Mungkin, sudah puluhan kali Jeanna berpikir untuk memutuskan kembali atau tidak sejak semalam. Kepalanya begitu berisik, hanya sekedar untuk memilih keputusan terbaik yang harus ia ambil.
Jeanna sampai tidak bisa tidur karena hal tersebut. Setiap perkataan dari sang ibu tiri terus saja terngiang dalam pikirannya. Jeanna benci, benar-benar benci pada ibu tirinya yang sampai kapan pun tidak akan pernah ia panggil ibu.
Tapi Jeanna sangat sangat menyayangkan, mengapa harus wanita itu yang datang menemuinya? Kenapa harus wanita itu yang menyuruhnya pulang? Dan kenapa harus wanita itu yang memohon dengan sangat padanya?
Jeanna pusing. Bahkan di saat ia sudah berdiri di depan kediaman Hadiningrat, kepala Jeanna masih sangat berisik.
Banyak sekali pikiran buruk yang bersarang dalam kepala Jeanna. Bahkan ia berpikir jika mungkin saja ibu tirinya itu memiliki niat buruk padanya dan beralasan dengan menggunakan nama sang ayah.
Jeanna hampir saja memilih untuk angkat kaki dari sana. Namun suara seseorang membuatnya berhenti dan fokus pada orang yang baru saja muncul di hadapannya.
“Akhirnya kau pulang juga.” seru orang tersebut, yang tak lain adalah Sinta—ibu tiri Jeanna. “Tante benar-benar bersyukur karena kau akhirnya memutuskan untuk kembali, Jeanna. Ayo, kita temui ayahmu di dalam!”
Belum sempat Jeanna menyahut, tangannya sudah lebih dulu ditarik oleh Sinta untuk segera masuk ke dalam.
Selama kakinya melangkah memasuki kediaman Hadiningrat, banyak memori indah yang mendadak bermunculan di dalam pikiran Jeanna. Bahkan Jeanna mengingat masa-masa dimana mendiang ibu kandungnya masih hidup. Berlari menuruni tangga karena mengejarnya yang suka bersikap jahil.
Jeanna masih ingat bagaimana ia berlari menuju kepada sang ayah yang tengah membaca koran di ruang tamu untuk meminta perlindungan. Sebuah memori kebahagiaan yang mungkin tak akan pernah Jeanna bisa ulang kembali.
“Bu Sinta—”
“Di mana Mas Seno?” tanya Sinta menyela lebih dulu, sebelum Bima bertanya. Sinta tahu jika Bima hendak melayangkan tanya soal Jeanna yang tiba-tiba ada di sini saat ini.
Sementara itu, Jeanna justru menatap Bima dengan tatapan yang biasa. Tidak tahu saja, jika Bima adalah orang yang disuruh oleh sang ayah untuk mengawasinya.
“Jawab, Bima! Kenapa jadi bengong? Mas Seno di mana? Bukannya tadi masih di ruang tengah?”
“Bapak ada di halaman belakang, Bu Sinta.” jawabnya. “Tapi, Pak Seno berpesan jika beliau tidak ingin di ganggu dulu saat ini.”
Sinta tak menyahut, dan memilih mengabaikan ucapan Bima barusan. Dia menarik tangan Jeanna dan mengajaknya untuk pergi menemui Seno di halaman belakang rumah.
Tidak peduli mau Seno berpesan tak mau diganggu sekalipun, Sinta akan tetap menerobosnya. Sinta yakin sekali jika sang suami tak akan mungkin marah, jika yang datang menemuinya adalah anak kandungnya sendiri.
Jeanna menghentikan langkahnya secara tiba-tiba, begitu mencapai ambang pintu belakang. Hal itu tentu saja membuat Sinta otomatis juga menghentikan langkahnya.
Dari tempatnya berdiri saat ini, Jeanna bisa melihat sang ayah tengah duduk di sebuah kursi roda. Duduk termenung sendirian di belakang rumah, dengan view taman buatan di sana.
Jeanna bisa melihat jika semuanya sama sekali tidak pernah berubah. Mungkin hanya ada beberapa bunga yang sedang tidak tumbuh. Tapi semua letaknya sama persis seperti terakhir kali dia angkat kaki dari rumah tersebut.
“Ayo, Jeanna!” seru Sinta yang menarik kembali tangan Jeanna.
Sebenarnya Jeanna menolak dan berusaha untuk menahan agar Sinta berhenti menariknya. Namun terlambat, sebab suara berisik mereka membuat Seno menoleh dengan cepat ke arah mereka.
Jantung Jeanna berdegup kencang. Rasanya bercampur padu, saat matanya bertemu dengan sepasang mata tajam milik sang ayah. Jeanna sampai menelan ludahnya berkali-kali, karena mendadak timbul rasa kecanggungan.
“Untuk apa kau pulang? Masih ingat rumah, kamu? Aku pikir sudah terlalu bahagia sampai lupa dengan orang tua sendiri.” sindir Seno tanpa menatap lawan bicaranya. Pria itu sudah mengalihkan wajah beberapa saat lalu.
Sinta mendorong pelan tubuh Jeanna untuk mendekat ke arah Seno. Beberapa kali memaksanya, sampai Jeanna akhirnya benar-benar mendekat.
“Siapa yang menyuruhmu pulang ke rumah? Kau pikir kehadiranmu di sini membuatku senang?”
Hati Jeanna bergetar. Kedua matanya sudah mulai berair, menahan tangis. Jeanna mengira sang ayah akan membuka tangan untuk menerimanya kembali pulang. Tapi ternyata apa yang dia harapkan tidak sesuai.
“Ayah—”
“Masih ingat kamu siapa aku?”
“Ayah—”
Seno menoleh, sedikit mendongak untuk menyatukan tatap dengan sang anak. “Masih tidak mengerti juga kau, Jeanna?”
Jeanna masih tidak mengerti. Hingga pada saat Seno merentangkan kedua tangannya, lolos juga tangis Jeanna. Puan itu benar-benar tak bisa menahan air matanya untuk tidak jatuh.
“Ayah...” Jeanna memeluk sang ayah dengan erat. Pelukan penuh kerinduan yang teramat besar. Bahkan Jeanna hampir saja lupa rasanya pelukan hangat dari seorang ayah. Rasanya benar-benar seperti mimpi di siang bolong.
“Dasar anak bodoh!” seru Seno sambil menepuk lengan Jeanna gemas dan kesal bercampur menjadi satu. “Bertahun-tahun tidak pulang! Tidak ingat ayah sama sekali! Menikah juga tidak memberitahu ayah!”
“Maaf, Jeanna pikir memang Ayah sudah tidak menyayangiku lagi. Kenapa waktu itu Ayah diam saja dan tidak mencegahku agar tidak pergi? Kenapa Ayah juga tidak menyuruhku untuk pulang ke rumah? Ayah diam saja selama ini.”
“Kau ini benar-benar bodoh!” sahut Seno menarik telinga Jeanna seperti anak kecil.
“Ayah...”
“Ayah tidak pernah menyuruhmu pulang bukan berarti ayah tidak sayang padamu. Ayah diam karena menghargai keputusan yang sudah kau ucapkan. Harusnya kau sebagai anak paham dan mau memaklumi kesalahan orang tua. Harusnya kau yang lebih dulu mengalah untuk pulang. Bukan menunggu sampai ayah yang menyuruhmu untuk pulang. Harusnya kau—”
“Maafkan Jeanna...” sela puan itu. “Maaf karena Jeanna sangat keras kepala saat itu. Maaf juga karena Jeanna tidak pernah mendengarkan ucapan Ayah sama sekali. Sekarang Jeanna benar-benar menyesal. Jeanna menyesal karena lebih memilih pergi dan menuruti ego Jeanna sendiri.”
Seno kembali menepuk lengan Jeanna karena gemas. “Harusnya kau pulang dan mengadu pada ayah jika kau tidak pernah merasakan bahagia dalam pernikahanmu itu. Harusnya kau bilang pada ayah kalau kau diperlakukan dengan buruk oleh suami dan ibu mertuamu. Bukan diam dan memendamnya sendiri.”
“Jeanna malu. Jeanna tidak mungkin tiba-tiba pulang dan mengadu pada Ayah setelah apa yang terjadi dulu. Jeanna banyak salah pada Ayah.”
“Mau sesalah-salahnya dirimu, kau tetaplah anakku. Anak ayah satu-satunya. Kau pikir aku akan diam saja saat kau mengadu kepadaku? Katakan sekarang, apa yang sudah mereka lakukan padamu?”
Jeanna belum mau menjawab. Dia terlalu syok dengan semua yang tengah terjadi. Dia baru percaya dengan ucapan sang ibu tiri mengenai sang ayah yang mengetahui perihal apa yang sedang menimpanya. Jeanna masih menangis terharu. Tidak menyangka jika sang ayah diam-diam memang mengawasinya sejak 6 tahun yang lalu hingga sekarang. Jeanna sampai tak bisa berkata-kata lagi.