Selepas kunjungan dokter, Mahesa hendak pamit untuk menjemput Indira. Siang ini, seperti yang sudah Indira dan Mahesa sepakati, mereka akan bertemu dengan bapak. Langkah Mahesa menuju lift apartemen Indira berhenti di lobi, saat dia mendengar namanya dipanggil.
“Mau jemput Indira?” tanya Papa.
“Iya, Om. Hari ini kami mau jenguk bapak.”
“Bisa kita bicara sebentar?”
Kening Mahesa mengerut mendengar ajakan Papa. Meski bingung dan sedikit takut, Mahesa mengangguk dan mengikuti langkah Papa menuju kafe yang ada di sebelah gedung apartemen.
Entah apa yang ingin dibicarakan Papa, tapi semenjak mereka duduk—15 menit yang lalu—Papa belum mengucapkan sepatah katapun. Keheningan ini, jelas membuat Mahesa jengah. Terlebih ponselnya yang terus bergetar, karena pesan masuk dari Indira yang sibuk memberikan saran apapun untuk Mahesa menghadapi Papa. Bukan bermaksud menjadi pengadu dan pengecut, tapi Mahesa belum terlalu kenal Papa, maka tidaklah menjadi salah jika dirinya meminta sedikit tips dari putri Papa, kan?
“Mahesa.” Papa yang pertama memecah keheningan.
Mahesa mendongak untuk menatap kedua netra Papa.
“Indira putri saya satu-satunya. Saya akan lakukan apapun untuk kebahagiaan Indira.”
Mahesa mengangguk paham.
“Entah apa yang terjadi antara Indira dan Adrian sampai mereka berpisah. Lalu kamu datang menawarkan diri sebagai pengganti Adrian.” Tangan Papa bergerak mencari pegangan cangkir kopinya. “Kamu tahu bagaimana Adrian?”
Mahesa menggeleng. Mahesa tidak tahu bagaimana sosok Adrian, dia juga tidak berminat untuk tahu lebih dalam tentang Adrian. Baginya, cukup sekedar tahu bahwa Adrian adalah mantan calon suami Indira yang kabur. Namun, Papa sepertinya ingin Mahesa lebih tahu tentang Adrian. Terbukti dari kalimat Papa selanjutnya yang menceritakan tentang siapa Adrian dan alasan mengapa Papa dan mama ingin sekali Indira menikah dengan Adrian.
Kenyataan tentang Adrian yang keluar dari mulut Papa, seketika membuat Mahesa merasa kecil. Mahesa bukanlah siapa-siapa jika dibandingkan Adrian yang seorang dokter dan sedang mengambil sekolah spesialisnya. Sedangkan dirinya, hanya seorang pria yang belum lulus kuliah. Kerja pun serabutan di kelab, banyak hutang, bahkan saat ini dia juga bekerja sebagai calon suami bayaran.
“Apa yang bisa kamu tawarkan pada saya untuk meminang Indira? Kamu tahu, cinta saja tidak cukup. Melihat kondisi kamu saat ini, saya tidak yakin pernikahan kalian akan bertahan lebih dari tiga bulan.” Papa menghela napas. “Saya tidak akan basa-basi sama kamu. Hal yang ingin saya tanyakan, setelah kalian menikah, apa kamu bisa mencukupi kebutuhan Indira?”
Mahesa terdiam. Dia tahu, jawaban yang benar untuk pertanyaan Papa adalah ‘tidak’. Bagaimana Mahesa akan menghidupi Indira setelah menikah? Bahkan dirinya saja mendapatkan gaji dari istrinya. Namun, lain di hati, lain pula di mulut Mahesa.
“Saya yakin, saya bisa membahagiakan Indira dengan cara saya, Om. Saya akan mencukupi seluruh kebutuhan Indira.”
Papa tersenyum. “Bisakah saya pegang omongan kamu?”
Mahesa ragu sesaat, tapi kemudian mengangguk pasti.
“Kemarin saat kamu ke rumah. Saya tidak ada pilihan lain selain menerima kamu sebagai calon yang dipilih Indira menggantikan Adrian. Melihat bagaimana Indira tersenyum, itu menjadi satu dari sekian banyak tentang Indira yang membuat saya bahagia.”
Mahesa menatap kedua manik mata Papa yang berbinar setiap kali menceritakan tentang putrinya. Binar yang sama, seperti yang ada di mata bapak saat menghadiri acara kelulusan Mahesa saat SMA, juga saat mengadakan syukuran atas diterimanya Mahesa di perguruan tinggi impiannya. Mahesa tidak pernah sanggup melihat binar itu lenyap dari bapak, begitupula dengan Papa. Seorang asing yang sebentar lagi tidak akan dipanggilnya om, melainkan papa untuk beberapa tahun ke depan yang penuh dengan sandiwara.
***
“Bapak enggak nyangka lho, kalau Mahesa ini punya pacar. Mana pacarnya cantik kayak Mbak Indira.”
Indira tersenyum mendengar pujian bapak. Sudah sekitar sepuluh menit Indira dan Mahesa sampai di rumah sakit, dan selama itu pula bapak tidak berhenti memuji Indira.
“Apalagi Mbak Indira artis, model terkenal. Kok mau sama anak saya, yang kuliah saja belum selesai. Kerjaan juga serabutan. Saya sebenarnya khawatir, nanti Mahesa tidak sanggup untuk menghidupi Mbak Indira. Apa kata orang tua Mbak Indira kalau tahu tentang Mahesa.”
“Bapak ngomong apa, sih? Rejeki itu bisa dicari, saya yakin Mahesa bisa bahagiain saya. Papa dan mama saya suka kok dengan Mahesa.”
Mahesa yang duduk di hadapan Indira tersenyum kecil. Tentu saja papa dan mama masih menyukainya, karena keduanya belum tahu siapa Mahesa sebenarnya. Mahesa yang bukan pemilik usaha rintisan, Mahesa yang hanya seorang mahasiswa dengan pekerjaan serabutan. Jika papa dan mama tahu yang sebenarnya, Mahesa—sudahlah, dirinya sendiri juga tidak bisa membayangkan apa yang bisa dilakukan papa pada dirinya. Hal yang bisa Mahesa lakukan sekarang hanya berdoa, semoga sandiwara ini tidak terbongkar sampai akhir.
“Makasih kamu enggak bohong sama bapak,” ujar Mahesa saat perjalanan pulang mengantar Indira.
“Hm.”
“Setelah bapak pulang dari rumah sakit, aku sama bapak akan langsung ke rumah kamu.”
“Buat?”
“Ngelamar kamu dengan benar. Tadi pas ketemu sama Om, beliau minta ketemu bapak. Makanya, sekalian aja nanti buat ngelamar kamu.”
“Papa nanya apa lagi sama lo?”
Baru saja Mahesa akan menjawab, Indira lebih dulu menepuk bahunya, memberi isyarat agar pria itu diam sejenak.
“Ya, Live? Astaga! Gue lupa! Oke, gue langsung ke sana.” Indira memutuskan sambungan ponselnya. “Eh, lo bisa anterin gue ke tempat pemotretan, enggak?”
Mahesa melirik arlojinya. “Di mana?”
“Di daerah selatan.”
Masih ada waktu untuk Mahesa mengantar Indira ke tempat kerjanya, sebelum dia pergi ke kelab. Mahesa mempercepat laju motornya menuju studio Indira.
“Mau langsung ke kelab?” tanya Indira saat mereka sudah sampai.
Mahesa mengangguk. “Nanti malam aku kabari, kapan pastinya bapak sama aku dateng ke rumah lagi buat ngelamar kamu.”
“Ok. Ati-ati, ya.”
Sepeninggalan Mahesa, Indira melangkah menuju studio. Di sana, Olive dengan muka masamnya menyambut Indira, dan secepat kilat menarik Indira menuju ruang ganti.
“Sori, gue lupa kalau hari ini ada pemotretan.”
“Abis darimana emangnya?”
“Ketemu camer.”
“Camer? Bapaknya Mahesa maksud lo?”
Indira mengangguk seraya membuka kancing kemejanya dan mengganti pakaiannya dengan gaun yang ada di tangan Olive.
“Lo beneran mau nikah sama dia?” desis Olive.
“Apaan sih, lo?! Dari kemarin juga gue udah bilang, kan? Mahesa juga udah ketemu papa sama mama, kok.”
“Om pasti enggak setuju, kan? Mana mau bokap lo ngelepas anak kesayangannya buat cowok enggak jelas kayak Mahesa.”
Indira menggerakkan telunjuknya, lalu menyapu bibirnya dengan lipstik. “Sebaliknya, papa malahan demen banget sama dia. Soalnya dapet tandem buat main catur.”
Olive menepuk keningnya. “Bokap lo itu, asalkan cowok yang lo bawa ke rumah bisa main catur, langsung aja dikasih lampu ijo.”
“Siapa bilang? Tadi Mahesa cerita kalau ketemu papa di lobi apartemen. Diinterogasi!”
“Terus?”
Indira mengangkat bahunya. “Mahesa enggak mau cerita. Katanya gue disuruh tenang aja. Soalnya keadaan aman terkendali.”
Setelah melakukan touch-up penampilannya, Indira segera menuju tempat pemotretan. Bergaya lebih dari 25 kali—mungkin—sebelum akhirnya dia dan sang Fotografer menyerukan kata setuju pada tiga hasil foto yang akan diajukan untuk klien mereka kali ini.
“Mau ke mana lo?” tanya Olive saat melihat Indira hendak pulang, selepas pemotretan.
“Pulang. Emang mau ngapain lagi?”
“Lo lupa juga kalau hari ini kita ada bachelorette party-nya Kinan?”
“Astaga! Gue lupa!” sesal Indira. “Gue enggak ikut, bisa enggak?”
“Mana bisa? Bisa ngamuk si Kinan! Kemarin bukannya lo yang paling semangat buat ngerayainnya.”
“Iya, sebelum Adrian ninggalin gue!”
Olive merangkul pundak Indira. “Justru itu, Dir! Kata Kinan, bakal banyak tamu. Termasuk model dari agensi sebelah, belum lagi kenalan artisnya Kinan. Siapa tahu, kan ada yang nyantol di lo.”
“Gue udah ada Mahesa.”
“Aelah! Banyak yang lebih dari Mahesa.”
“Yang lebih b***t juga banyak!” gerutu Indira.
“Ya udah, sekarang lo maunya gimana? Kinan pasti kecewa banget kalau lo enggak dateng.”
Setelah ditinggal pergi Adrian, Indira tidak memiliki mood untuk pergi ke pesta, apalagi yang menyangkut dengan pasangan. Pergi ke tempat di mana banyak pasangan berbahagia, serasa masuk ke tempat p********n. Lebih baik Indira ke kelab sendirian dan minum sampai mabuk untuk melupakan semua kegagalan percintaannya.
Namun, ini adalah Kinan. Teman seperjuangannya saat meniti karir sebagai model untuk pertama kalinya. Indira bertemu dengan Kinan saat keduanya mengikuti seleksi gadis sampul. Kinan adalah mentor Indira yang senantiasa berbagi ilmu dan pengalamannya di dunia seni, model, dan akting.
“Ya udah, deh,” putus Indira akhirnya. “Tapi palingan gue cuma bentar doang ya.”
“Iya, yang penting setor muka aja di Kinan. Yuk! Lo enggak bawa mobil, kan?”
Indira menggeleng, lalu mengekor Olive menuju parkiran gedung dan melaju menuju rumah Kinan.
***