The Devil Inside

1012 Kata
Hari itu dilalui Nathan dengan setengah hati meredam emosi dan setengahnya lagi harus fokus pada perusahaan yang baru saja dibangunnya. Dia bertanggung jawab atas kemajuan beberapa sektor usahanya dan membuat para pemegang saham yakin serta mau menginvestasikan uang mereka di perusahaan Nathan tersebut. Dan yang lebih menguras tenaga dan pikiran adalah semua pekerjaannya dikejar dead line dan segala hal yang berurusan dengan negoisasi harus selesai sebelum lebaran. Karena ia berjanji pada mamak. Tahun ini akan lebaran di Lampung dan cuti untuk sementara waktu. Sore hari hari itu, gawainya berdering, sekilas dia melihat nomor yang tidak dia kenal. Anehnya sudah tiga kali nomor itu menghubunginya. Karena tidak juga berhenti dihubungi, akhirnya dia mengalah dan mengangkat telpon tersebut. "Hai sayang. Selamat sore ... Wangi tubuhmu tercium sampai sini. Pasti kau habis mandi, kan?" Nathan menmijit keningnya, "Ya tuhan ... Melisa lagi. Wanita ini ... Menyesal aku mengangkat telponnya." gerutu Nathan dalam hati. "Ada apalagi Mel? Hari ini aku lelah. Banyak sekali meeting yang aku hadiri. Cepatlah. Katakan apa maumu. Jangan banyak basa-basi." "Sabar sayang. Aku hanya minta satu hal. Buka pintu apartemenmu. Aku di depan pintumu." Nathan gemetar hebat. Menyesal dia mengenal wanita ini. Jika saja dulu dia tidak berjanji pada ayahnya agar tetap melindungi Melisa. Dia tidak akan serepot ini mengurusnya. Ketika pintu apartemen Nathan dibuka, dia melihat Melisa sudah di depan matanya, dengan gaun yang sama seperti tadi menemui Nathan di kantor. * Maret, 2005 Bunyi monitor pacu jantung di ICU sore itu terdengar seperti sudah enggan beroperasi, seperti setengah hidupnya si pemilik jantung, papa Melisa. Nathan dan Melisa yang baru saja pulang sekolah. Langsung menuju rumah sakit. Begitu di kabarkan bahwa ayah Melisa kritis. Sesampainya mereka di rumah sakit tersebut, Nathan melihat mamak, bapak, dan beberapa keluarga lainnya sudah berkumpul, "Nathan ... Om pernah berjanji pada ayahmu, kelak jika kalian dewasa kau akan ku nikahkan dengan Melisa. Namun rupanya takdir berkehendak lain. Di sinilah aku. Terbaring menunggu maut menjemput. Aku hanya mohon satu hal padamu, apapun yang terjadi, tolong jaga Mel. Tidak ada yang bisa om lakukan kecuali mempercayakannya kepadamu, karena dia sendiri. Jika aku pergi hari ini. Berjanjilah." Pesan itu terngiang begitu saja. Teringat hembusan napas terakhir om Gunawan. Dan di sinilah Melisa, berdiri di depan apartemennya. "Jika saja aku tau akan seperti ini jadinya. Aku tidak akan mengucap janji apapun pada papamu." Mendengar itu, Melisa hanya tersenyum. Bukan senyum penyesalan, tapi senyum menggoda, senyum nakal yang Nathan kenal. Seperti beberapa tahun silam. Nathan bergidik ngeri melihatnya, teringat kejadian beberapa tahun lalu, yang membuat Nathan harus rela keluar dini hari ke kantor polisi demi menyusul Mel. Saat itu, Nathan inget banget, jam 2 malam itu. Nathan sudah terlelap dan mimpi jauh melampaui bintang. Tiba-tiba hpnya bergetar. "Halo ... Maaf mengganggu. Anda orang ke-10 yang saya hubungi. Untung Anda angkat telponnya. Mohon untuk segera ke kantor polisi. Nanti saya sms kan alamatnya. Ada wanita yang mengaku saudara Anda. Wanita ini melapor kepada kami, bahwa dia mendapatkan kekerasan seksual dari pasangannya. Melisa, apa Anda mengenalnya?" Terlonjak bangun dari tempat tidurnya, mata Nathan terbelalak. Nyawanya yang tadi masih di awang-awang. Seketika jatuh ke bumi. Apa yang terjadi dengan Melisa? Kekerasan seksual? Otak Nathan masih saja mencerna perkataan polisi yang menelponnya tadi. Sembari terus saja menerka apa yang sebenarnya terjadi dengan Mel, secepat kilat Nathan meraih kunci mobilnya. Memacu mobilnya dengan kecepatan penuh, menuju kantor polisi, demi menjawab pertanyaan yang berkecamuk di otaknya. Hatinya deg-degan, khawatir sesuatu yang buruk terjadi pada Mel. Dia teringat akan wajah Melisa. Yang kala itu kusut, rambut menjuntai lemah. Seperti bulu kucing tersiram air. Bajunya sudah robek di mana-mana, matanya lebam. Goresan benda tajam terlihat jelas di lengannya yang putih, Mel terlihat kacau malam itu. Entah sudah berapa kali Nathan memperingatkan Mel. Bahwa jangan suka mencari masalah dengan pria beristri atau pria kaya yang hanya butuh kehangatan semalam. Dan malam itu adalah puncak dari semuanya. Sesampainya Nathan di kantor polisi, Melisa hanya tertunduk lemas. Setelah selesai membuat laporan pengaduan, Nathan membawa Melisa ke apartemennya, Melisa hanya pasrah karena dia masih shock dengan kejadian yang baru saja di alaminya. Sesampainya di apartemen, Nathan memasak air panas untuk menyeduh teh hangat aroma melati kesukaan Mel. Sementara Mel membersihkan diri dan mandi di kamarnya. Nathan masih tampak marah alih-alih kecewa dengan apa yang baru saja terjadi pada Mel. “Sungguh, aku kenal dia sudah beberapa bulan ini, perangainya baik, dia mengajakku makan malam, bahkan kami sempat liburan ke Bali seminggu kemarin, dia baik, romantis, lembut, apa salah aku menaruh percaya dan harapan padanya, agar kehidupanku lebih baik. Kalau kamu tau, aku juga lelah hidup sebagai lintah dan benalu pada kehidupan orang lain, terutama kamu, Nat. Aku berusaha lepas dan pergi agar tidak lebih menyusahkan hidupmu, tapi lihat aku, rasanya kemalangan dan keburukan masih saja mengikutiku, apa salahku??? Nath? JAWAB!” Mel meraung, setelah selesai mandi dan keluar dari kamarnya menghampiri Nathan. Beban hidup yang harus ditanggung olehnya, membuat dia begitu, Nathan sadar akan hal itu. Emosi dan amarah yang tadi sudah diujung ubun, mnguar, lenyap entah kemana, demi melihat Mel menangis, tergugu di pundaknya. Nathan memutuskan menginap di rumah Mel hari itu, demi menjaga Mel dari berbuat lebih buruk lagi. * “Nath, apa kamu akan terus membiarkanku di depan pintu seperti ini dan melihatmu melamun seperti itu? Ayolah, aku lelah, ingin merebahkan tubuhku barang sekejap saja, di pelukmu, boleh, ya.” Mel menerobos masuk dan memeluk Nathan dengan tiba-tiba. Tanpa persiapan, Nathan yang masih antara sadar dan tidak dari lamunannya, limbung, dan tanpa dikomando akhirnya mereka terjatuh. Tubuh Mel mendarat dengan sukses tepat di atas Nathan dan dapat terlihat dengan jelas olehnya wajah Mel, wajah yang cantiknya alami, wajah yang beberapa tahun belakangan ini mengisi sisi hatinya, walau hanya secuil. Wajah yang membuatnya jatuh cinta. Tanpa sadar, mereka sudah tidak berjarak, seakan larut dalam pesona Mel, Nathan mengikuti saja kemana Mel menuntun mereka, untuk larut dan lebur menikmati gejolak asmara, tanpa suara, hanya rasa yang berbicara. Dua insan yang sebenarnya saling cinta tapi harus menyerah pada keadaan yang membuat salah atunya tetap berpegang pada logika. Sementara yang lain mengikuti alur tanpa mencoba untuk berbenah sekejap pun. Begitulah dunia, lakonnya sungguh jenaka, ketika cinta hanya bisa dirasa tanpa bisa dipaksa bahkan ketika diminta beranjak pun rasa itu tinggal dan enggan pergi selalu siap untuk menyapa.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN