RAIN (2)

1037 Kata
   Surga bagi anak-anak SMA cukup simpel, pelajaran matematika yang rumit dengan guru killer yang kejam sejagat, tiba-tiba dikabarkan bahwa gurunya tidak masuk dan tak ada tugas sedikitpun. Guru yang bertugas piket pun hanya memesankan, "Jangan berisik!" Ya hanya itu, surga dunia bagi seisi kelasku kini. Namun, jangan heran dengan sebuah kelas di pelajaran jam kosong, jika kelas itu tidak berisik bukan anak SMA namanya. Kami adalah anak-anak yang tengah beranjak dewasa yang sesekali berani melanggar perintah, bukan lagi anak SD yang jika ada jam kosong, ketua kelas itu akan mengancam, "Yang berisik di catet!"    Di kelasku kini, sebagian besar murid wanita tengah bergosip membicarakan hal yang sama sekali tidak penting. Mulai dari tren rambut terbaru hingga akhirnya membicarakan harga high heels sang guru BK. Sementara sebagian anak laki-laki tengah bernyanyi dengan beberapa tepukan tangan, menggelar konser dadakan di tengah kesempatan, dan anak lelaki lainnya mencoret-coret papan tulis dengan gambar-gambar aneh dan tulisan tak penting.    Sedangkan aku hanya diam. Duduk di kursiku seraya mendengar lagu lewat earphone. Sesekali aku melirik tingkah teman-temanku yang masih lebih gila daripada yang aku deskripsikan, sesekali juga memejamkan mataku dan terbangun. Terus seperti itu hingga entah sudah berapa kali.    "Nathan masih nggak ada kabar?" ujar Melly sesaat setelah menyenggol sikuku.    Aku melepas earphoneku. "Enggak."    "Lo belom dateng ke rumahnya lagi? Atau kenapa lo nggak telpon dia?"    "Ngomong langsung lebih enak."    Hening sejenak.    "Eh, btw, lo sama si anak baru itu udah deket banget ya?" tanyanya lagi.    "Leo?"    Melly mengangguk.    "Gue sama dia apartemennya tuh sebelahan, jadi ya sering ketemu."    "Terus terus?"    Aku mengernyit. "Terus apanya?"    "Pasti lo ama dia udah jadian kan? Gue liat-liat kayaknya kalian berdua udah nggak bisa dibilang temen lagi."     Aku tertawa kecil. "Apaan sih lo."    Jawabanku ambigu. Antara iya dan tidak. Jika boleh jujur, aku ingin mengangguk dan mengatakan iya pada Melly. Namun, pada kenyataan aku dan Leo memang memiliki hubungan hanya sebatas teman. Mungkin.    "Kenapa nggak jadian aja sih? Gue ngedukung seratus persen. Lo sama Leo tuh cocok. Dan gue rasa, Leo juga suka sama lo, tapi dia masih gengsi aja buat ngomong."    "Masa?"    Melly mengangguk. "Cinta itu kadang bisa ditebak kadang enggak. Dan yang Leo lakuin ke lo itu, ketebak banget."    Rasanya, aku ingin mengiyakan perkataan Melly lagi. Namun, aku tak mau terlalu berharap, aku takut jatuh.    "Ya kalo dia cinta sama gue, tinggal bilang kan, tapi dia nggak pernah lakuin itu, Mel."    Melly menghela napas. "Yaelah Key. Cowok juga butuh kepastian, mungkin si Leo itu mau mastiin lo dulu, jadi dia masih nahan."    Aku terdiam, mencerna ucapannya.    "Meskipun cinta itu cuma satu kata, tapi dia punya seribu makna, dan cinta itu nggak sesimpel apa yang lo pikir," sambung Melly lagi.    Aku terkekeh. "Tumben lo bijak?"    "Yeee, diajak serius malah bercanda!" ***    Jam istirahat sudah tiba. Kali ini, aku ingin pergi ke kantin karena rasa lapar terus menyerangku. Namun kali ini, aku sendiri, Melly tak menemaniku, ia bilang ia pergi ke ruang guru karena ada urusan dengan wali kelas kami. Aku melangkahkan kakiku melewati ambang pintu kelas dan berjalan santai menyatu dengan para murid lain yg juga dilanda rasa lapar.    "Key!"    Langkahku terhenti dan aku lantas menoleh ke belakang. Aku tersenyum mendapati sosok itu berjalan mendekatiku. Dia Leo. Namun kini, sosok Leo yang kukenal sedikit tak terlihat. Bukan sosok menyebalkan dan ceria yang kulihat kini, tapi sosok lesu dan lemas yang justru kudapatkan.    "Kenapa lo? Keliatan lemes gitu? Muka lo ngeselin," ledekku.    "Tadi ada ulangan fisika dadakan. Gua semalem nggak belajar sama sekali, udah gitu tadi gurunya jalan-jalan terus keliling kelas, nggak bisa nyontek gua!" keluhnya.    Aku tertawa kecil. Aku tak menjawab apapun, membiarkan dirinya mengeluarkan seluruh keluh kesah yang kini ia rasakan. Seraya kami berjalan menuju kantin, Leo terus-menerus bercerita tentang ulangan fisika dadakan, guru killer, dan sulitnya dua puluh soal yang ia hadapi tadi. ***    Aku berdiri tepat di depan kelas kini. Menunggu Leo yang masih berada dalam kelasnya juga menunggu hujan reda untuk kami pulang.    "Key?"    Aku menoleh dan tersenyum mendapati dirinya berdiri di hadapanku bersama beberapa teman lelakinya.    "Sori ya, nggak bisa pulang bareng. Gua harus ngerjain tugas kelompok sama temen-temen gua."    Ucapan singkat itu berhasil membuat diriku sedikit lemas, namun berusaha untuk tetap tersenyum.    "Oke. Nggak pa-pa. Gue bisa pulang sendiri kok."    Leo tersenyum. "Sori banget."    "Iya nggak pa-pa."    "Hati-hati ya, gua nggak bisa jagain lo sekarang."    Aku tersenyum dan mengangguk. Lantas melihat Leo dan teman-temannya pergi bersama mobil yang dimiliki salah satu dari mereka.    Sepi. Aku sendirian kini. Tak ada yang menjemputku. Tak ada payung ataupun jas hujan. Aku sungguh tak sangka siang ini akan hujan begitu deras, padahal tadi, matahari bersinar begitu cerah. Memang, kini cuaca sedang tidak stabil, hujan sering sekali datang tiba-tiba. Tapi sekarang, kurasa sungguh bukan waktu yang tepat.    Tak ada pilihan lain. Daripada menunggu lama hingga hujan dihadapanku berhenti, aku memilih berlari menerobos hujan deras ini. Baru beberapa langkah aku berlari, rambutku sudah sepenuhnya basah. Seragam sekolahku juga perlahan basah kuyup, hingga aku tak bisa merasakan hal selain dingin kini. ***    Aku berlari melewati halaman apartemen luas ini. Tanganku sudah kudekap ke tubuh. Bibirku bergetar, bahkan memucat. Kakiku juga entah akan kuat berapa langkah lagi untuk bisa sampai ke kamar apartemen di atas sana.    "Keyrina!"    Suara deras hujan yang menghantam tanah berhasil membuat panggilan namaku terdengar samar. Namun aku tetap menoleh ke belakang, memastikan siapa yang memanggilku. Mataku tak salah lihat. Lelaki itu bergegas keluar dari mobilnya dan berlari kencang mengejarku. Ia melepas jaket yang ia kenakan dan ia balutkan di tubuhku. Ia tak bicara sedikitpun. Tanpa izin, ia mendekapku dan menuntunku berjalan saat kini aku hampir saja terjatuh.    Lelaki itu kak Nathan.    Kami berjalan hingga akhirnya tiba di dalam apartemen. Meski masih terasa dingin karena udara AC yang menyerang, entah kenapa aku merasa tenang. Untuk pertama kalinya, aku tak memberontak pada kak Nathan. Tangan itu kubiarkan melingkar di tubuhku dan sesekali mengusapku pelan. Aku tersenyum dalam kesembunyian. Sosok yang kurindukan kini kembali datang. Kupikir kak Nathan sudah tak sudi datang karena lelah dengan sikapku. Namun, kupikir aku salah. Jika aku memiliki sedikit lagi keberanian, aku ingin memeluknya. Namun kini, rasanya tanganku sudah membeku di tempat. ***

Baca dengan App

Unduh dengan memindai kode QR untuk membaca banyak cerita gratis dan buku yang diperbarui setiap hari

Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN