Bab 7. Ternyata Oneng

2255 Kata
Selesai lamaran tadi mereka lanjut mengobrol di villa. Kakek Hera memang sudah sejak awal ingin rencana pernikahan disegerakan, tapi mana Ezra sangka jika untuk prewedding pun langsung diambil besok. Berawal dari celetukan Lovia tantenya Hera, yang menyarankan sekalian pre wedding mumpung mereka di Lombok. Tidak tahunya langsung ditanggapi oleh Freya, mamanya Langit yang memang fotografer. Ezra dan Hera sendiri justru hanya diam menyimak. Mau menolak tidak enak hati, tapi diterima sepertinya momennya juga tidak terlalu tepat. Hera sudah mau minta tolong ke mamanya, ketika kakek dan neneknya malah menyetujui usul itu. Diam-diam kemudian Hera menarik Ezra pergi dari sana. Lengah sedikit bukan tidak mungkin mereka besok disuruh ijab kabul, dengan alasan mumpung di Lombok biar bisa sekalian bulan madu seperti kata Daren. Ngeloyor keluar dari villa, keduanya pilih jalan kaki ke kafe resort. Hampir mirip dengan resort di Bali, di sini juga ada kafe di atas tebing yang asik untuk nongkrong. “Kalau kamu merasa ini terlalu cepat, nanti biar aku yang bicara ke mereka untuk membatalkan pre wedding besok,” ucap Ezra memasukkan genggaman tangan mereka ke saku jaketnya. “Tidak usah. Ada benarnya juga kata Tante Via. Mumpung kita di Lombok. Hanya saja nggak enak sama Langit,” sahut Hera dengan helaan panjangnya. Padahal bicara sakit hati, Hera jelas lebih sakit saat dulu sedang jatuh-jatuhnya. Tidak pernah dia menunjukkan air matanya, apalagi mengadu sepatah katapun ke mamanya atau curhat ke Jingga. Sama sekali tidak pernah. Dia selalu mencoba baik- baik saja tanpa bercerita. Satu-satunya pelampiasan yang Hera lakukan adalah makin keranjingan balapan. Namun, semua lambat laun berubah dengan kehadiran Ezra. Percayalah, awalnya dia juga risih dengan kehadiran pria ini. Cuma karena dia temannya Daren, Liam dan Cello jadi Hera bersikap baik. Awal kedekatan mereka ketika motor Hera rusak di tengah jalan dan dalam keadaan hujan lebat. Seperti orang sinting, dia yang sedang lari dari sakit hati setelah tidak sengaja bertemu Langit dengan sikap dinginnya di tempat basket, pilih duduk berhujan-hujanan di trotoar samping motornya. Ezra lah yang datang ketika itu membawa payung dan melindunginya dari hujan. Mengantarnya pulang tanpa banyak bertanya, setelah memanggil orang mengurus motornya. Keesokan harinya Ezra menghubungi soal motor yang diservis di tempat temannya. Begitulah! Dari yang tadinya hanya berbalas chat ngobrol soal motor, lalu saling peduli. Mana Hera sangka suatu saat pria itu benar-benar muncul di tempat dia balapan. Mereka makin dekat karena sering bertemu di Mirror, nightclub yang dipegang oleh Jingga. Hera disana menemani bestienya itu, sedang Ezra nongkrong bersama Liam, Cello dan Daren. Sikap manis dan dewasanya tak urung membuat Hera merasa nyaman. Dia yang selama ini biasa jatuh bangun mengejar Langit, tapi tak digubris dan malah selalu tersakiti. Mana mungkin tidak tersentuh dengan semua perhatian dan kehadirannya yang selalu ada untuknya. “Urusanmu dengan Langit apa benar-benar sudah selesai?” tanya Ezra yang tadi sempat kelicatan saat Hera bicara empat mata dengan anak sulung Ibra itu. “Sudah,” angguk Hera. “Menerima lamaran Om tadi ibarat simbol tutup buku dari kisah masa laluku, sekaligus membuka lembar awal cerita kita.” Menoleh dengan senyum lebarnya, Ezra juga tidak menyangka jalannya untuk menggapai Hera akan mendapatkan kemudahan dari keluarganya. Umur beda sebelas tahun dengan status duda, sebatang kara, dan punya track record jadi anak angkat dari b******n seperti Helmi Baskara. Semua itu bahkan tidak membuat keluarga Wijaya memandangnya sebelah mata. “Berarti kamu beneran sudah siap jadi istriku, kan?” lontar Ezra. “Sudah,” jawab Hera tanpa sedikitpun ragu. Langkah Ezra berhenti, lalu berbalik menghadap Hera. Dia menariknya merapat dan mendekapnya dalam pelukan. “Kamu tidak takut mereka akan datang memburuku setelah ini? Maaf jika nantinya aku justru menyeretmu dalam bahaya,” ucapnya, tapi gadis itu malah terkekeh. “Om sepertinya lupa siapa Hera! Meski mungkin tidak bisa membantu menumbangkan mereka, tapi setidaknya aku pastikan mereka juga tidak akan bisa semudah itu mengusikku,” tanggap Hera benar-benar tanpa terlintas gentar di matanya. “Mana mungkin lupa, sedang badas dan tengilmu itu yang justru membuatku jatuh cinta.” Ezra mendekapnya. Mulai khawatir setelah ini Hera juga akan ikut jadi target keluarga Baskara. Sialnya ketika dia telah menemukan tambatan hatinya, para manusia terkutuk itu mulai kembali bermunculan. Selama ini Ezra selalu memantau mereka. Sehati-hati mungkin untuk tidak bersinggungan. Bukan takut, tapi karena tahu Helmi Baskara bukan lawan yang bisa dianggap remeh. Dia hanya ingin hidup tenang. Siapa sangka justru mantan istri dan mertua sialannya itu menemukan keberadaannya. “Katanya mau cerita!” tagih Hera. “Makanya aku ajak ke kafe. Mereka sudah menunggu di sana. Sekalian dongengnya, biar mereka tidak sewot bilang aku tidak menganggap teman karena bungkam.” Ezra baru saja menggandeng Hera beranjak, ketika ponselnya berdering. Dari yang tadinya mereka janjian di kafe, berubah tempat ke kamar Deva karena istrinya yang ngidam sedang mual-mual. Jadi mereka bergegas ke kamar hotel yang masih satu lantai dengan kamar Ezra maupun Hera. Tepat saat di lift mereka berpapasan dengan Deva dan Cello. Yang bikin mereka ngakak adalah Cello menenteng sandal jepitnya yang putus dan kaosnya pun robek. Jalannya juga terpincang-pincang. “Bikin ulah apalagi kalian?” tanya Ezra menyandar di lift dengan perut kaku. Sudah biasa kalau kumpul mereka selalu bikin ulah konyol. “Nyolong mangga di dekat pos satpam depan,” jawab Deva menunjukkan plastik hitam yang isinya mangga muda. “Terus dia kenapa kayak habis nyungsep dikejar anjing gitu?” Ezra mengedikkan dagu ke Cello yang mendelik sengit ke Deva. “Jatuh dari pohon, terus kaosnya nyangkut. Nggak bisa turun. Nunggu satpam mengambil tangga. Eh, dia nggak sabaran jatuh duluan!” Deva malah ngakak tanpa rasa bersalah. Ezra dan Hera tertawa tergelak. Ingat dulu awal mereka kenal juga karena Daren nyolong rambutan punya Deva, yang pohonnya mepet tembok pagar belakang rumah Vian. Daren nyungsep ke halaman rumah Deva dan berakhir diuber anjing mereka. “Istri dia yang ngidam, aku yang blingsatan disuruh panjat pohon. Mana pohonnya tinggi dan banyak semutnya lagi. Sialan!” umpat Cello. “Kamu juga calon omnya! Kalau nggak keturutan nanti ngeces kayak anaknya Daren! Dulu istri Vian ngidam juga aku yang bolak-balik ke puncak cari sekoteng dan jagung bakar!” sahut Deva bergegas keluar tanpa menunggu Cello yang babak belur membantunya cari mangga. “Teman nggak ada akhlaknya!” dengus Cello keluar terpincang, lalu membuang sandalnya ke tempat sampah dekat lift. “Matur tengkyu, Bro!” seru Deva cengengesan membuka pintu kamarnya yang dibiarkan terbuka setelah dia masuk. Sambil menggerutu Cello kembali ke kamarnya yang di sebelah. Sedang Ezra dan Hera masuk ke kamar Deva. Sudah ada Liam, Vian, dan Daren di dalam yang tertawa ngakak mendengar cerita Deva. Istri mereka tidak ikut karena menemani anak-anaknya di kamar masing-masing. “Dia kan dari kecil memang takut ketinggian. Tidak begitu berani kalau suruh manjat,” kata Vian yang sudah kenal Cello sejak kecil. “Yang waktu manjat tembok pagar rumah Vian juga terpaksa, karena dikejar angsanya Nes. Sampai celananya lepas, tinggal sempakan doang!” timpal Liam makin-makin membuat mereka ngakak. Hera melangkah ke arah balkon luar. Dia butuh sedikit angin untuk meredam perasaannya yang campur aduk. Bahagia karena dilamar dengan cara yang begitu romantis di hadapan sahabat dan keluarga besarnya. Namun, juga tidak enak hati memikirkan bagaimana kondisi Langit sekarang. “Calon pengantin kenapa malah melamun?” tanya Leora, istri Deva yang sedang ngidam itu berdiri di samping Hera. Gigi Hera seketika ngilu melihat Leora tampak menggingit dan mengunyah irisan mangga mudanya. “Nggak kecut?” Hera bergidik dengan gigi mengerat. Air liurnya sampai mau ngeces. “Nggak! Mau?” Dia menyodorkan mangkuk yang dipegangnya, tapi Hera langsung menggeleng. “Gimana rasanya mau nikah? Hebat kamu, Ra. Berani melangkah serius di usia yang masih muda banget. Ngalahin rekornya Nay,” ucap Leora. “Kalau sudah bertemu orang yang tepat, kenapa harus menunggu? Kenal Om Ezra juga sudah setahun lebih. Aku yang biasa berjuang dan mencintai sendirian, tapi tak dianggap. Rasanya kayak, hm …” Hera bergumam dengan mata menyipit menatap langit di atas sana. Seperti menyesapi rasanya ketika terombang-ambing di tengah badainya. Namun, kemudian terhempas ke pelukan hangat yang mendekapnya dengan segenap perasaan. “Seperti diratukan. Dicintai secara ugal-ugalan. Berpikir seribu kalipun aku tetap tidak menemukan alasan menolaknya. Bahkan, ketika Om Ezra bilang dia duda dan mungkin akan mendapat tentangan dari keluargaku. Aku masih dengan sintingnya yakin untuk tetap mempertahankannya. Beda umur dan status hanya kata tanpa makna, untuk aku yang sudah dibuat jatuh cinta,” ucap Hera dengan senyum tersungging di wajah cantiknya. Sampai kemudian dia kaget karena tiba-tiba dipeluk dari belakang. Tidak usah menoleh, dari wangi tubuhnya saja dia tahu siapa orangnya. “Dasar bucin!” olok Leora terkekeh masuk. Sementara Ezra yang mengungkung tubuh Hera dari belakang mepet pembatas balkon tertawa meletakkan dagunya di bahu Hera. “Padahal ke aku tidak pernah mau, kalau disuruh balas ucapan cintaku. Tapi, di belakang manis banget calon istriku,” ucapnya mencium gemas pipi Hera. “Lepas! Malu diliatin mereka!” Hera tersipu ketahuan sudah menyanjung si om. “Besok nggak usah prewedding. Langsung nikah saja yuk, Beb!” bisik Ezra. Hera tertawa menoleh melihat si om yang juga cengengesan, lalu menyikut perutnya yang menghimpitnya ke pembatas. Dia sampai meremang merasakan endusan ujung hidung Ezra di lehernya. “Awas Oneng kamu sosor terus! Aku laporin ke kakeknya!” seru Cello yang ternyata sudah menyusul kesana. “Sialan!” Ezra terkekeh melepas dekapannya setelah mencium ceruk leher Hera. Gadis itu sampai meringis merasakan perutnya yang mencelos gara-gara ulah si om. Mereka balik ke dalam dan duduk di sofa. Di atas meja sudah penuh dengan minuman dan camilan. Ezra meraih satu bungkus chiki memberikannya ke Hera. Sementara Daren menuang minum ke enam gelas kosong disana. Sudah ada pembicaraan kapan rencana nikahnya, belum?” tanya Liam. “Belum, tapi besok sudah disuruh prewedding dulu. Katanya sekalian, mumpung di sini,” jawab Ezra. Mereka langsung menoleh. Cengo dengan apa yang Ezra sampaikan. Baru juga lamaran tadi, besok langsung disuruh bikin foto prewedding. “Kenapa jadi mereka yang seperti ngebet tidak sabaran kalian menikah?” Daren terkekeh. “Jelas ketar-ketir, lha cucunya sudah dikekepin dan disosor terus sama si om. Lengah sedikit beneran kembung perut si oneng!” cibir Deva. “Sialan!” Ezra melempar Deva dengan kulit kacang. “Langit tantrum. Barusan Juna chat aku. Katanya Om Ibra dan Tante Frey ditelpon Gala disuruh ke resort,” kata Cello meraih gelas minumannya. Hera menoleh kaget. Wajahnya terlihat kaku, tapi kemudian menunduk meneruskan main game di ponselnya. Sesak rasanya sampai membuatnya engap sakit. Dengan keadaan yang seperti ini, bagaimana besok dia punya mood untuk melakukan prewedding. Sumpah, Hera tidak enak hati dengan tantenya. Meneguk minuman yang disodorkan Daren, Ezra kemudian merangkul calon istrinya yang bungkam. Dia tahu Hera sedang tidak baik-baik saja. “Nanti aku yang bicara ke Tante Frey untuk membatalkan prewedding besok,” ucapnya. “Hm,” angguk Hera tanpa mengalihkan matanya dari layar ponsel. Sama, yang lain pun juga terlihat canggung. Harusnya mereka bisa berbahagia merayakan sahabatnya yang sukses melamar gadis pilihan hatinya. Terlebih itu Ezra yang punya kisah pahit, terpaksa menyandang gelar duda karena keegoisan keluarga angkatnya. Hidup sebatang karena ditinggal keluarganya yang mati bunuh diri, lalu terjebak ke keluarga angkat berhati busuk. Sayangnya sekarang saat menemukan bahagia, justru terganjal oleh Langit yang terluka dengan rencana pernikahan mereka. Jadi serba selah. Untuk bahagia pun mereka harus menjaga perasaan orang lain supaya tidak makin terluka. “Sabar, dia hanya sedikit waktu untuk move on,” ujar Liam. “Padahal dulu Hera lebih terluka dari itu.” “Om …” Hera menoleh dan menggeleng pelan. “Mana ada yang tahu kamu sering nangis kesakitan sendiri. Cari pelampiasan dengan balapan sampai jatuh jungkir balik dan babak belur, daripada cerita ke orang tuamu atau sahabatmu. Aku tidak menyalahkan siapapun. Cuma tidak suka kamu jadi merasa terbebani rasa bersalah!” Ezra meneguk habis sisa minumannya, lalu meletakkan di atas meja. Mereka menghela nafas panjang. Iya, sesakit apa Hera dulu Ezra lah yang paling paham, karena dia yang selalu di samping gadis itu. Dan karena itu juga yang kemudian membuat keluarga Hera membiarkan keduanya dekat, meski dengan jarak umur dan status duda Ezra yang sudah sejak awal keluarga Wijaya ketahui. “Jangan dibahas lagi. Sudah lalu kok,” ucap Hera tersenyum merangkul lengan Ezra. “Huueekk …” “Yang …” Leora buru-buru bergegas ke toilet dengan Deva mengikutinya pergi. Hera meringis melihat setidaknyaman apa wanita ketika hamil. Kenapa jadi perutnya ikutan mual? Bukankah berarti nanti setelah dia menikah dan hamil, juga akan mengalaminya? Bagaimana caranya dia bisa tetap naik motor sport kesayangannya dengan perut buncitnya nanti? “Raaaaa!!” seru Daren sampai Hera terjengkit kaget. Dia menoleh dan mendapati mereka menatapnya aneh. “Lagi mikir apa sampai bengong begitu, Oneng?!” tanya Cello.. “Lagi mikir, gimana caranya bisa tetap naik motorku dengan perut buncit nanti,” jawabnya jujur dengan muka polosnya. Sontak saja mereka tertawa ngakak. Liam yang bahkan kayak kulkas pun sampai terpingkal memegangi perutnya yang kram. Lihat saja Daren dan Cello yang duduk di lantai sampai nyungsep guling-guling. Minuman di mulut Vian sampai menyembur keluar. Tidak terbayang bagaimana repotnya Ezra harus mengurus istrinya yang hamil dan tetap pecicilan. “Ampun, Zra! Yakin kamu siap punya istri oneng gini?” tanya Vian mengusap matanya yang basah. Gemas, Ezra menjepit leher Hera dan mencium pipinya di depan mereka. Bisa-bisanya punya pikiran konyol seperti itu. “Jangan aneh-aneh!” ucap Ezra terkekeh. “Kalian menertawakan apa?” tanya Deva yang keluar dari toilet bersama istrinya. “Kasih pencerahan ke Oneng, coba! Dia bingung mikir gimana caranya nanti, dengan perut buncit bisa naik motornya!” jawab Cello. Mata Leora membulat menatap gadis itu, lalu dia dan Deva tertawa cekikikan. Sepertinya setelah menikah Ezra akan lebih sibuk dan tambah puyeng lagi.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN