Bab 7. Menangis Tidak Akan Menyelesaikan Masalah 2

1096 Kata
# Ethan seperti biasa mengantarkan Noah ke sekolah. Dia tidak pernah membiarkan hanya sopir yang mengantarkan Noah setiap hari. Sebisa mungkin, Ethan akan mengantarkan Noah ke sekolah sendiri kecuali dia memang memiliki urusan yang penting dan mengharuskannya untuk melakukan perjalanan ke luar kota maupun ke luar negeri dan tidak bisa mengantarkan Noah ke sekolah secara langsung, barulah dia membiarkan sopir yang mengantar Noah. Noah baru saja turun dari mobil saat dia melihat Prisha yang datang dengan mengendarai sepeda motor miliknya. “Tante Sha!” panggilnya senang. Prisha yang baru saja memarkirkan motornya di tempat yang tidak jauh dari tempat Noah dan Ethan berada mendadak menengok ke arah namanya dipanggil. Dia tersenyum dan melambaikan tangan ke arah Noah. Ethan sendiri hanya menatap guru anaknya itu dari kejauhan dengan tatapan datar. “Noah, kau ingat apa yang kita bicarakan kemarin? Kau tidak boleh memanggil dengan sebutan Tante. Kau harus memanggilnya dengan panggilan, Bu Guru atau Bu Guru Sha,” ujar Ethan mengoreksi panggilan Noah pada Prisha. Namun Noah hanya mengangguk sekilas sebelum akhirnya menarik tangan ayahnya ke tempat Prisha berada. “Selamat pagi Bu Guru Sha,” sapa Noah dengan ceria. Prisha menatap Noah dengan tatapan lembut dan hangat. “Selamat pagi Noah. Sudah siap dengan semua hal seru yang akan kau lakukan hari ini?” tanya Prisha. Namun Noah yang tadinya ceria mendadak menatap Prisha dengan tatapan serius. “Bu Guru kenapa gelap lagi?” tanya Noah. “Hah? Gelap?” Prisha mengangkat wajahnya menatap langit yang terlihat cerah. Dia mengira kalau Noah bertanya tentang cuaca hari itu. “Maksud Noah raut wajahmu yang terlihat gelap. Putraku sedikit sensitif dan bisa membedakan antara orang yang benar-benar sedang berbahagia dan orang yang hanya berpura-pura bahagia,” ujar Ethan menjelaskan maksud dari pertanyaan Noah. Dia yang sudah terbiasa mendengar Noah mengatakan kalau dirinya terlihat gelap saat sedang bersedih tentu saja bisa dengan mudah mengetahui maksud dari ucapan Noah yang terkadang sulit dimengerti oleh orang lain. Setelah diamatinya lagi, wajah dari guru anaknya itu memang tidak terlihat segar hari ini. Dia tampak pucat dan matanya sedikit bengkak serta sembab meskipun itu semua tersembunyi dengan baik di balik riasan tipis dan kacamata yang menghiasi wajah guru TK tersebut. Prisha menatap Ethan sekilas. “Saya tidak sedang berpura-pura bahagia. Hanya saja semalam saya memang begadang hingga larut sehingga mata saya mungkin terlihat sembab dan bengkak,” ujar Prisha saat mendengar ucapan Ethan yang sinis. Entah kenapa dia merasa kalau pria yang sebenarnya adalah ayah dari anak muridnya itu seakan tengah menuduh dan menghakiminya. Bahkan meskipun hal itu benar, meskipun dia memang berpura-pura bahagia selama ini, dia tidak ingin orang lain menghakiminya. Dia merasa sangat tidak nyaman dengan Ethan sejak hari pertama mereka bertemu. Di sisi lain, Ethan menatap Prisha dengan tatapan tidak terima. Dia merasa seakan Prisha menuduhnya hanya karena dia menjelaskan tentang maksud dari perkataan putranya sendiri. “Bukannya aku bermaksud menuduhmu pura-pura bahagia, maksudku itulah yang dimaksud oleh putraku. Dia bukan sedang berbicara tentang cuaca dan sejujurnya kau tidak perlu menjelaskan apa-apa kepadaku tentang hidupmu. Aku sama sekali tidak peduli. Itu bukan urusanku kecuali itu berkaitan dengan pendidikan anakku,” ujar Ethan kesal. Wanita di depannya selalu saja membuatnya merasa kesal, terutama dengan cara Prisha menatapnya yang selalu saja dingin. Namun dengan penjelasan Ethan yang terkesan kasar dan keras itu, wajah Prisha malah terlihat lega. “Maafkan saya Pak. Sepertinya saya yang salah paham. Terima kasih untuk penjelasannya, saya akan berusaha lebih keras sebagai guru Noah untuk bisa lebih memahaminya,” balas Prisha. Noah kemudian melepaskan tangan ayahnya dan meraih tangan Prisha. “Bu Guru, tadi malam petirnya seram. Petirnya membuat sedih. Bu Guru menangis karena petirnya membuat sedih ya?” tanya Noah sambil mendongak menatap Prisha. Dia menatap gurunya tersebut dengan wajah sendu dan menggenggam tangan Prisha semakin erat. Namun kata-kata Noah membuat Prisha membeku selama beberapa saat. Ethan menarik napas panjang mendengar ucapan putranya yang terkesan sok tahu. “Noah, Bu Guru itu orang dewasa. Bu Guru tidak sepertimu yang semalam menangis cuma karena mendengar suara petir,” ucap Ethan. “Tapi petirnya pasti membuat Bu Guru sedih! Aku benci petir.” Noah bersikeras. Prisha kemudian berlutut di depan Noah menyamakan tingginya dengan anak itu. Dia akhirnya mengerti kalau Noah hanya ingin mengungkapkan rasa takutnya pada petir. Sangat tidak mungkin Noah akan mengetahui apa yang dirasakannya dan kenangan buruk yang belum bisa dia atasi setiap kali harus sendirian di malam saat hujan deras turun disertai petir. Kenangan terakhir tentang putranya yang sudah tidak ada lagi di dunia ini. “Kau benar, petir memang menyeramkan dan membuat perasaan menjadi takut serta sedih. Tapi tidak apa-apa karena kita akan bisa mengatasinya suatu saat nanti. Bu Guru juga sejujurnya takut dan sedih dengan suara petir tapi tidak apa-apa. Manusia memang seperti itu. Suatu saat dirimu dan juga Bu Guru akan menemukan cara untuk tidak takut lagi,” ucap Prisha lembut. Noah menatap mata Prisha lekat-lekat. “Benar?” tanyanya. Prisha mengangguk pelan. “Tentu saja,” balas Prisha. Ethan yang menyaksikan bagaimana Prisha yang bisa begitu mudah mengubah sikap serta tatapannya di hadapan Noah menjadi begitu hangat membuatnya merasa takjub dengan kemampuan wanita itu. Baru kali ini dia bertemu dengan orang yang terasa begitu dingin terhadap orang lain namun bisa begitu lembut dan hangat di hadapan seorang anak kecil. Prisha kemudian bangkit dari posisinya yang semula berlutut di hadapan Noah. “Kalau begitu Pak, saya permisi dulu karena sebentar lagi kelas akan dimulai,” ujar Prisha pada Ethan. Ethan mengangguk pelan. Dia kemudian beralih menatap putranya. “Belajar yang rajin dan menurutlah pada Bu Guru ya. Kalau Papa tidak bisa menjemputmu, maka sopir yang akan menjemputmu,” ujar Ethan. “Iya Papa,” jawab Noah menanggapi ayahnya. Ethan kemudian beralih pada Prisha. “Bu Guru Prisha, aku titip putraku,” lanjut Ethan. Prisha hanya mengangguk pelan. Dia kemudian menggandeng Noah dan berlalu dari hadapan Ethan. Ethan hanya memperhatikan sosok Prisha dan putranya, Noah hingga menghilang di balik pintu gerbang sekolah. Saat itu sebuah pesan masuk ke ponsel Ethan dari orang yang dia minta untuk menyelidiki tentang Prisha. “Pak, saya sudah mengumpulkan semua informasi tentang Prisha Awahita dan saya sudah meminta sekretaris Anda untuk meletakkannya di meja ruang kerja Bapak.” Ethan tersenyum saat melihat pesan dari Ron. Selama ini Ron memang orang yang paling bisa dia andalkan. Padahal baru saja semalam dia memberi perintah dan sekarang informasinya sudah tersedia. Sebenarnya Ethan hanya ingin memastikan saja kalau Prisha benar-benar tidak memiliki niat tertentu pada putranya tersebut sekaligus memastikan kalau Prisha sama sekali tidak memiliki hubungan dengan mantan istrinya, ibu kandung Noah yang selama ini selalu saja merongrong kehidupannya dan putranya Noah.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN