Usai acara pernikahan Daren dan Nay tadi siang, sekarang tentu saja hanya menyisakan keluarga besar mereka yang masih tinggal di resort. Villa megah di atas tebing itu tampak masih ramai bukan main, karena mereka kumpul setelah selesai makan malam bersama. Para orang tua mengobrol di dalam, sedang Ezra dan para sahabatnya di teras depan bersama para sepupu.
Terakhir mereka kumpul di sana saat Dirga melamar Key, sepupunya Hera. Tapi, ketika itu Daren, Deva maupun Ezra belum kenal dengan mereka. Kalau Ezra dan Hera terpaut sebelas tahun, maka Dirga dan Key malah beda dua puluh tahun. Keduanya sama-sama duda rasa perjaka. Tapi, jangan salah! Dirga adik Ibra itu tak kalah bucin, meski telah dikaruniai anak kembar tiga yang sudah berumur dua tahun lebih.
Dari enam sekawan Liam, Cello, Daren, Vian, Deva dan Ezra, semua sudah menikah dan punya anak kecuali Ezra. Deva yang baru beberapa minggu lalu menikah, istrinya juga sedang ngidam. Jadi jangan tanya seantusias apa mereka mengompori Ezra untuk segera melamar Hera.
“Mau kemana?” tanya Ezra begitu Hera meletakkan gitarnya dan beranjak bangun.
“Toilet,” sahut Hera beranjak pergi.
Daren sampai mendecih. Makin kesini Ezra posesifnya tidak ketulungan. Padahal tadinya juga biasa saja. Malah keduanya kompak bungkam, sama sekali tidak pernah bisa dikorek apapun perihal hubungan mereka. Namun, lihat sekarang sebucin apa Ezra ke Hera!
“Posesif boleh, tapi nggak gitu juga kali, Zra! Seharian kamu gandeng terus. Bucin atau karena ada Langit disini?” cibir Daren.
“Si om ternyata masih insecure ke mantan gebetan Hera!” timpal Deva cekikikan.
“Kan sudah kita kasih saran! Mumpung keluarga besar masih disini, besok langsung panggil penghulu. Keluarga Oneng sudah buka pintu lebar-lebar, terus apalagi yang kamu tunggu?” kata Vian menepuk-nepuk baby Orion yang ngempeng di pangkuannya mau tidur.
Ezra hanya diam menyandarkan punggungnya santai, menonton para sepupu mereka yang sedang gaduh cekikikan di samping kolam renang. Sampai kemudian matanya mendapati Langit juga beranjak menyusul Hera.
“Sekali ini saja, tolong beri Langit waktu untuk bicara sebentar dengan Hera, Zra! Mungkin dengan begitu bisa membantunya untuk lebih cepat move on. Ya?” ucap Cello mencekal lengan Ezra yang sudah mau bangun dari duduknya.
Mereka yang tadinya cekikikan mengejek Ezra langsung terdiam. Sudah setahun lebih setelah kisruh drama patah hati Hera ditolak cintanya oleh Langit, anak sulung Ibra. Dan sekarang ketika Hera sudah move on, justru Langit yang belum selesai dengan penyesalannya.
“Kalian sudah mau menikah. Masa masih tidak percaya ke Hera? Kamu yang selama ini selalu ada untuknya saat terluka. Yakin, balasannya akan lebih dari yang kamu bayangkan!” sahut Liam.
Menghela nafas kasar. Mau tidak mau meski tidak senang, Ezra pun kembali duduk dengan muka masamnya. Tangannya yang masuk ke saku jaket mengusap cincin untuk Hera. Iya, sepertinya dia memang tidak bisa menunggu lebih lama lagi untuk menikahinya.
“Ra …”
Hera yang baru keluar dari toilet terjengkit kaget, mendapati saudara kembar bestienya itu berdiri tak jauh dari pintu toilet. Dia, Langit Putra Abraham. Pria yang sejak dari bayi sudah bersahabat dengannya. Dia juga cinta pertamanya, sekaligus orang yang telah menoreh luka paling menyakitkan di hatinya.
“Mau ke toilet?” tanyanya canggung.
“Nggak, mau bicara sama kamu. Boleh minta waktu sebentar?” tanya Langit kalem.
“Bicara apa?” Hera mulai terlihat tidak nyaman. Matanya tak membalas tatapan pria yang pernah bertahun-tahun dia perjuangkan itu.
“Apa kamu masih sebenci itu ke aku? Sampai sedikit waktu saja tidak mau kamu berikan untukku,” kata pemuda ganteng berwajah mirip Ibra itu. Bedanya Langit kalem, sedang papanya berwajah dingin sangar.
Menghela nafas panjang, Hera merogoh ponselnya dan mengetik pesan untuk Ezra. Hanya sekedar memberitahu dia bicara dengan Langit dulu. Daripada nanti ketahuan dan si om ngambek salah paham.
“Aku bicara sebentar dengan Langit ya, Om? Kami di teras samping. Hanya sebentar kok!”
Setelah pesannya terkirim, Hera mengedikkan dagu ke arah pintu, mengajak mantan gebetannya itu ke teras. Dulu mereka biasa mengobrol dan tertawa bersama. Main game, basket, keluar nonton dan juga nongkrong bareng Jingga juga sepupu lainnya. Namun, sikap Langit berubah drastis jadi ketus dan sering menyindir dengan kata-kata menyakitkan setiap kali ada dirinya.
Persahabatan keluarga mereka sudah turun temurun hingga ke mereka. Hera juga tidak tahu sejak kapan mulai menaruh perasaan ke pria ganteng, kalem dan tidak pecicilan seperti dirinya itu. Yang jelas saking cintanya ke Langit, Hera sampai melakukan segala cara dan memberi perhatian lebih supaya bisa terlihat. Selalu jadi yang pertama di detik awal mengucapkan selamat ulang tahun. Sibuk mencari hadiah, bahkan beberapa minggu sebelum Langit ulang tahun. Mengingatkan makan obat saat dia sakit, atau bahkan rela menunggu dia selesai les saat hari hujan demi memberinya mantel.
Sayang, semua itu tak pernah dianggap. Malah dibalas dengan sindiran dan perlakuan tidak mengenakkan. Sampai-sampai sekedar datang ke rumah keluarga Abraham pun dia tidak mau, padahal sejak kecil sudah seperti rumahnya sendiri. Hanya karena tidak kuat menahan sakit hatinya menghadapi perlakuan Langit yang sinis, tanpa Hera tahu apa kesalahannya.
“Mau bicara apa?” tanyanya setelah duduk di bangki tepi kolam ikan.
“Kamu masih marah padaku?” tanya Langit yang juga duduk di sebelahnya.
“Nggak. Buat apa marah?” Hera menggeleng meraih botol makanan ikan, lalu melempar sebutiran demi sebutir ke kolam.
“Tapi, kamu masih terus menghindar dariku. Sekali lagi aku minta maaf untuk kesalahanku dulu, Ra!” Langit menoleh. Menatap sedih gadis cantik yang kini sayangnya sudah terlanjur membencinya itu.
Iya, karena kebodohannya mengambil keputusan, malah membuatnya tak hanya kehilangan Hera, tapi juga menyakiti hatinya. Rencana keberangkatannya kuliah ke London setahun silam, membuatnya pilih menghindar dari Hera yang terang-terangan menunjukkan punya hati untuknya. Bukan dia tidak cinta! Langit juga sayang banget ke Hera. Cuma dia tidak siap menjalani hubungan jarak jauh.
Maksudnya ingin fokus dulu kuliah. Setelah balik ke Indonesia dia akan mengajak Hera menjalin hubungan serius. Kalau perlu tidak usah pacaran, mereka langsung nikah. Tapi, ternyata sikapnya kelewatan hingga menyakiti hati gadis ini. Bahkan, Hera sampai kecelakaan gara-gara balapan ketika sedang dalam kondisi marah. Kebodohannya yang kemudian justru membuat Hera jatuh ke pelukan pria itu.
“Langit, bisakah kita tidak lagi membahas soal itu? Aku tidak marah, tapi tidak ingin mengingatnya lagi. Kalaupun menurutmu aku terkesan menghindar, itu karena ada hati yang harus aku jaga. Mungkin nanti pelan-pelan kita akan biasa lagi seperti dulu,” jawab Hera tersenyum menoleh membalas tatapan Langit.
“Apa kamu yakin dengan pilihanmu sekarang? Tidakkah ingin mempertimbangkan ikut aku kuliah ke London?” lontar Langit yang masih belum sanggup menyerah kalah. Sayangnya Hera menggeleng.
“Kamu sendiri tahu aku tidak begitu suka sekolah. Ke London jelas otakku tidak akan mampu. Seperti Jingga, aku akan kuliah disini saja,” ucapnya begitu yakin dengan pilihannya
“Apa karena Bang Ezra? Aku dengar keluargamu sudah memintanya untuk meminangmu. Kamu sendiri apakah juga ingin menikah di usia yang begitu muda?” tanya Langit.
“Hm,” angguk Hera seketika membuat dadaa Langit mencelos sakit.
“Sepertinya aku juga tidak bisa jauh dari dia. Terlanjur terbiasa dengan kehadirannya.”
Helaan nafas Langit terdengar jelas di telinga Hera. Bukan maksud hati dia ingin menyakitinya. Tapi, Hera juga harus mempertegas posisinya sekarang yang tidak mungkin menerima pria lain. Cintanya sudah habis ke si om.
“Ra! Heraaaa!” panggil Langit dengan suara paraunya.
Kali ini Hera tidak menyahut. Dia diam menatap ikan-ikan di kolam depannya. Sesakit apapun dulu Langit melukai hatinya, Hera tidak pernah membencinya, karena dia mengerti perasaan tidak bisa dipaksa. Cuma Hera tidak bisa menerima cara Langit yang pilih menyakitinya, daripada bicara baik-baik. Memperlakukannya seperti gadis tidak tahu diri yang keberadaannya membuat Langit risih. Itu membuatnya merasa terhina daripada terang-terangan ditolak.
“Orang lain melakukan kesalahan masih berhak mendapat kesempatan kedua untuk memperbaikinya. Kenapa aku tidak, Ra? Bahkan sudah sejak dulu aku memintanya darimu. Itu tidak adil!” ucap Langit.
“Iya, orang lain mendapatkan kesempatan kedua, sedang aku memberimu kesempatan yang tak terhitung jumlahnya selama beberapa tahun terakhir. Entah kamu yang pura-pura tidak tahu atau memang tidak sadar sudah menyakitiku. Sekarang semua tidak penting lagi untuk dibahas, karena aku sudah selesai dengan masa laluku,” sahut Hera menunduk mencengkeram botol pakan ikan di tangannya itu. Matanya memburam panas.
Tidak, dia tidak akan menangisi Langit lagi. Sudah cukup dulu dia menyiksa dirinya sendiri, dengan kelakuan bodohnya memperjuangkan pria yang bahkan menganggapnya seperti benalu. Itu benar-benar menyakitkan.
“Ra ….”
“Kamu pria baik, Langit. Pasti banyak gadis yang lebih pantas jadi pendampingmu.”
“Tapi, aku maunya kamu, Ra!” seru Langit keras. Sedang Hera menanggapinya dengan menggeleng.
“Dunia kita bahkan berseberangan. Itu yang kemudian membuatku sadar diri tidak lagi mengejarmu dulu. Langit yang anteng, kalem, ganteng dan penuh prestasi. Bagaimana mungkin sudi melirikku. Gadis bengal yang tahunya hanya tawuran dan balapan liar.” Hera terkekeh mengingat masa itu.
“Nggak! Aku sama sekali tidak pernah berpikir begitu. Mana mungkin! Aku juga cinta kamu, Ra. Tapi, melihat sesulit apa Bang Cello dan Kak Letta menjalani LDR bertahun-tahun, aku ragu bisa sekuat itu. Maksudku kita fokus dulu buat ….”
“Cukup! Jangan dibahas lagi! Semua sudah selesai! Please, Langit!” sela Hera memohon, tidak ingin mengungkit lagi cerita yang baginya telah usai.
“Kamu bahagia sama dia. Terus aku gimana, Ra? Tega, kamu! Setahun ini di sana aku juga mati-matian menahan sesal dan sakit hati. Berharap kamu berubah pikiran, tapi kenapa malah ujung-ujungnya beneran mau menikah sama dia?! Jangan, Ra!” teriak Langit mulai hilang kendali.
Hera mengusap wajahnya kasar. Sialnya air mata tetap saja meleleh tanpa tertahan. Bukan, bukan begini akhir yang dia mau. Dia berharap Langit juga bisa move on dan memulai lembar barunya. Nanti setelah berjalannya waktu, mereka bisa bertemu dan duduk bareng sebagai teman lagi.
“Maaf … tapi kamu bukan lagi langitku, karena sudah ada yang meletakkan semestanya di tanganku. Dia yang selalu ada, ketika aku jatuh terpuruk kehilangan pijakan,” ucap Hera beranjak bangun dari duduknya. Merasa makin dibahas akan semakin keliru, karena sepertinya Langit belum siap menerima keputusannya yang mantap menjatuhkan pilihan ke Ezra.
“Ra!!” Langit mencekal tangan Hera yang melintas hendak pergi.
“Jangan membuatku merasa bersalah kayak gini, Lang!” gumam Hera tak serak.
Jingga datang menghampiri mereka. Matanya tampak memerah. Dia duduk di samping saudara kembarnya yang mati-matian menahan rasa sakitnya. Dilema bagi Jingga, karena Hera juga bestienya. Dia sangat tahu sesakit apa Langit dulu melukai sahabat mereka itu. Dia juga saksi segila apa Hera yang sampai kecelakaan masuk rumah sakit dan babak belur, karena berkelahi di luar sana demi melampiaskan sakit hatinya.
Namun, biar bagaimanapun pria bodoh ini adalah saudara kembarnya. Dia juga tahu sekeras apa Langit berusaha memperbaiki salahnya. Sayang, Hera sudah terlanjur sakit hati dan menyerah, setelah bertahun-tahun bertahan dengan begitu banyak goresan luka yang ditoreh langit.
“Jangan seperti ini, Langit! Hargai keputusan Hera. Dia telah menjatuhkan pilihannya!” bujuknya.
“Terus aku gimana tanpa Hera, Jingga?” gumamnya meremas pelan tangan Hera yang dicekalnya.
“Ini harga yang harus kamu bayar telah menyakiti Hera dulu! Pelajaran buat kamu untuk berpikir jernih sebelum mengambil keputusan. Jangan menunggu kehilangan baru belajar menghargai, karena tidak semua penyesalan bisa dibayar dengan kata maaf. Hera sudah menemukan bahagianya bersama Bang Ezra. Kamu harus bisa berbesar hati menerima keputusannya, Langit!” ucap Jingga meraih tangan saudaranya dan melepas cekalannya dari tangan Hera.
“Maaf,” lontar Hera.
“Nggak apa-apa! Langit biar sama aku. Kamu sudah ditunggu di depan.” Jingga tersenyum ke sahabat karibnya itu.
Menghela nafas panjang, Hera bergegas melangkah pergi dari sana dengan perasaan tidak enak. Dia juga tidak ingin melihat Langit tersakiti dengan pilihannya sekarang. Tapi, mau gimana lagi sedang dia juga tidak bisa tanpa Ezra.
Sampai di teras mereka semua menatapnya penasaran. Pasti juga mendengar suara ribut dari teras samping tadi. Ezra tersenyum mengulurkan tangan menyambutnya, lalu membawanya duduk di sampingnya.
“Gimana? Sudah selesai?” tanyanya lirih menggenggam tangan Hera yang dingin.
“Hm,” angguknya.
“Beb …”
“Hm,” Hera menoleh, tapi Ezra mengedikkan dagu ke depan sana.
Hera mengikuti arah mata semua orang yang tertuju ke arah resort. Lalu, kembang api berwarna-warni pun menyala indah di langit depan sana. Bahkan, ada yang berbentuk hati. Mata Hera memburam panas ketika Ezra berlutut di hadapannya.
“Menikahlah denganku, Alfa Hera. Aku pria yang banyak kurangnya, tapi akan mempertaruhkan semua demi bisa membuatmu bahagia. Maukah kamu menemani sisa hidupku? Jadi pendampingku dan duniaku?” ucap Ezra dengan mata berbinar memujanya mengulurkan cincinnya.
“Mau,” angguk Hera tersenyum dengan mata panas melihat cincin itu dipasang di jari manisnya. Ezra mengusapnya sebelum kemudian bangun dan memeluk Hera di hadapan para sahabat, juga keluarga besar mereka yang bersorak riuh.
Meski merasa bersalah ke Langit melamar Hera di saat kurang tepat begini, tapi Ezra tidak punya pilihan lain. Kembang api itu sudah disiapkan sejak awal. Terlebih rencana lamaran sebelumnya di pantai juga sudah gagal oleh kedatangan Hanum. Mana Ezra sangka kalau tiba-tiba Langit justru mengajak Hera bicara, padahal tadi acara lamaran dengan kembang api itu sudah mau dia mulai.
Apapun itu, Ezra lega sudah berhasil melamar Hera. Secepatnya setelah pulang dari sini dia akan menikahi gadis kesayangannya ini.