Bab 3. Kamu ...

1003 Kata
Icha tersentak kaget, ketakutan mendengar suara laki-laki tepat di belakangnya. Cepat-cepat dia memperbaiki celananya, dan berbalik menoleh. “Maaf, Pak. Maaf. Saya mohon jangan laporkan saya,” mohon Icha dengan perasaan cemas. Laki-laki tampan itu juga tampak terkejut dengan apa yang baru saja dia saksikan, seorang gadis mendesah pelan sambil menyentuh miliknya sendiri. “Kamu. Ngapain sampai melakukan ini?” Pria itu masih memandang heran dan ada perasaan jijik melihat Icha. Icha sadar apa yang dia lakukan adalah salah. Dia berlutut di depan pria itu, menundukkan kepalanya dalam-dalam, dan memohon agar pria itu tidak melaporkan perbuatannya ke orang lain atau mungkin pihak kampus. “Saya mohon, Pak. Saya mohon.” Icha langsung menangis sejadi-jadinya. Tampaknya pria itu luluh dengan sikap Icha. “Saya baru satu kali, Pak. Saya janji nggak akan melakukannya lagi,” mohon Icha dengan sungguh-sungguh. Pria itu menghela napas panjang, dia memundurkan kakinya agar tidak lagi dipeluk Icha. “Sudah, sudah … saya nggak akan laporkan kamu,” ujarnya kemudian. Icha yang sangat malu, bangkit dari sujudnya, dengan cepat ke luar dari sudut ruang itu menuju mejanya. Icha membereskan mejanya dengan cepat, menutup laptop dan memasukkannya ke dalam ranselnya, juga alat-alat tulis yang berserakan di atasnya. Icha tanpa mau menoleh lagi ke wajah laki-laki itu, bergegas meninggalkan perpustakaan. Dia malu sekali. Pria itu tertegun sejak melihat Icha membereskan mejanya yang dipenuhi buku-buku dan laptop, dia dengan cepat menduga bahwa gadis itu pasti mahasiswi tingkat akhir, terlihat dari buku perpustakaan yang tergeletak di atas meja, dan salah satunya adalah buku panduan skripsi. *** Icha menggigit bibir bawahnya mengingat kejadian yang sangat memalukan tadi di perpustakaan, dia masih mengingat wajah pria berkemeja putih rapi yang menegurnya, berharap esok tidak ada kabar buruk untuknya. Icha memegang setir mobilnya lebih erat, membuang pikiran buruknya dan fokus ke jalanan menuju pulang. *** Icha akhirnya berhasil menenangkan diri setelah kejadian yang memalukan di perpustakaan kampus. Mengingat ekspresi wajah pria yang menengurnya, dia yakin pria itu tidak akan mengadu atau melaporkan perbuatan mesumnya kepada siapapun, terutama pihak kampus. Icha tersenyum tipis mengingat wajah pria itu, yang menurutnya sangat tampan dan kebapakan, dan parfumnya juga wangi dan menenangkan penciumannya hingga perasaannya. Icha masih mengingat aroma parfum lembut itu sampai sekarang. Icha menepis perasaan galaunya, dan bersiap ke kampus lagi, dia sudah membuat janji bertemu dosen pembimbingnya di kantor akademik, melaporkan proposal yang sudah dia tulis. Icha sudah tidak mempersoalkan dosen pembimbingnya yang bernama Dirandra, yang dikenal tegas dan enggan memberi keringanan kepada mahasiswa bimbingannya. Icha juga juga enggan mengganti dosen pembimbing karena tidak mau berpolemik. Baginya ini kesempatan besar memiliki dosen lulusan Amerika Serikat itu dan yakin hasil bimbingannya akan sangat baik. Icha sudah duduk di bangku tunggu di depan ruang kerja Dirandra. Ternyata ada tiga mahasiswa dan satu mahasiswi yang juga menunggu. Icha tidak mengenal mereka, dia mendengar bahwa mereka sudah semester belasan. “Hei. Kamu pacarnya Geo, kan?” Salah seorang mahasiswi bimbingan Pak Andra menegur Icha. Maklum, Geo sangat dikenal di kampus, dan dia merupakan aktifis yang gagah dan disukai banyak mahasiswi dan staf-staf perempuan yang masih muda. Tentu saja banyak yang mengenal Icha, sebagai pacar Geo. Icha menggeleng. “Aku udah nggak sama dia,” jawabnya cuek, gerah mendengar nama Geo yang sekarang sudah menjadi masa lalunya. “Oh, udah putus, toh. Pantes….” Mahasiswi itu manggut-manggut, seperti mengingat sesuatu tentang Geo. Icha tidak memperdulikannya, tapi dalam hati dia yakin bahwa Geo pasti sedang jalan dengan seseorang. Beberapa menit telah berlalu, tampaknya mahasiswa yang baru saja ke luar dari ruangan Andra tidak begitu semangat. “Banyak banget perbaikan skripsi gue, mau ganti dosen pembimbing rasanya.” Mahasiswa itu bergumam dengan nada kesal. Ada mahasiswa lainnya yang ingin melihat skripsinya. “Ah, tanggung nih, Ad. Masih bisa diperbaiki, bab analisa doang, kan? Yang lain, kan udah beres … tinggal dikerjain doang.” Mahasiswa lainnya memberi semangat kepada mahasiswa yang baru saja ke luar dari ruangan Andra. Lalu keduanya pergi dari kantor akademik. Icha menghela napas panjang, gilirannya masih lama, dan harus menunggu tiga mahasiswi yang memang sudah datang lebih dulu darinya. Dia akhirnya memutuskan melihat-lihat tulisan proposal penelitiannya. Semua mahasiswa bimbingan Andra sudah mendapat bimbingan, dan mereka sudah pergi dari ruang akademik. Kini adalah giliran Icha, dia dengan percaya diri masuk ke dalam ruang kerja Andra. Betapa terkejutnya Icha, ternyata Andra adalah pria yang memergokinya saat dia melakukan sesuatu yang tidak pantas di perpustakaan. Pria itu mengerutkan dahinya saat melihat wajah Icha yang menahan malu sekaligus takut. “Silakan duduk!” perintah Andra. Reaksi wajahnya biasa saja, tapi Icha tahu bahwa kejadian yang memalukan di perpustakaan tempo hari itu pasti terpikirkan oleh Andra sekarang. Icha lemas, tapi tetap berusaha tenang. Mau bagaimana lagi? Tidak mungkin dia ke luar dari ruangan Andra. “Kamu … Marischa Elleina Richard.” “Iya, Pak.” Icha menyerahkan proposalnya ke hadapan Andra. Dia tampak lesu dan lemas. Andra mengambil lembaran proposal Icha dan membacanya sekilas. Icha melirik ke wajah Andra takut-takut, dengan kedua tangannya yang menumpu di atas pangkuannya. Andra memperbaiki kacamatanya dan menghela napas panjang. “Baik. Ini masih banyak yang harus kamu perbaiki. Kamu sudah kirim softcopy proposal ini ke WA saya?” “Sudah, Pak.” Andra mengangguk kecil. “Kamu bisa menyicil bab-bab berikutnya, ini proposal saya terima,” ujar Andra sambil menandatangani halaman depan proposal Icha. Icha merasa sedikit lega karena proposalnya ternyata diterima, dan dia bisa mengikuti tahapan selanjutnya. Proposal dikembalikan ke hadapan Icha, “Silakan!" ujar Andra, mengisyaratkan bahwa Icha boleh ke luar dari kantornya. Icha mengangguk dan tidak lupa mengucapkan terima kasih setelahnya. Dia berdiri dari duduknya dengan perasaan tenang, dan berjalan menuju pintu ruang kerja. Icha tampak ragu ke luar dan ingin bertanya tentang sesuatu hal kepada Andra. Namun, dia memutuskan pergi meninggalkan ruangan Andra. Icha tidak tahu, bahwa Andra ternyata diam-diam memperhatikan punggungnya saat ke luar ruangan. Andra menggelengkan kepala sambil menutup mulutnya, menahan senyum. Dia juga tidak menyangka bahwa gadis yang dia pergoki sedang memuaskan hasrat di perpustakaan tempo hari itu adalah salah satu mahasiswi bimbingannya. Andra memang memutuskan untuk diam dan tidak melaporkannya ke pihak kampus. Bersambung
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN