Bab 3. Tak Mempan Digertak

1707 Kata
Bukan cuma Ezra yang dibuat cengo mendengar apa yang barusan papa Hanum katakan. Kakek, nenek, dan orang tua Hera pun juga sama melongo. Entah apa yang di otak Hanum dan bapaknya, hingga masih tidak tahu malu melontarkan permintaan yang menggelikan itu. “Heran! Kamu dulu kok betah punya istri dan mertua muka tembok gini, Zra? Kami saja belum setengah jam sudah mau stroke ngadepin yang model begini! Ini sih tidak tahu malunya lebih parah dari emak tirinya Lean, juga selingkuhan bapaknya Deva!” Xena sampai gedek saking eneg mendengar omongan mereka yang makin ngelantur. Sedang kakek dan papanya Hera cuma senyum-senyum. “Bisa tidak kalian diam tidak menyela pembicaraan kami? Ini urusanku dengan Ezra. Kalau dia ternyata mau rujuk dengan anakku, memangnya kalian bisa apa?!” Kesal, bapaknya Hanum menyahut ketus. “Pa, kruwes mulutnya boleh nggak sih? Laki-laki kok mulutnya kaya emak-emak komplek!” Xena menoleh ke mertuanya yang malah terkekeh. Tapi, memang Andika sebagai orang tua sama sekali tidak bisa bijak. Terlebih dengan posisi anaknya yang sudah ditolong malah tidak tahu terima kasih. “Sabar, Xen!” ucap nenek Hera. “Kenapa lagi?” tanya Hera yang muncul membawa sebotol jus, kue, dan coklat. “Tuh, mereka ngajak om kamu rujuk!” jawab Xena melirik Hanum sinis. Enak saja mau main serobot calon menantunya. “Memangnya Om mau rujuk?” Hera tersenyum melempar pertanyaannya ke Ezra. “Nggak!” jawab Ezra menggeleng, lalu mengulurkan tangan menyambut Hera. Gadis itu justru memberikan jus dan makanan yang dia bawa ke Lala. Semenyebalkan apapun kakek dan mamanya, bocah itu tidak tahu apa-apa. Kalaupun tadi merengek memanggil Ezra papa, juga karena suruhan mamanya. “Lala haus, nggak? Mau jus jeruk, kue sama coklat? Ini buat Lala!” Bocah itu mengintip ragu. Melihatnya menatap seperti itu, Hera tahu pasti dia mau. Cuma takut mengambilnya. “Kamu pikir kami pengemis, kesini mau minta makanan?! Anakku tidak doyan makanan seperti ….” “Mau,” angguk Lala berdiri mengambilnya dari tangan Hera. Hanum melotot ke anaknya. Sudah terlanjur koar-koar, malah Lala menerima pemberian Hera. Lagi-lagi mereka gedek. Kasihan ke Lala punya ibu dan kakek seperti itu. Hera tidak ambil pusing. Setelah Lala mengambilnya, dia duduk di samping Ezra. “Kalian sudah dengar sendiri jawaban Ezra. Jadi jalan lagi mengusiknya! Biarkan dia dengan kehidupannya yang sekarang,” ucap Herman Wijaya kembali angkat bicara. “Kamu tidak berhak mengatur kami! Memangnya tahu apa kalian soal Ezra?! Sekarang kami datang dan bicara baik-baik dengan dia. Tapi, kalau tidak didengar, terpaksa kami minta bantuan orang tua angkatnya untuk datang membujuknya. Kamu paham maksudku kan, Zra?” Andika tersenyum mengejek ke mantan menantunya itu. “Kamu mengancamku?” lontar Ezra menatap pria tua nyalang. “Tentu saja tidak. Aku cuma sekedar mengingatkan. Kalau mereka yang datang menemuimu, tentu bukan sekedar duduk mengobrol begini bisa selesai masalahnya. Biarpun calon mertuamu konglomerat, tidak akan punya nyali main gertak seenaknya, seperti yang kalian lakukan ke kami!” tekan Andika sengaja menggertak, dengan sedikit membocorkan soal orang tua angkat Ezra yang tidak kalah berkuasa. Sayangnya itu tidak mempan untuk membuat seorang Herman Wijaya keder. Kesalahan Hanum dan papanya cuma satu, mereka salah cari lawan. Lihat saja kakek Hera yang malah tertawa meraih cangkir tehnya itu. “Helmi Baskara, kan? Titan group. Apa perlu aku sebutkan juga bisnis gelapnya?” tanggap Herman Wijaya tenang, lalu meneguk tehnya yang sudah dingin. Ezra menoleh. Persis seperti dugaannya, kalau kakek Hera sudah menyelidiki semua tentang latar belakangnya. Karena sampai sekarang dia hanya mengatakan ke Hera tentang statusnya yang pernah menikah. Pun demikian dengan Hanum dan bapaknya yang gagal menyembunyikan muka kagetnya. Tidak menyangka Herman tahu tentang keluarga Baskara, orang tua angkat Ezra. “Xena ….” “Iya, Pa,” sahut mama Hera. “Coba kasih tahu mantan mertuanya Ezra, bisnis kotor apa saja yang dimiliki Helmi Baskara!” titah Herman ke menantunya. “Prostitusi di klub malam milik mereka, Alexa. Punya tempat judi kaum elit dan jual beli mobil curian!” sebut Xena menyeringai puas melihat muka pucat mereka. Herman Wijaya meletakkan kasar cangkirnya yang sudah kosong itu ke atas meja marmer. Tidak ada lagi senyum di wajah berangnya. Matanya berkilat tajam, menatap menelisik mantan mertua Ezra yang sejak datang sudah menguji kesabarannya. “Jangan pikir bisa menggertakku! Helmi Baskara atau siapapun itu, aku tidak takut. Kamu bahkan bisa menelponnya sekarang juga kalau mau. Dia ingin datang menemuimu disini, atau mencariku di kantor Wijaya Kusuma. Silahkan, aku tunggu!” tantangnya. Hanum mulai gusar. Dia merangkul anaknya yang sedang lahap memakan kue pemberian Hera. Betapa polosnya bocah itu. Bahkan, hanya dengan jus, coklat, dan sepotong kue membuatnya tak lagi merajuk menginginkan papa yang tadi dia tangisi. “Bukan seperti itu maksudku. Kami benar-benar datang dengan niat baik. Dulu saat menikah hubungan mereka memang tidak akur, tapi sekarang Hanum sudah banyak berubah. Ezra pasti tidak menyesal jika rujuk lagi,” ucap kakek Lala melunak, tapi membuat mereka mual karena sifat bebalnya itu. “Kenapa baru sekarang datang mencari Ezra? Kenapa juga tiba-tiba ngotot ingin rujuk?” tanya Johan, papa Hera. “Masih tanya! Tentu saja karena tahu Ezra sudah mapan dan banyak uang. Orang seperti mereka terlalu mudah ditebak!” dengus Xena. “Jangan keterlaluan seenaknya menghina orang! Ngaca dulu, sana! Tampangmu sendiri juga kayak preman!” balas Hanum tidak terima karena dari tadi mulut mama Hera kelewat pedas merendahkan mereka. Tidak tersinggung, Xena justru tersenyum menoleh ke suaminya yang cekikikan istrinya dibilang tampang preman. “Setidaknya istriku tidak mengemis untuk dinikahi. Justru aku yang jungkir balik mengejarnya. Jadi jangan menyamakan mamanya Hera dengan kamu. Dia tampang preman, tapi beretika dan punya harga diri!” ucap Johan merangkul istrinya yang memang bermuka galak. Apalagi ditambah dengan tatonya itu. Kelihatan sangar. “Zra! Jangan diam saja! Tolong, beri aku satu kesempatan untuk memperbaiki semua. Kita rujuk dan aku janji tidak akan egois seperti dulu. Kasihan Lala, Zra. Dia butuh papanya. Ya?” ucap Hanum dengan tatapan memohonnya ke Ezra. Ezra yang duduk menggenggam tangan Hera tampak menghela nafas lelah. Bingung harus bagaimana bicara supaya mereka paham, kalau dia tidak sudi balikan lagi. “Rujuk itu hanya buat mereka yang menikah tanpa paksaan. Jadi ketika pisah masih bisa mempertimbangkan lagi untuk balikan. Sedang aku menikahimu karena paksaan. Lala bukan anakku, kamu juga bukan istri pilihanku. Bahkan, menyentuhmu pun tak pernah. Atas dasar apa aku menuruti keinginanmu untuk rujuk? Sedang aku sudah bahagia bersama gadis ingin aku nikahi,” tanggap Ezra sudah malas berdebat. “Terus Lala gimana?!” teriak Hanum marah. “Cukup! Lala bukan anakku. Berhenti menuntut tanggung jawab dariku, sialan! Kamu kira aku setolol itu. Setelah Niko lari dari pernikahan kalian dan menumbalkan aku untuk menutupi aib, kamu bahkan masih sering diam-diam pergi menemuinya. Jangan kira aku tidak tahu kalian masih tidur bersama. Kamu benar-benar menjijikkan, Hanum!” geram Ezra balas berteriak sampai Lala ketakutan. Andika menoleh ke anaknya yang gelagapan. Tidak menyangka kalau Ezra yang dulu selalu diam dan seolah tidak peduli, ternyata tahu semuanya. “Pergi dari sini dan jangan coba-coba mengusikku lagi! Jangankan rujuk, melihatmu saja aku muak. Kalau Lala butuh papa, tuntut tanggung jawab Niko!” lanjutnya. “Tapi, dia sudah menikah dan punya anak dari istrinya. Niko juga tidak bakal mau menikahiku, meski cuma sebagai istri siri,” sahut Hanum memelas. “Kamu tidak dinikahi saja mau ditiduri. Terus buat apa dia repot-repot menikahimu? Pria lain juga bakal mikir seribu kali, kalau ditawari istri yang nggak ada otak dan tidak punya malu sepertimu!” sahut Hera greget omnya terus dipaksa rujuk oleh mantan istrinya. “Tutup mulutmu!” “Dih, Om dulu kok betah sampai setahun seatap sama dia!” Hera memeluk lengan Ezra. “Dulu aku jarang di rumah, Beb. Kami juga tidak pernah tidur sekamar,” jawab Ezra. “Beneran?!” Hera sampai terperangah kaget. Ezra tertawa melihat ekspresi lucunya. “Iya. Tanya saja ke dia kalau tidak percaya,” angguk Ezra. Hanum langsung melengos buang muka. Pernyataan Ezra itu justru makin menjatuhkan harga dirinya di hadapan mereka. Dia tak lebih hanya istri di atas kertas. Hubungannya dengan Ezra memang selempeng itu. Tapi, meski demikian Ezra tetap menjalankan kewajiban menafkahinya secara materi. “Aku sudah tegas menolak permintaan rujukmu. Urusan kita sudah selesai. Silahkan pergi! Jangan membuatku malu di depan mereka!” Terang-terangan Ezra mengusir mantan istri dan mertuanya. Yang benar saja! Ini bukan vila miliknya, tapi orang ini sejak datang terus berteriak bikin gaduh. “Lala, panggil papa!” Hanum menunduk menyuruh anaknya mencoba menarik simpati Ezra. “Kalau kamu tidak punya otak, setidaknya sebagai seorang ibu, kamu masih punya hati. Tega kamu memperalat anakmu seperti ini. Mempermainkan perasaannya, mempertaruhkan mentalnya. Demi apa? Uang?! Kalian berdua benar-benar gila!” maki Ezra tidak tega ke bocah itu. “Apa kamu tidak ingin datang mengunjungi orang tua angkatmu, Zra? Sejak kamu kabur, mereka terus mencarimu. Atau lain kali aku ajak saja mereka main ke studio tatto milikmu. Pasti mereka bangga, anaknya yang dulu minggat sekarang sudah sukses!” ucap Andika dengan mata picik dan seringai penuh ancaman Sedetik kemudian Herman Wijaya yang habis kesabaran pun menyambar cangkir kosong di meja depannya, lalu melemparnya ke arah Andika. Nyaris mengenai kepalanya, lalu melesat menghantam tembok dan pecah berserakan. Muka bapaknya Hanum sudah sepucat mayat. Diam tidak berani berkutik di sofanya. Begitupun Hanum yang jantungnya terasa mau copot. “Kalian tamu disini, tapi sejak datang terus berteriak dan mengancam! Dengar baik-baik telinga kalian! Mulai detik ini siapapun yang berani mengusik Ezra, maka akan berhadapan denganku. Termasuk kalian, maupun keluarga Baskara!” gertak Herman. Ezra menoleh. Perasaannya menghangat ketika mendapat pembelaan dari kakek Hera. Dia sebatang kara ketika diangkat anak keluarga Baskara. Sayang, di sana tidak mendapat perlakuan baik. Malah hanya dijadikan tameng untuk melindungi Niko. Anak kandung mereka yang pengecut dan b******k, hingga selalu lari dari tanggung jawab dengan menumbalkan dirinya. “Ingat baik-baik! Meski mereka belum menikah, kami sudah menganggap Ezra jadi bagian keluarga Wijaya. Jangan bikin perkara, karena aku jamin kalian tidak akan sanggup menanggung akibatnya. Camkan itu!” ucap Herman ke Hanum dan bapaknya. Namun, mana mungkin orang dengan otak licik dan hati dengki seperti mereka bisa diam menyerah. Mereka sudah terlanjur dibuat sakit hati karena merasa terhina. Kalau dengan memberitahukan keberadaan Ezra ke orang tua angkatnya bisa membuat mereka saling serang, kenapa tidak?! Tentu saja Hanum dan bapaknya akan melakukannya. Terlebih sudah tidak mungkin ada kesempatan rujuk dengan Ezra.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN