Maybe There’s Still A Hope,

1024 Kata
Pagi ini ... Setelah sampai kantor. Entah ada apa Nathan ingin sekali dhuha di mushola kantor di lantai 3. Sudah lama sejak Mo Corp. Berdiri, dia sudah jarang ke lantai 3, tempat di mana divisi pemasaran. Maka jam 9 pagi itu, Nathan turun dari kantornya di lantai 5 ke lantai 3 menuju mushola kantor. Selama perjalanan merebak semua memori mengenai masa kecilnya di Lampung, kampung halamannya. Banyak tempat yang ingin dia kunjungi ketika nanti bisa pulang kampung. Saat selesai ambil air wudhu, sekelebat lalu mata Nathan menangkap bayangan wanita. Jilbabnya terulur lebar dan gamis nya panjang menutup mata kaki, tidak ada ikatan rambut menonjol di kepalanya. Nathan tertegun, wanita dengan jilbab lebar ini sudah banyak bertebaran di setiap sudut. Namun, tanpa polesan make up dan ikatan rambut yang menonjol, terdengar aneh. Hal ini mendapat satu poin tersendiri di hati Nathan. "Loh ... Pak Nathan. Assalamualaikum. Salat di sini juga, Pak? Sudah lama saya tidak melihat Bapak turun ke divisi pemasaran." Nathan terkesiap, wanita tadi menyapanya. Nathan merona lalu detak jantungnya tak beraturan, sudah lama dia tidak merasakan ini. Ketika hatinya berdebar tidak kencang tapi ada denyut tidak karuan yang jarang banget dia rasakan. Sepertinya sudah beberapa tahun lalu dia merasakan jungkir balik dunianya karena perasaan ini. Nathan mencoba khusuk dhuha, tetapi degup jantungnya masih tetap tak beraturan. Sudah lama dia tidak merasakan perasaan ini. Sudah lama, sejak 5 tahun lalu, ya ... 5 tahun lalu. Saat di mana dia menggantungkan cintanya pada seorang wanita dan wanita itu pergi meninggalkan goresan luka, luka itu masih terasa. *** "Nat ... Besok kamu jadi kan pulang ke Lampung? kita akan food testing ya di hotel Sheraton. Mbak Nadia sudah menghubungiku, aku juga sudah bikin appoinment sama dia jam 10 pagi." "Aku usahakan sayang. Besok pesawatku jam 6 dari Jakarta. Setelah itu aku ada janji ketemu dengan mas Doni di rumahnya, entah selesai jam berapa. Nanti kuhubungi lagi ya, Tam." Thamara mendengkus kesal. Nathan selalu saja seperti ini setiap kali ada janji urusan pernikahan mereka. Nathan selalu saja seperti tidak ada waktu untuk menemaninya, sehingga membuat Thamara merasa bahwa pernikahan ini hanya Thamara saja yang menginginkan. "Ya sudah ... Yang penting aku sudah bilang dari jauh-jauh hari. Ini pernikahan kita, tapi entah kenapa aku merasa hanya aku yang menginginkannya." Klik. Thamara menutup telponnya dalam hening dia menyuruput kopinya, pelepas stres paling mujarab dan paling murah untuknya, hingga beberapa jam kemudian. "Tam ... gue jemput lu jam 10an. Kita jadi kan survey tempat untuk foto pre-wed lu sama Nathan?" "Iya ... Jadi donk Gio. Klo udah di depan rumah gue, lu WA aja. Biar gue keluar." *** Sesampainya mereka di spot pertama, Kalianda Resort. Thamara merasa ini tempat yang cocok untuk foto pre-wed nya. "Gio ... gue udah sreg nih. Di sini aja deh jadi nya. Pas sunset keren nih." "Oke Tam. Besok begitu calon lu dateng, kita ajak ke sini aja, biar dia juga liat-liat lokasinya." Thamara hanya bisa menghela napas panjang. Dia sanksi akan hal itu. Nathan ... Food testing saja realisasinya masih di awang-awang, padahal lokasi hotel tersebut berada di tengah kota. Apalagi harus menempuh perjalanan sekitar 2 jam dari Karang ke Kalianda. "Kita liat besok aja deh, Yo. Yang pasti gue udah mutusin di sini aja, Nathan pasti setuju." Karena Gio dan Thamara sampai di Kalianda Resort petang, maka Thamara memutuskan buka puasa di sana. Saat mereka sedang makan. Gio bertemu teman sesama wedding-grapher. Farhan. "Apa kabar Yo. Keren lu sekarang. Kemana aja? Koq jarang ngumpul?? Eh ... Ini siapa?" Tatapan Farhan tak lepas dari Thamara. Begitu juga sebaliknya. "Ehem ... Ini calon penganten woy. Klien gue nih. Sekaligus temen kuliah gue di UNILA kemaren. Thamara namanya." Thamara dan Farhan berjabat tangan, saling tatap. "Gabung aja, yuk. Kita juga baru mau makan nih, gue traktir deh." Thamara menawarkan diri, lalu jadilah mereka bertiga santap malam di sana. *** Dan pagi itu. Pesawat Nathan mendarat mulus di Bandara Radin Inten II. Senyum manis Thamara sudah menanti di pintu penjemputan. Ah ... Nathan rindu senyum ini. Senyum yang selalu menenangkan. Senyum yang selalu dinantikan, "Bandar Lampung. I'm home." Setelah keluar dari bandara. Thamara menyetir sedannya ke arah Tanjung karang. Sedikit macet di daerah terminal Raja Basa tapi setelahnya lancar. "Aku rindu bubur ayam di Pahoman. Dekat stadion itu, kita sarapan di sana ya sayang." Thamara tersenyum. Dan mengecup pipi Nathan. "Siap pak bos sayang. Meluncur." Dan begitulah. Mereka melewati kampus UNILA, museum LAMPUNG, UBL, Teknokrat. Dan ketika berhenti di Lampu Merahnya. Nathan terheran dan tersenyum. Sambil nyeletuk dia melirik ke arah Thamara, "Wah ... Bandar Lampung sudah punya Mall beneran ya Tam. Nanti kita kesana ya. Aku mau lihat dalamnya." Nathan tampak takjub dengan perkembangan kota kelahirannya ini. Perkembangan yang pesat seperti Mall Boemi Kedaton itu contohnya, saat melintasi Makam Pahlawan karena arus lalu lintas agak sedikit macet. "Ah ... Ini nih sebelnya kalo pagi lewat sini. Anak-anak pada di antar ke sekolah dan kampus." Sesampainya di Stadion Pahoman. Mereka menuju tukang bubur langganan mereka. Bubur Pataya dan Nathan selalu mengaduk semua isi buburnya, tanpa kacang kedele dan kuah, hanya di tambahkan sambal dan sate telur puyuh favoritnya. Sementara Thamara menambahkan banyak kuah kedalam mangkuknya. "Itu bubur sampe berenang Tam," seloroh Nathan. Di iringi cubitan manja Thamara yang mendarat mulus di pinggang Nathan. "Ih ... Kamu, ngeledek aja." Begitulah, mereka menghabiskan waktu sarapannya, setelah selesai Nathan mentandaskan bubur semangkok di hadapannya." Antarkan aku ke rumah om Doni di Enggal ya Tam. Aku sudah janji akan mengunjunginya jika aku pulang ke Karang." Thamara ingin membantah, dia sudah membuka mulutnya untuk protes, ketika gawai Nathan berbunyi, akhirnya Thamara urung dan hanya bisa diam, “Jangan nangis, Tham, plis, tenang. Ini akan berlalu, ini hanya sementara.” Begitulah, ketika Nathan mencoba membangun mimpinya, Thamara di sana, walau tidak seratus persen mendukung, paling tidak Tham selalu ada di samping Nathan. Tapi karena mimpi itu pula akhirnya mereka pisah, tidak jadi menikah. Thamara yang sudah jengah dengan ketidak pedulian Nathan akan rencana dan persiapan mereka, seolah hanya perduli akan semua masalah remeh temeh perusahaan lah, saham lah, investasi lah, hingga sepertinya hanya Thamara yang memaksa untuk pernikahan ini berlangsung. Tidak mudah bagi Nathan menghalau kenangan tersebut, banyak yang ingin dia lakukan dengan rencana pernikahan itu. Jika waktu dapat diputar, dia rela mempertaruhkan apapun untuk mengembalikan hal tersebut. Nathan menghela napas, terpekur menatap masa depan dengan wajah yang layu, kusut.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN