6. New Mission
Lexi terkekeh. "Kau bercanda, kan, Sir?"
Tentu saja Lexi sangat ingin bertarung dengan Nathan, tapi sangat jelas Lexi pasti akan kalah.
"Kau kira situasi seperti ini bercanda?" Nathan menegurnya dengan tegas.
Lexi masih menganggap situasi ini hanyalah simulasi atau candaan saja. Tapi Nathan benar, dalam situasi apa pun Lexi harus tetap waspada dan tidak boleh meremehkan lawannya.
Dengan cepat Lexi melepaskan lengan yang melingkar di leher Nathan. Dia masih tidak yakin untuk melawan mentornya itu. Dalam keadaan yang terbatas ini, Lexi berusaha menganyunkan serangan untuk menumbangkan mentornya itu. Tapi karena ragu, dia justru mendapat serangan balik dan terbentur ke pintu lift.
Kemudian Nathan memiting lengan Lexi ke belakang dan menyudutkannya di dinding lift. "Kau ragu, karena itu aku bisa menangkis seranganmu. Semua kekuatan dalam dirimu adalah percaya diri." Nathan membisikan itu di telinga Lexi.
Lexi sudah tidak bisa berkutik lagi. Sebenarnya, Lexi adalah perempuan dengan kepercayaan diri yang tinggi. Tapi, entah mengapa setiap dia bertemu dengan Nathan, kepercayaan diri itu runtuh seketika dan bagaikan sebuah bom yang menghancurkan gedung bertingkat.
"Nyalakan listriknya," kata Nathan melalui earpiece yang dia gunakan, kemudian melepaskan Lexi.
Lampu kembali menyala, lift mulai kembali berjalan. Sekarang, Lexi bisa melihat perempuan yang berada di lift itu tersenyum seolah baru saja melihat pertunjukkan sirkus. Dia melototkan mata pada perempuan itu yang kemudian Nathan balik menatapnya dengan tatapan datar.
Lexi tidak sanggup melihat wajah Nathan setelah kejadian tadi, jadi dia langsung menunduk saat Nathan menatapnya. Dia terus menyumpah. Persetan dengan bau parfum itu! Kalau saja aroma tubuhmu tidak seharum itu, aku pasti tidak mengenalimu dan langsung meninjumu, batinnya.
Pintu lift terbuka tepat di lantai 40 dan Nathan meminta Lexi untuk mengikutinya. Perempuan dengan pakaian sekretaris itu juga ikut dengan Nathan dan masuk ke ruangannya.
"Aku akan memberimu tugas seperti yang aku janjikan," ujar Nathan pada Lexi. Dia kemudian mengambil map yang dipegang oleh perempuan itu.
Nathan membacanya sebentar dan kemudian memberikannya pada Lexi. Dengan tangan yang sedikit gemetaran, dia mengambil map dari Nathan.
"Baca itu dan jika ada yang tidak kau mengerti, bisa kau tanyakan pada Miss Devine. Dia yang akan memantau kegiatanmu," jelas Nathan.
Lexi diam sesaat, seolah belum mengerti. Tapi sejujurnya dia sudah mengerti, dia hanya sedang gugup dan entah mengapa tubuhnya terus merasa bergetar. Tanpa pikir panjang, dia langsung mengangguk mengerti dan segera keluar dari ruangan Nathan.
"s**l! s**l! s**l!" Lagi-lagi Lexi menyumpah setelah menyinya-nyiakan kesempatan masuk ke dalam ruangan Nathan. Dan lagi-lagi meninggalkan seorang perempuan berduaan dengan Nathan.
Lexi terus mondar-mandir di depan pintu ruangan Nathan seperti orang yang sedang linglung. Dia sedang menimbang-nimbang untuk masuk kembali atau pergi. Setelah satu menit, akhirnya Lexi pergi sambil membawa map berisi tugasnya itu.
***
"Perempuan itu terus saja mondar-mandir di depan pintumu," kata Cindy. Perempuan yang tadi memberi map pada Nathan. Dia bekerja di akademi New York untuk mengurusi para agen baru yang akan bertugas.
"Biarkan saja, dia memang seperti itu." Nathan mulai membuka map di atas meja yang mulai menumpuk.
"Kau agen lapangan, tapi kenapa banyak berkas menumpuk di atas mejamu?" tanya Cindy yang sekarang sedang berdiri di depan meja Nathan.
"Aku hanya sedang mencari berkas lama." Nathan membaca satu persatu berkas-berkas tersebut.
Cindy mengambil salah satu berkas di atas meja. Namun, Nathan menahan tangannya. Perempuan itu menatap Nathan yang pandangannya tertuju pada map yang dipegang Cindy.
"Kau tidak boleh membaca berkas ini," kata Nathan. Pria itu kemudian menatap wajah Cindy. "Aku akan memanggilmu jika membutuhkanmu."
Cindy melepaskan tangannya dari Nathan, dia tahu bahwa itu adalah isyarat baginya untuk keluar dari ruangan. Cindy tersenyum sesaat sebelum meninnggalkan ruangan Nathan.
Tangan Nathan masih berada di atas map yang tadi Cindy ingin ambil. Pria itu menatap berkas sesaat dan mengambilnya. Di depan berkas tersebut tertulis “sangat rahasia”. Nathan membacanya sebentar dan kemudian memasukkannya ke brankas di laci mejanya.
***
Lexi masih saja memandangi map yang baru diberikan Nathan. Dia masih menimbang-nimbang untuk membacanya. Baru beberapa jam yang kalu dia menghabiskan satu porsi ukuran besar burger untuk sarapan paginya dan sekarang dia lapar lagi. Nafsu makan Lexi memang besar seperti rasa kepercayaan dirinya.
Tanpa pikir panjang, Lexi pergi untuk mengambil motor kesayangannya yang sudah lama tidak dia gunakan. Kakinya melangkah menuju parkiran ruang bawah tanah di akademi. Saat mata Lexi tertuju pada sebuah BMW R1200 GS berwarna hitam, dia tersenyum. "Hai, Jo, lama tidak jumpa denganmu," kata Lexi pada motornya sambil mengelus pelan.
Lexi menamakan motornya “Jo”, mengambil nama depan dari Jonathan. Ya, nama dari mentornya sendiri. Lexi kemudian mengambil kunci motor dan memasukkannya ke dalam lubang. Saat mesinnya menyala, suara halus terdengar dari mesin motor itu. Lexi memakai helmnya sebelum dia meninggalkan parkiran dan menarik gas dengan mantap.
Sebuah restoran mewah yang biasa dikunjungi orang-orang berduit membuat Lexi memberhentikan motor, setelah parkir di tempat khusus pengendara motor, dia masuk ke tempat itu. Tidak biasanya dia ingin pergi ke tempat seperti itu dan lebih suka makan di restoran murahan yang menyajikan porsi makanan yang banyak dalam satu piring. Tapi, Lexi sedang ingin mencari suasana yang cukup sepi, dan biasanya restoran mahal akan ramai saat malam. Dan sekarang masih cukup pagi, jadi rasanya waktu yang tepat untuk makan di tempat semacam ini.
Seorang pelayan membukakan pintu untuk Lexi. Matanya menindai seisi ruangan untuk mencari tempat duduk yang pas. Akhirnya dia mengambil tempat duduk di pojok agar tidak terlalu mencolok. Seperti dugaannya, hanya ada sekitar enam orang berpakaian resmi duduk dan berbincang.
Ada sepasang pria dan perempuan yang duduk berhadapan dan makan dengan tenang. Empat yang lainnya duduk bersama dalam satu meja, satu di antaranya seorang perempuan dengan pakaian yang terbuka di bagian d**a dan belakang. Benar-benar pakaian yang sangat tidak nyaman jika Lexi yang menggunakannya, tapi mungkin bagi perempuan itu biasa saja. Sisanya adalah pria berpakaian resmi.
Lexi melambaikan tangan pada seorang pelayan untuk memesan. "Bisakah aku meminta menu makanan apa saja yang mengenyangkan di sini?" tanya Lexi pada pelayan tersebut.
"Maaf, Nona, kami menyajikan makanan mewah yang mungkin …." Pelayan itu menghentikan perkataanya.
"Berikan aku apa saja yang bisa mengenyangkan," kata Lexi.
Si pelayan mengangguk bingung. "Baiklah," katanya dan kemudian pergi.
Dari sudut lain, Lexi melihat perempuan yang duduk dengan tiga orang pria memandanginya. Wajahnya seperti merendahkan, tapi dia hanya menatapnya datar dan tidak menghiraukan.
Lexi masih membawa map yang tadi diberikan Nathan. Dia memandanginya dengan tidak sabaran, dan kemudian membuka map itu. Satu persatu dia mulai membaca setiap kata yang tertulis. Setelah selesai membaca, dia kembali mengulanginya lagi dari lembar pertama dan mulai memahami.
Di map itu tertulis bahwa Lexi akan menjalani penyamaran sebagai mahasiswa di sebuah universitas dengan identitas sebagai Freya Jordan. Dia terus berpikir, sekolah formal saja sudah tidak ingat bagaimana rasanya dan sekarang dia akan menjadi seorang mahasiswa. Rasanya benar-benar suatu hal yang tidak masuk akal bagi Lexi.
Lexi tidak pernah merasakan sekolah formal lagi setelah Nathan membawanya ke akademi. Di akademi memang diajarkan beberapa pelajaran seperti di sekolah. Namun, hanya sebagian dan sisanya adalah pelajaran bagaimana kau bisa melawan musuhmu.
Tidak lama kemudian pelayan yang tadi, datang sambil membawa makanan yang dipesan. Pelayan itu menaruh piring di meja dan kemudian pergi. Lexi memandangi makanan yang disajikan di meja.
"Porsi banyak mereka sesedikit ini?" Lexi terkekeh.
Kemudian dia memakannya dengan cepat. Dan lagi-lagi perempuan yang duduk dengan tiga laki-laki itu memandangi Lexi. Dia tidak menghiraukannya dan mengambil tisu sambil mengelap mulutnya.
Tiga pria itu akhirnya berdiri dan si perempuan mengikutinya. Dua di antaranya pergi dan meninggalkan seorang pria dan si perempuan. Pria yang masih bersama perempuan itu berambut pirang dan mengenakan setelan jas mahal.
"Kau bisa pulang sekarang," kata pria itu.
"Kau tidak mengantarku?" tanya perempuan itu dengan memelas.
"Tidak, kau bisa pulang sendiri, kan?" sebuah pertanyaan yang lebih terdengar seperti sebuah pernyataan.
Perempuan itu menarik lengan si pria berambut pirang. "Ayolah, Gabe, kau membiarkanku pulang sendiri dengan pakaian seperti ini?" pintanya memelas lagi.
"Aku tidak menyuruhmu menggunakan pakaian seperti itu, kan?" Lagi-lagi pertanyaan yang terdengar seperti pernyataan.
Lexi menguping pembicaraan mereka berdua. Jelas itu memang bukan urusannya, lagipula perempuan itu pantas mendapatkannya. Tapi Lexi bukan sekejam perempuan yang menatapnya dengan merendahkan. Jadi sambil membawa mapnya, dia menghampiri kedua orang itu.
"Maaf, bukannya aku ingin ikut campur. Tapi sebagai seorang pria, kau tidak boleh mencampakkan seorang perempuan begitu saja." Lexi mengarahkan pandangan pada pria itu.
Pria itu menatap Lexi seolah terkejut. “Kita pernah bertemu?” Lagi-lagi pertanyaan yang terdengar seperti pernyataan.
Lexi justru yang bingung sekarang. “Aku rasa tidak.” Tapi ingatannya mulai muncul lagi dan teringat pada pria yang dia temui saat di hotel dan memergokinya menggunakan bantalan untuk dadanya.
Sial, batin Lexi.
Perempuan dengan baju yang terlalu banyak memamerkan seluruh bagian tubuhnya itu kemudian menyelak pembicaraan. "Ya, kau tidak perlu ikut campur urusan kami. Sebaiknya kau membayar makananmu dan pergi dari sini," katanya. "Atau mungkin kau tidak sanggup membayarnya, aku dengar kau mengatakan makanan di sini terlalu sedikit."
Lexi membuka mulut. Jelas perempuan itu mendengar kata-katamya sesaat setelah pelayan itu menyajikan makanan. "Makanan itu memang sedikit untuk harga yang mahal. Dan apakah kau tidak bisa lihat aku sedang membelamu, dasar bodoh!" Lexi mulai tidak bisa mengendalikan kata-kata yang keluar dari mulutnya.
"Dasar perempuan tidak terpelajar!" caci perempuan itu.
Dengan kesal, Lexi merogoh saku jaketnya dan menaruh lima lembar seratus dolar di meja dan pergi sambil memelototkan mata pada perempuan itu.