Siapa Perempuan Itu?

1734 Kata
Aku baru kali ini mendapatkan client seorang artis. Sebelumnya ada, tapi ditangani oleh seniorku. Aku menahan emosi dari tadi menghadapi artis ini. Benar kata Dikta, setelah aku pelajari lagi kasusnya dan wawancara kembali sang artis, ada banyak hal yang mengganjal. "Napa, sih?" tanya Gilang heran. Mungkin melihatku dari tadi yang sibuk dengan ponsel sambil mengoceh. Aku dari kemarin-kemarin masih bisa sabar menghadapi client seperti artis satu ini, tapi hari ini sepertinya tidak lagi. Dia masih marah-marah—tak terima jika aku dan tim mengundurkan diri dari lawyer-nya. Dan weekend ini, dia masih saja menghubungi timku, mengganggu hari libur orang saja. Dia yang sepertinya masih berharap ingin dibela oleh kami. "Ini, lo tahu artis yang lagi viral gugat hotel gitu nggak?" Aku meletakkan ponselku di atas meja, tak lagi membalas pesan timku. Aku meminta mereka agak mengabaikan saja artis itu, biar dia uring-uringan sendiri. Gilang menggeleng. "Mana gue tahu! Nggak ngikutin berita-berita kayak gitu." "Hmmm. Ya gitu deh! Dia ada case gitu sama pihak hotel tempat dia menginap. Dia gugat pihak hotelnya karena nggak terima barang-barang dikeluarin pihak hotel itu sebelum habis masanya menginap. Itu sih, dia enggak salah. Yang salah, dia viralin ini hotel. Jelek-jelekin gitu, semacam provokatif biar orang-orang mikir—enggak mau nginep di sana. Gue awalnya terima karena nggak tahu lebih detailnya masalah dia itu. Setelah gue pelajari lagi, gue jadi mikir-mikir. Gue bahas sama tim dan akhirnya sepakat buat mundur aja. Masalahnya pihak hotel gugat balik dengan dalih pencemaran nama baik. Ada lagi omongan dia yang gue rasa, dibesar-besarkan. Bukan fakta yang sebenarnya terjadi di lapangan.” Thanks to Dikta sebenarnya juga, yang telah mengingatkan lagi. Aku awalnya memang masih mempelajari dan kemungkinan besar menerima untuk menangani waktu itu. "Ooh. Terus itu artis nggak terima lo mundur? Kenapa dia nggak cari pengacara lain aja?” "Nggak tahu gue! Mungkin nggak ada yang bersedia. Emosi gue ngadepinnya. Udah dibilang baik-baik, pakai ngotot. Mana nunjuk-nunjuk gue kemarenan itu.” "Sabar. Orang sabar, banyak yang sayang." "Ada yang udah sabar banget, tapi ujung-ujungnya tetap dikecewain." Gilang tertawa. "Masih aja nih? Ke dia-dia lagi arahnya, ya?” "Nggak semudah itu bisa lupa lah, Lang." "Iya... iya. Gue paham, kok." "Hmmm. Udah yuk! Kita belanja sekarang." Aku mengalihkan pembicaraan. Karena jika sudah menyinggung perihal Dikta, tak akan ada habisnya. Aku yang selalu saja teringat akan dirinya. Aku melirik jam di pergelengan tanganku, waktu sudah menunjukkan pukul 14:05. Aku dan Gilang akan mengunjungi panti saat ini. Kami berdua akan membeli sesuatu dulu untuk anak-anak di sana. Awalnya hendak mengajak Mas Pras juga ke sana, akan tetapi dia berhalangan hari ini, sibuk urusan kantor katanya. Sedangkan aku dan Gilang bisanya hari ini. Gilang menengadahkan tangannya. "Sini kunci mobil lo." Kami tentunya akan belanja menggunakan mobilku. Gilang, lelaki itu belum memiliki mobil. Hasil kerjanya, Gilang lebih memilih untuk membeli rumah terlebih dahulu. Meski menyicil, setidaknya dia sudah punya rumah sendiri. Hidup sendiri, dia bisa mengelola keuangan dengan baik bahkan bisa sedikit membantu adik-adik di panti juga. Untuk mobil, Gilang katanya sedang mengumpulkan untuk membeli secara tunai nanti biar tidak ada hutang selain cicilan rumah. Gilang baru naik pangkat menjadi manajer pada tahun ini, jadi aku rasa tak akan lama baginya untuk mengumpulkan uang membeli sesuatu yang diinginkannya. Di dalam perjalanan, aku membuka ponsel—melihat media sosial. Lalu, aku melihat story dari seseorang yang aku kenal juga. Keyra, seseorang yang merupakan anak dari teman mamanya Dikta. Dia mengunggah