba melepaskan diri. Prasta mendekat dan langsung melempar bogem ke wajah Frans dengan gusar. Semua orang terkesiap dan berteriak kecil. Mereka tak menyangka jika Prasta akan melakukan itu lagi. Pria itu lantas berjongkok dan menarik kerah Frans dengan geram. "Jangan sentuh istri gua. Jangan pernah kurang ajar sama istri gua. Paham elu?"
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN