“Lo habis ngapain sih sampai telat gini, Let?!” Tanya Nicholas tidak santai mereka baru saja keluar dari ruang kelas. “Bego banget sumpah.”
“Nggak usah ngebego-begoin bisa kali.” Arletta mengerucutkan bibirnya.
Nicholas menyipitkan mata, lalu menekan kedua pipi Arletta sampai bibir Arletta makin mengerucut maju. “Monyong-monyongin bibir lagi gue sosor nih bibir lo.”
“Pakai apa, Nic?” Bima—teman sekelas Nicholas dan Arletta langsung merangkul Nicholas dan membebaskan Arletta dari cengkraman serta bully-an Nicholas. “Pakai bibir apa pakai dedek lo yang dibawah?”
“Bangsat.” Nicholas tertawa, lalu melirik Arletta yang mencebikkan bibir dengan kesal sambil mengikuti langkahnya ke kantin.
Sampai tiba-tiba Rachel—teman dekat Arletta memukul kepala Nicholas dan Bima bergantian dengan binder tebal.
“Argh!” Erang Bima.
“Babi! Sakit, Chel!” Teriak Nicholas.
“Awas kalian ngomong sembarangan lagi ke Arletta!” Rachel melotot marah sambil merangkul Arletta. “Masih polos gini jangan kalian racunin sama pikiran dan kelakuan m***m kalian berdua yang bejatnya minta ampun!”
Nicholas terbahak sambil menarik kursi kantin, lalu duduk dihadapan Arletta. “Yaudah, tidur sama gue yuk biar gak polos lagi, Let.”
“Tidur doang apa gimana nih, Nic?” Bima ikut terkekeh.
“Ya masa harus gue jelasin. Gue bikin tidur lo enak deh sampai besoknya pules!”
“Hih! Gue siram lo pakai es teh sekalian nih!” Ungkap Rachel jengkel, matanya sampai melotot. “Jangan di dengerin, Let. Dimana-mana cewek yang tidur sama Nicholas itu endingnya nyesel.”
Nicholas sontak terbahak. “Dih, nyesel gimana? Minta lagi iya.”
“Anjay.” Bima sampai tertawa terpingkal-pingkal.
Dan entah kenapa pipi Arletta malah bersemu merah dan wajahnya terasa panas. Ia jadi teringat kejadian tadi malam dengan Adrian.
“Wajah lo merah kenapa?” tahu-tahu tangan Nicholas sudah ada di dahi-nya. Nicholas menatap Arletta khawatir. “Demam? Nggak panas tapi ah.”
“Enggakkk,” Arletta menjauhkan tangan Nicholas dari tangannya. “Gausah pegang-pegang Arletta. Nicholas nyebelin, wlek!” Arletta menjulurkan lidahnya.
“Halah,” Nicholas berdecak. “Awas aja lo nanti minta gue pegang-pegang.”
“Nggak bakal!”
“Sampai iya?”
“Eum, Arletta,” perdebatan Nicholas dan Arletta terhenti begitu seorang wanita cantik berdiri di meja mereka. Lalu tersenyum ramah ketika Arletta menatapnya. “Ini gue balikin flashdisk-nya, makasih buat bantuannya ya.”
“Eh iya, sama-sama Fraya.” Arletta mengambil flashdisk miliknya kembali.
Pada saat itu Arletta lihat kalau Nicholas jadi diam dan terlihat malas sambil menatap kearah lain. Sedangkan Fraya jelas sempat menatap Nicholas, tapi tatapannya berubah kecewa ketika Nicholas berpaling kearah lain dan seolah tak mau tahu.
“Gue duluan deh kalau gitu. Makasih sekali lagi ya, Letta.”
“Iya, santai aja. Daah!”
Seperginya Fraya, Bima langsung menghirup udara. “Gila, wangi banget, man! Gakuat gue, Nic.”
Nicholas hanya berdecak.
“Rambutnya wangi banget, parfumnya wangi. Dibuat salfok yang enggak-enggak terus gue sama dia.” Lanjut Bima.
“Dasar otak m***m!” Ejek Rachel. “Kaya nggak pernah ketemu cewek seksi aja.”
“Emang lo seksi, Chel?”
“Ehhh, kurang ajar!”
Arletta membiarkan Rachel berdebat dengan Bima. Pandangan Arletta beralih ke Nicholas, yang kini menatap Fraya dalam diam. Arletta jadi ikut menatap Fraya yang sedang berdiri di depan salah satu kedai dan berbincang dengan teman lelakinya.
Fraya mempunyai tubuh yang tinggi, putih, langsing. Tubuhnya molek dan wajahnya begitu mulus tanpa cela. Padahal Fraya tidak terlihat memakai banyak make-up. Rambut panjangnya dibiarkan tergerai dengan curly dibagian bawahnya yang berwarna ungu pastel, sedangkan rambut atasnya keseluruhan berwarna hitam.
Singkat kata, Fraya sangat fashionable, ramah dan seksi. Saat ini saja Fraya memakai rok selutut dengan atasan kemeja putih yang transparan dan tank-top hitam. Memperlihatkan lekuk tubuhnya dan buah d**a yang menonjol.
Jika dibandingkan Arletta, Fraya jauh lebih cantik dan menggoda.
“Udah, jangan dilihatin mulu.” Nicholas tahu-tahu mendorong dahinya, membuat Arletta mendesis kesal. “Masih cantikan lo daripada dia.”
Arletta hanya mengerjapkan matanya ketika dipuji seperti itu. “Tapi Fraya cantik banget.”
“Percuma cantik kalau dia jual tubuhnya.” Kata Nicholas.
Bima terkekeh, “Fraya itu simpenannya om-om.”
“Hah?” Arletta kaget sendiri. “Nggak usah bikin gossip yang gak bener.”
“Bener kok.” Rachel menyahut sambil mencomot pesanan kentang gorengnya yang baru datang. “Makannya jangan belajar mulu, Let. Ikut gossip sama kita-kita.”
“Kalian tahu darimana?”
“Gue pernah ketemu sama Fraya di club, pakai baju seksi dan lagi ciuman sama om-om.” Komentar Rachel. “Tapi om-om nya nggak jelek-jelek amat kok. Bule, tapi kelihatan sih udah berumur.”
Bima mengangguk. “Om-om nya itu bos nya bokap gue. Orang Australia yang punya bisnis property besar-besaran di Indonesia. Udah punya istri sama anak padahal disana.”
“Namanya juga simpenan.” Kali ini Nicholas yang berkomentar.
“Halah, halah, tapi lo juga pernah kok tidur sama dia.” Goda Bima.
“Iya Nic?”
Nicholas mengangkat alisnya ketika Arletta kelihatan ingin tahu. “Iya, kenapa? cemburu?”
“Enggak!”
“Fraya udah punya om-om juga masih mau gue ajak tidur. Emang dasarnya p*****r sih.”
“Astaga mulut lo tuh!” Rachel sampai geram sendiri, Nicholas memang sering ceplas-ceplos.
“Tapi dari simpenan om-om dia bisa beli rumah, mobil, baju, perhiasan, hidup mewah. Terjamin deh daripada jadi cewek gue.” Nicholas terkekeh, lalu melirik Arletta yang hanya diam saja. “Lo mau nggak Let jadi simpenan om-om? Kaya lo ntar.”
Arletta hanya diam saja dan menarik helaian rambutnya kebelakang telinga. Jangan sampai Nicholas tahu kalau Arletta sudah bercinta dengan Om Adrian.
***
Begitu melewati taman yang ada di depan Gedung fakultasnya, Arletta mempercepat langkahnya ketika melihat mobil milik Adrian berhenti menunggunya. Begitu Arletta membuka pintu dan duduk di kursinya, Adrian langsung memajukan tubuhnya dan mengecup pipi Arletta.
“Om!” Arletta dengan cepat menutup pintu mobil, lalu melihat ke sekitar. “Kalau nanti ada yang lihat gimana?”
“Siapa?” Adrian terkekeh, lalu mengusap pipi Arletta dan mengecup pipinya lagi. Lalu berbisik pelan. “Om sudah lihatin kamu dari jalan tadi. Kamu cantik.”
“Om Adrian,” Arletta memalingkan muka, terlihat tidak mau dicium. “Nicholas masih di kampus. Nanti kalau dia lihat gimana? Udah, buruan aja jalan. Tadi Arletta bilang ke dia mau pulang naik taksi online.”
Adrian mengabaikan ucapan Arletta. Kedua telapak tangannya menangkup pipi Arletta dan menyentuhkan bibirnya ke bibir Arletta yang menggoda. Adrian tidak bertele-tele dan langsung melumat bibir Arletta yang ternyata sangat ia rindukan.
Awalnya Arletta terkejut dan meremas kemeja Adrian, tapi akhirnya ia memejamkan matanya dan membalas ciuman Adrian. Lalu melenguh ketika Adrian menelusupkan lidahnya ke mulut Arletta—memperdalam ciuman keduanya dan tangan Adrian meremas p******a kanannya dengan gemas.
“Ommhh, udah.” Arletta mendorong Adrian dengan pelan. “Jangan disini, plis.”
“Om nggak pernah tahan sama kamu.” Adrian mengusap muka frustasi, lalu memasangkan seatbelt Arletta dan kembali menjalankan mobilnya. “Nicholas juga kurang ajar. Bukannya nganterin kamu pulang, malah nganterin pacarnya pulang.”
“Om Adrian sibuk banget ya?” tanya Arletta. “Maaf ya kalau Arletta minta jemput.”
“Gapapa. Kerjaan juga pas udah lagi selesai.” Adrian lalu melirik Arletta dan menggenggam tangannya, lalu mengecup punggung tangan Arletta yang wangi.
Diam-diam Adrian senang akan atmosfer ini. Rasanya seperti kembali muda. Menjemput kekasihnya, berciuman di mobil dengan gadis muda yang cantik, mencium tangan lembut dan harus milik Arletta dan melihat Arletta tersipu manis.
Adrian tidak akan pernah bisa melakukan hal ini dengan Vivi. Mereka hanya berciuman jika hendak bercinta, atau berciuman singkat saat hendak berangkat kerja. Vivi wanita yang mandiri dan mempunyai jam kerja sibuk, lebih memilih ke kantor bersama supirnya daripada diantar-jemput oleh Adrian.
Adrian juga tak mungkin menggenggam tangan Vivi di jalan ketika di mobil, lalu mengecupinya seperti ini. Karena mereka berdua sudah diusia matang dan geli jika melakukan hal itu sendiri. Tapi rasanya dengan Arletta begitu berbeda, membuat d**a Adrian berdebar-debar sendiri.
“Kamu sudah makan, Arletta?”
“Sudah. Om Adrian?”
“Belum.” Adrian menggelengkan kepalanya. “Temani om makan. Mau?”
“Boleh.” Arletta mengangguk semangat dan lagi-lagi Adrian dibuat gemas oleh tingkahnya. Kalau dengan Vivi, istrinya itu akan memilih makan di rumah dan memasakannya makanan. “Om Adrian suka makan apa?”
“Hm… apa ya? Semua makanan suka deh kayaknya.”
Arletta tertawa. “Masa nggak ada makanan favorit?”
“Apa?” Adrian jadi bingung sendiri. “Nggak ada, beneran. Semua makanan yang enak dan bisa dimakan ya aku makan.”
“Ah, Om Adrian nggak asik.” Arletta mencebikkan bibir, lalu tertawa ketika Adrian juga tertawa.
“Memangnya makanan kesukaanmu apa?”
“Makanan korea. Jjangmyeon, kimbab, kimchi, bibimbap, gogigui, tteok, toppoki, semua suka deh pokoknya!” Mata Arletta sampai berbinar senang. “Om Adrian suka juga nggak.”
“Suka. Mau kesana?”
“Mau!!!”
Adrian tertawa, lalu mengacak rambut Arletta. “Khas anak muda banget kamu, ya. Kalau Vivi nggak suka masakan korea. Sukanya masakan nusantara.”
Mobil yang dikendarai Adrian kemudian masuk ke Gedung parkir sebuah mall. Adrian sebenarnya kesal karena mall ini terlihat ramai sekali di sore menjelang malam hari ini. Adrian sampai parkir di lantai paling atas dan terhimpit banyak mobil lainnya.
Setelah petugas parkir selesai memarkirkan mobilnya, Adrian mematikan mesin mobilnya. Membuat sunyi dan gelap yang langsung menyerbu di dalam mobil.
“Om Adrian, nanti dulu turunnya.” Arletta tiba-tiba menahan tangan Adrian yang hendak menutup pintu mobil.
“Kenap—“ ucapan Adrian terputus ketika Arletta menempelkan bibirnya pada bibir Adrian dan memberinya ciuman.
Adrian awalnya heran, tapi ia mengikuti keinginan Arletta dan membalas ciumannya.
Tangan Arletta melingkari tengkuk Adrian, kemudian jemarinya naik keatas dan meremas-remas rambut belakang Adrian seiring lumatan ciuman mereka yang makin dalam.
Bukan tanpa alasan Arletta mencium Adrian. Hanya saja, Arletta merasa tidak nyaman jika Adrian membandingkannya dengan Vivi. Arletta jelas berbeda dengan tante Vivi, dan Arletta tidak suka dibandingkan. Arletta tidak suka Adrian membahas Vivi ketika sedang bersamanya.
Tangan Adrian mulai mengarah ke kemeja Arletta, membuka kancingnya satu persatu dan kemudian tangan Adrian menelusup masuk, melepaskan kaitan bra Arletta. Hingga Arletta kemudian merasa kaitannya berhasil terlepas, payudaranya jatuh dan tangan Adrian segera meraupnya dan meremasnya.
Arletta menjilat bibir bawahnya dan menyenderkan punggungnya ke pintu ketika tubuh Adrian maju. Arletta memiringkan lehernya, memberi akses Adrian mengecupi lehernya. Menjilatnya, menggigit kecil dan menghisap sebentar lalu mengecupinya lagi.
“Ahh,” Arletta mulai mendesah ketika Adrian menghisap lehernya dan mencubit putingnya secara bersamaan.
Ciuman Adrian turun ke belahan d**a Arletta. Adrian mengangkat bra Arletta, membuatnya disuguhi pemandangan p******a montok Arletta yang putingnya menggoda. Adrian menggenggam p******a kanan Arletta, meremasnya dan memasukkan kedalam mulut. Menghisap p******a Arletta dengan nikmat sampai Arletta mendesah-desah.
Adrian sampai memejamkan matanya ketika tangan kirinya meremas-remas p******a Arletta. Ia menikmati mengulum p******a Arletta yang terasa kenyal dan lembut di mulutnya. Adrian melepaskan kulumannya, berganti mengulum p******a kiri hingga puas dan Arletta mendesah keenakan.
Tangan kiri Adrian turun ke celana jeans Arletta. Adrian menyentuh titik sensitive Arletta, menekannya disana dan mengoyaknya dengan gerakan memutar. Membuat tubuh Arletta tersentak.
“Ah! Eumhhh…” kepala Arletta benar-benar pening saat Adrian menghisap putingnya bagai bayi yang kehausan dan tangannya bergerak sensual di kewanitaan Arletta.
Di sela-sela kenikmatan mereka berdua, telepon Adrian berdering dengan keras. Mengejutkan keduanya. Adrian segera melepaskan diri, membiarkan Arletta yang terkapar dengan sorot mata memohon. Namun Adrian mengabaikannya sejenak karena Vivi menelepon.
Adrian berdeham, dia menyisir rambutnya dengan jemari dan mengangkat telepon. “Hai, sayang.”
Arletta kecewa. Ia menghela napas dan kemudian duduk di posisinya semula.
“Aku habis jemput Arletta di kampus.” Adrian melirik Arletta yang sedang mengaitkan kaitan bra-nya kembali, lalu membetulkan kancing kemejanya. “Iya, harusnya Nicholas. Tapi anakmu itu malah memilih pergi sama pacarnya daripada jemput Arletta. Hah? Enggak, aku nggak repot kok. Kerjaan juga sudah selesai.”
Adrian menatap Arletta lagi, wanita itu kini sedang berkaca dan membenarkan tatanan rambutnya. Adrian tahu kalau Arletta kesal, terlihat dari wajahnya.
“Hmm,” Adrian terlihat berpikir. “Maaf aku nggak jawab telepon tadi malam. Aku capek, tidur lebih awal.”
Adrian berbohong. Ia tidur dengan Arletta, bercinta dan menjadi lelaki pertama bagi Arletta yang luar biasa.
“Nanti aku telepon lagi, ya?” Adrian segera buru-buru ketika melihat Arletta lebih dulu turun dari mobil. “Nanti malam aku telepon lagi. Kamu jaga kesehatan disana. Oke, love you too, Ma.”
“Arletta!” Adrian buru-buru turun dari mobil dan berlari kecil menyusul langkah cepat Arletta. Kemudian ia meraih tangan Arletta.
“Nggak usah pegang-pegang.” Arletta menyentakkan tangannya dari Adrian.
“Kamu kenapa sih?” Adrian berjalan disamping Arletta. Dia jadi bingung sendiri.
“Om pikir aja sendiri.”
Adrian menghela napas, ternyata begini menghadapi remaja yang beranjak dewasa. Arletta benar-benar nggak jauh beda dari Nicholas.
Arletta kesal, sedang enak-enaknya tapi Adrian menghentikannya. Malah mengutamakan mengangkat telepon dari Vivi. Masalah telepon, nanti kan bisa telepon lagi.
“Kamu seharusnya nggak berhak marah. Kamu harus paham, bagaimanapun Tante Vivi itu tetap istri om. Om harus angkat teleponnya daripada nggak diangkat dan dia curiga? Tantemu itu curigaan banget.” Adrian berusaha memberi penjelasan. “Om memprioritaskan Tante Vivi juga biar hubungan kita nggak ketahuan. Kamu mau ketahuan kalau kamu jadi baby-nya daddy?”
“Ih! Om Adrian!” Arletta mencubit pinggang Adrian, membuat Adrian tertawa lalu merangkul pundak Arletta.
“Jangan ngambek gitu ah, nanti kita bisa ngelakuin lagi di tempat yang lebih baik selain di mobil.” Adrian lalu melambatkan langkahnya ketika mereka berdua berada di depan toko lingerie.
Dengan cepat Adrian menarik langkah Arletta dan membawanya masuk ke toko lingerie. Pipi Arletta seketika memanas ketika melihat banyak pakaian dalam seksi disini.
“Kamu boleh ambil dan beli apapun yang kamu mau disini.” Bisik Adrian ketika berdiri di belakang Arletta. “Beli apapun yang bisa buat kamu tampil cantik dan seksi di depan aku.”
Arletta hanya diam saja, tapi melirik lingerie berenda yang terlihat cantik dan seksi di sebelah kanannya.
Adrian lalu berbisik lagi. “Atau, mau beli s*x toy juga Arletta? Om ajarin kamu cara mainnya.”