foto candid Dikta yang sedang menatap layar laptop. Jika sebelumnya aku biasa saja ketika ada Keyra di dekat kami, kenapa sekarang hatiku rasanya memanas hanya karena melihatnya mengunggah foto Dikta? Keyra menuliskan caption di sana, lagi mode serius aja tetap ganteng. Aku tahu, perempuan yang sedang kuliah pada tingkat akhir itu menyukai Dikta. Namun, selama ini aku menganggap biasa saja. Tak pernah mempermasalahkannya karena Dikta pun menganggapnya sebagai seorang adik saja. Perempuan itu sering meminta diajarkan soal hukum pada Dikta, kadang padaku juga karena dia kuliah jurusan hukum. Almarhum orang tuanya Keyra pernah berjasa kepada mamanya Dikta. Jadi, Dikta tetap berusaha bersikap baik kepada Keyra meski perempuan itu sering merecokinya. Sekarang, apa Dikta masih biasa saja terhadap Keyra? Apa kehadiran Keyra lama-kelamaan bisa membuat Dikta luluh? Keyra itu cantik, imut dan menurutku anak baik-baik juga. Untuk menikah, pastinya masih panjang perjalanan perempuan itu karena masih kuliah. Akan kah Dikta pada akhirnya bersama Keyra mengingat perempuan itu tak akan diburu-buru menikah dalam waktu 2 atau 3 tahun ini? Dikta laki-laki, bukan masalah baginya jika menikah lewat dari 30 tahun. Dia bisa bersama perempuan yang jauh lebih muda juga. Kenapa dengan membayangkan begitu saja, dadaku terasa sesak? Aku keluar dari aplikasi media sosial dan menaruh ponselku di dalam tas. "Kenapa, Mel?" tanya Gilang menoleh sekilas. Aku tersenyum tipis. "Nggak apa-apa." "Jangan bohong!" sahut Gilang terkekeh. "Gue udah kenal lo dari kecil. Cerita aja kalau ada apa-apa, gue akan selalu siap jadi pendengar." "Lo bosen nanti dengarnya." "Nggak akan." Gilang kembali menoleh sekilas. "Kenapa? Masih tentang dia?" Aku mengangguk. "Gue udah nggak ada ketemu-ketemu dia, nggak ada komunikasi lagi. Dia udah nggak pernah lagi hubungin gue sesuai janji dia kala itu. Gue lagi usaha buat lupain perlahan, kenapa sesusah ini?" "Seperti yang lo bilang sebelumnya, lo hanya butuh waktu." "Iya. Tapi sampai kapan, ya? Barusan gue lihat story cewek yang gue kenal juga, dia up fotonya Dikta di sana. Kenapa gue rasanya nyesek begini?" "Coba lo cari banyak kesibukan, supaya ada pengalihan nggak inget-inget dia melulu. Selain kerja, bisa apa aja. Temuin adik-adik di panti, nonton, jalan-jalan dan banyak lagi. Lakukan semua hal yang kira-kira bisa bikin lo happy." "Ya, kadang gue bingung mesti ngapain. Kadang nangis aja, nggak jelas tiba-tiba sedih aja." "Lo bisa cari gue di saat lo sedih dan butuh teman cerita. Nggak usah merasa nggak enak, kita udah kenal dari kecil. Kalau nggak, ajak pasangan lo sekarang pergi-pergi ke mana gitu. Kalau dia lagi enggak bisa, sibuk, lo baru call gue. Gue ini selalu ada waktu, jomblo soalnya." "Thanks, Lang. Lo emang terbaik dari dulu." Sebelum kenal dengan Maudy dan Aya, aku sudah punya Gilang dari dulu. Dia merupakan seorang teman yang sudah kuanggap layaknya saudara sendiri. Dia selalu ada untukku. Mungkin karena hari-harinya hanya dihabiskan untuk bekerja dan adik-adik di panti saja? Aku rasa, hidupnya Gilang itu monoton. Tak mau berpacaran untuk mewarnai masa remajanya. Baginya, cukup bekerja keras untuk kehidupan lebih baik. Bagaimana pun, dia tak seberuntung aku yang diadopsi oleh pasangan kaya raya. Plusnya Gilang juga, dia pintar, rajin dan pantang menyerah. Aku tak heran jika dia suatu saat nanti menjadi sukses seperti apa yang diimpikannya selama ini. Sekarang saja, menurutku dia sudah mulai menunjukkan hasilnya. Tapi tetap saja, baginya itu belum apa-apa dan dia ingin bekerja lebih keras lagi. *** "Kak Diktanya mana, Kak?" tanya Andini, salah satu anak di panti yang usianya 8 tahun saat ini. Dia itu dekat dengan Dikta. Suka bercerita apa saja kepada lelaki itu, paling senang diajak bermain oleh Dikta. Saat ini, Andini lagi kurang sehat. "Kak Diktanya lagi sibuk," ucapku sambil tersenyum. "Ooh. Sibuknya gantian ya, Kak?" Sibuk gantian maksudnya? Aku mengernyit. "Maksud kamu?" "Minggu lalu, Kak Dikta ke sini sendirian. Aku tanya kenapa datang sendirian, katanya Kak Melisha lagi sibuk. Udah dua kali Kak Dikta ke sini sendirian. Sekarang, giliran Kak Dikta yang sibuk." Dikta ternyata masih mengunjungi tempat ini. Aku memang sering mengajak Dikta ke sini dari dulu. Dan lelaki itu yang paling semangat, mulai dari membeli mainan hingga makanan yang akan dibawa ke sini. Aku sendiri sudah 3 bulanan lebih tidak ke sini. Aku hanya transfer sejumlah uang kepada ibu panti, di luar donasi tetap dari papaku. Makanya, tadi saat Gilang bilang agar aku hendaknya lebih sering ke panti, aku merasa bersalah juga. Seharusnya aku lebih bisa lagi memaksimalkan waktuku di sela kesibukan dan kegalauanku atas Dikta. Memang belakangan ini selain bekerja, aku lebih sering meratapi kesedihanku. Ingin melupakan, tapi kadang masih sering larut dalam kenangan dan menikmatinya. Sementara Gilang sibuk dengan anak laki-laki, aku berbicara dengan ibu panti. Dan beberapa anak perempuan juga mendekat padaku, minta dipeluk atau mengadu ini itu. Aku hanya tersenyum menanggapinya. “Gimana hubungan kamu sama Dikta, Mel? Kapan rencananya nyebar undangan nih?” Pastinya semua orang yang mengetahui hubungan kami, bertanya seperti itu saking lamanya aku dan Dikta bersama. Ditambah dengan usia kami yang tak muda lagi. “Aku udah nggak bersama Dikta lagi, Bu.” Bu Risma yang sudah tak muda lagi itu, tampak terkejut. Usianya lebih tua dari papaku, sudah 70 tahun. “Ka-mu serius?” Aku mengangguk. “Minta do’anya aja yang terbaik buat aku ya, Bu. Sekarang, aku lagi dekat sama anak temannya Papa. Semoga bisa berjodoh.” “Aamiin. Ibu pasti akan selalu do’ain kamu. Tapi kalau Ibu boleh tahu, apa penyebab berakhirnya hubungan kamu dengan Dikta?” “Enggak berjodoh aja, Bu.” Pembicaraan kami terhenti ketika ada yang mendengar suara teriakan. Andini terpeleset di kamar mandi dan tak sadarkan diri. Gilang segera menggendong anak itu ke mobilku. Kami membawanya ke rumah sakit, dengan Bu Risma juga. “Dua hari lalu dia udah mendingan, setelah dibawa ke rumah sakit,” ujar Bu Risma ketika berada di dalam mobil menuju rumah sakit. “Tapi semalam demam lagi. Karena obatnya masih ada, kita kasih aja lagi. Tadi pagi, dia udah mendingan. Sebelum kamu datang, mulai lemas dan naik lagi demamnya. Andini masih aja begitu, dia nggak mau ngerepotin. Nggak mau minta tolong walau sekedar ke kamar mandi aja. Katanya bisa sendiri kalau cuma ke kamar mandi doang.” Aku manggut-manggut. Andini ini seperti aku versi kecil dulu. Aku mengusap-usap kepalanya yang aku rebahkan di pangkuanku. Aku tak menyalahin Bu Risma juga kenapa tak menghubungiku atau Gilang. Dia pasti punya alasan, mungkin tak mau merepotkan kami. Tiba di rumah sakit, Gilang langsung menggendongnya masuk. Kami segera menuju IGD. “Lang, gue mau beli minum dulu,” ujarku pada Gilang di saat sudah keluar dari ruangan, lalu menghampiri Bu Risma yang sekarang duduk di kursi tak jauh dari IGD. Di jalan menuju kantin, langkah kakiku seketika terhenti melihat seseorang yang baru saja berbelok menuju lorong lain. Seseorang itu fokus pada perempuan yang sedang didorongnya pada sebuah kursi roda. Siapa kah perempuan itu? Jadi, sibuk yang Mas Pras bilang adalah ini? Aku memang tak pernah berpikir ke mana-mana, mengenai dia yang sering tiba-tiba pergi begitu saja dan menjauh ketika angkat telepon. Apa perempuan itu merupakan seseorang yang spesial baginya? Perempuan yang duduk di kursi roda yang didorong oleh Mas Pras itu terlihat cantik meski tampak pucat karena sakit.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN