^^Nathan POV^^
Tangannya mulai bergerak perlahan. Matanya juga mengerjap pelan. Febi sadar. Gue senyum dan ngelus kepalanya lembut.
"Hei ... are you okay? Ada yang sakit? Pusing? Apa mau minum?" tanya gue beruntun.
"Ka ... kamu siapa?" tanya dia dengan wajah bingung yang sumpah. Imut banget.
Gue senyum dan jawab aja sekenanya. "Pacar kamu."
"Ha?" gue lihat Febi yang semakin bingung.
"Pacar kamu, Sayang."
"Ma-maaf ta-tapi-"
Cup!
Gue mengecup bibir dia dengan cepat. Seketika matanya membulat sempurna. Dia lucu banget astaga.
"Ka-kamu be-berani main cium-cium. Emang ka-kamu siapa?!" ucapnya penuh amarahdengan terbata-bata. Apa dia takut sama gue? Gue bikin dia takut? Oh no!
"Jangan takut sama aku," ucap gue lembut.
"Ka-kamu yang bawa aku ke sini? Kamu beneran bawa aku ke sini?" Febi terlihat ragu.
"Iya, Sayang. Kenapa?" ucap gue sekenanya.
"Aku nggak tahu kalau masih ada yang peduli sama aku di sekolah. Ka-kamu kelas berapa?" tanya dia masih tergagap.
"Aku kelas 11," ucap gue tersenyum kecil, namun dalam hati ketawain diri sendiri karena bisa selembut ini sama orang untuk pertama kalinya dalam hidup gue.
"Ka-kakak kelas, ya? Ma-maaf, Febi nggak tahu, Kak," ucapnya menunduk.
"Namaku Nathan. NathanAditya Imanuel. Sekarang kamu jangan mikir macam-macam. Istirahat saja. Aku jagain kamu di sini." Gue mengusap kepalanya dengan lembut.
"Kak Rara nggak marahin kakak, kan?" tanya dia dengan wajah takut-takut yang gemesin banget.
"Rara? Kenapa Rara harus marah ke aku?" tanya gue heran.
"Kakak nolongin aku, nggak pernah ada yang nolong aku sebelumnya. Kalau Kak Rara tahu, kakak bisa di-bully juga. Jadi, jangan nolongin aku lagi, Kak. Cukup kali ini aja. Makasih banget."
"Hey, emang Rara siapa berani bully aku? Koneksi aku lebih besar daripada Rara, Sayang. Bisa aja aku keluarin Rara karena dia sudah macam-macam sama punya aku," ucap gue natap dia dalam.
"Punya kakak?" tanya Febi kebingungan.
Apa dia nggak ada raut wajah selain takut, bingung dan muka yang bikin gue gemes? batin gue agak menggerutu.
"Hmm, kamu," ucap gue tenang.
"Aku?" dia gemesin banget pas lagi bingung gini. Sumpah, jadi pengin nyium, hahaha.
"Iya, kamu. Kamu punya aku," ucap gue masih berusaha tenang. Karena jujur, jantung gue udah nggak bisa tenang sejak ngomong dengan cewek gemesin di depan gue ini.
"Ke-kenapa gitu?"
"Aku cinta sama kamu. Mulai sekarang kamu jadi pacar aku," ucap gue yang dibalas pelototan lucu dari mata bulatnya.
"Febi nggak mau. Febi nggak pernah pacaran sebelumnya. Febi nggak mau pacaran," ucap dia takut-takut.
"Aku nggak pernah terima penolakan, Sayang. Kamu mulai sekarang adalah pacar aku."
"Ta-tapi ...."
"Aku janji nggak akan biarin seorangpun nyakitin kamu lagi. Aku yang bakalan jagain kamu. Aku janji, Bi," ucap gue dengan serius.
Kriet ...
Gue sama Febi langsung menoleh ke arah pintu yang terbuka pelan. Dan masuklah dari sana dokter keluarga gue.
Sialan! Ganggu aja dia!
"Bagaimana, Nona Febi? Merasa lebih baik?" tanya dia dengan senyum-senyum sok ganteng.
"Nggak usah senyum-senyum ke pacar gue! Gue hajar lo!" Emosi gue ngelihat itu dokter senyam-senyum ke Febi. Pengin gue bogem tuh orang?
"Kak, kok gitu sih ngomongnya." Gue langsung duduk di ranjang Febi dan merangkul bahu dia. Lalu mengecup pipinya cepat.
"Sorry, Bi. Kelepasan, Sayang," bisik gue lumayan kencang, sengaja biar dokter ganjen di depan gue dengar. Laki kok ganjen banget sama cewek orang!
"Pacar kamu? Saya tidak tahu kalau Tuan Muda Imanuel punya pacar," ucap Dokter itu menahan senyumnya.
"Sekarang kamu tahu, kan? Jadi, gimana keadaan pa-car sa-ya?" tanya gue sambil menekan dua kata terakhir yang bikin si dokter terkekeh pelan. Apa yang lucu coba? Dasar aneh.
"Sejauh ini perkembangannya bagus. Pacar Tuan sudah boleh pulang setelah menebus obatnya." Gue melihat mata dokter itu melirik-lirik ke Febi. Kan yang tanya gue b*****t!
"Yaudah sana keluar. Ngapain masih di sini?" ucap gue dengan sinis. Itu dokter ngeselin banget. Kalau nggak ada Febi, gue hajar itu orang.
"Kak, nggak sopan tau." Aduh sayangku, kenapa belain dia sih?!
"Febi, dia ngeselin, Sayang." Gue merengek ke Febi? Seriously? Febi emang bawa dampak besar bagi gue. Seorang Nathan merengek? Cih, bukan gue banget.
"Maaf, Dok. Kak Nathan nggak serius kok." Febi ngomong lembut banget. Adem rasanya, tapi Febi cuma boleh ngomong begitu ke gue. Ini dokter emang ngeselin.
"Hahaha kalian lucu sekali. Yasudah, saya tinggal dulu, ya."
"Yaudah sana, ganggu aja!"
Begitu dokter itu sudah keluar, gue melihat ke Febi. Kenapa dia nunduk gitu? Gue angkat dagunya pelan. Kenapa muka dia sedih?
"Hei. Kenapa, Bi?"
"Febi nggak bawa uang, Kak. Nebus obatnya bagaimana?" Astaga sayangku, kirain kenapa.
"Astaga, Bi. It's okay, aku yang bayar. Kamu pacar aku sekarang, itu tanggung jawabku."
"Nanti pasti Febi ganti kok uangnya, Kak."
"Nggak usah, Bi. Aku ikhlas."
"Ta-tapi Kak Adit pasti butuh uangnya buat keperluan yang lain juga. Nanti kalau Febi punya uang, pasti Febi ganti." Febi bilang apa? Adit? Hey, gue Nathan! Apa dia lagi mikirin cowok lain sekarang?!
"Adit?"
"Nathan Aditya. Kalau Nathan kepanjangan, Kak. Febi ribet. Nggak boleh, ya?"
"Adit? Not bad, Bi. Aku suka kamu manggil aku beda dari yang lain," ucap gue sambil tersenyum manis.
"Febi pengin pulang, Kak."
"No! Just Adit. Nggak pakek ‘kak’," ucap gue mengoreksi.
"Tapi Kak Adit itu kakak kelasnya Febi."
"Siapa yang peduli? Kamu pacar aku, Bi."
"Yaudah, Adit."
"Good girl!" gue ngecup pipinya pelan.
"Adit masih pakai seragam, tadi nggak pulang? Nggak takut dicariin orang rumah?"
"Nggak ada orang di rumah aku. Sekarang Febi istirahat aja. Adit nebus obatnya dulu, oke?"
"Iya." Gue ngecup keningnya dan berlalu.
----
^^Febiola POV^^
Apa keputusan Febi sudah benar, Tuhan?
Adit menjanjikan aku sebuah keamanan, aku merasakannya. Rasa aman dan nyaman saat bersamanya.
Aku melirik Adit yang sedang menyetir mobil. Dia pacar Febi? Febi nggak pernah punya pacar. Bagaimana ngomongnya ke bunda? Febi takut, perang batinku usai saat merasakan tangan yang mengelus kepalaku.
"Mikir apa, hmm?" tanya Adit lembut.
"Febi ... Febi ngantuk." Aku melihat Adit tersenyum. Dia ganteng sekali.
"Tidur aja, Sayang. Rumah kamu masih jauh dari sini," ucapnya yang masih mengusap kepalaku.
"Iya. Nyetirnya hati-hati, ya. Jangan ngebut."
"Siap, Bi. Masa bawa princess mau ngebut? Febi tidur aja. Kalau udah sampai, Adit bangunin."
"Iya."
^^Nathan POV^^
Gue udah sampai di depan rumahnya Febi lima belas menit yang lalu. Tapi gue nggak tega bangunin Febi, kayaknya dia capek banget. Apa gue harus sampai pagi di sini? Yakali. Gendong? Oke, gendong aja. Gue keluar mobil dan mulai menggendong Febi ala bridal style. Febi menggeliat pelan.
"Emh... Bunda, Febi masih ngantuk." Gue tersenyum kecil, gemesin banget sih pacar gue.
Gue mengetuk pintu rumah Febi dengan pasrah karena nggak lihat ada bel pintu. Tak lama pintunya pun di buka oleh seorang perempuan paruh baya yang mirip sama Febi. Tapi cantikan Febi sih.
"Loh, Febi? Kamu siapa?"
"Saya Nathan, Tante. Febi ketiduran, Tan. Boleh saya bawa masuk ke dalam?"
"Oh, iya-iya. Bawa masuk, Nak."
Gue masuk ke rumah Febi. Rumah kecil nan sederhana. Tapi entah kenapa rasanya nyaman banget, ada dua pintu di depan gue.
"Tan, kamar Febi yang mana ya?"
"Yang kiri, Nak. Ayo, Tante bukain pintunya."
Bundanya Febi membuka pintu kamar Febi. Kamar Febi sederhana, ada ranjang berukuran sedang, lemari, cermin rias, beberapa boneka kuda poni kecil, dan rak buku yang mendominasi. She's like reading.
"Kamu temannya Febi, Nak? Sudah lama Febi nggak pernah bawa temannya ke rumah," ujar Bundanya Febi dengan senyum hangat.
"Saya Nathan, Tante. Pacarnya Febi," jelas gue yang bikin Bunda kelihatan kaget.
"Pa-pacar? Febi kok nggak pernah cerita kalau punya pacar?”
“Baru tadi siang saya pacaran sama Febi, Tante. “
“Oh. Terus Febi kok sama kamu sampai malam begini? Tante udah telefon Febi dari tadi tapi kebiasaannya lagi kumat, punya ponsel tapi lupa nggak dibawa,” oceh Bunda Febi.
“Tadi lambung Febi kumat, Tan. Terus pingsan, jadi Nathan bawa ke rumah sakit. Oh iya, ini obatnya Febi. Diminum setelah makan ya, Tan. Minta tolong Febinya diingetin.”
“Berapa biaya rumah sakitnya, Nak? Maaf ngerepotin kamu.”
“Nggak perlu, Tante. Saya ikhlas. Saya merasa itu jadi tanggung jawab saya.” Gue ngusap kepalanya Febi lembut terus ngecup keningnya. Bodo amat kalau ada Bundanya, gue cuma mau nunjukin kalo gue sayang sama Febi.
“Udah malem, Tan. Nathan permisi pulang dulu.”
“Oh iya-iya. Nggak mau makan dulu?” tanya Bunda Febi.
“Nggak usah, Tan. Terima kasih, salam buat princess Febi.”
“Iya, nanti disampein. Hati-hati ya. Makasih ya, Nak.”
“Terima kasih kembali, Tante. Selamat malam.”
“Malam.”
Hari ini gue senang banget, gue dapetin Febi, dan gue berharap bundanya Febi suka sama gue. Melihat tipe-tipe cewek kayak Febi, pasti semua apa kata bundanya. Kalau gue nggak dapet restu dari bundanya, ya alamat dong gue. Wahai bundanya pacar, restuin gue, ya.
TBC