PROBLEM

1264 Kata
23.18    Aku menghela napas sesaat setelah melihat angka itu di layar ponselku. Aku segera mematikannya dan meletakkan benda persegi itu di atas laci kecil sebelah tempat tidurku. Aku terdiam sejenak kala mendapati lembaran foto yang sedari aku pulang sekolah tadi kuletakan di atas laci itu. Lembaran foto pemberian Leo siang tadi. Aku mengambilnya, dan sambil berbaring di atas kasur kini, aku menatapnya. Aku menghela napas panjang. Entah kenapa sosok kak Nathan kecil dalam foto itu menjadi pusat perhatianku.    Sedari tadi, aku menunggu di sini. Bolak-balik pergi ke balkon dan memastikan, apakah ada mobil hitam yang datang? Dan jawabannya tidak. Semua mobil hitam yang ada di parkiran apartemen bukanlah milik sosok kecil yang menjadi pusat perhatianku dalam foto ini. Aku melirik sosok di sebelah kak Nathan dalam foto itu. Sosok tampan bak pangeran muda yang tersenyum hangat itu berhasil membuat hatiku bergetar. Richard Fernandez William. Sosok yang entah telah berapa lama tak pernah kupandang lagi.    Tanpa sadar, sebulir air mata telah mengalir mulus di pipiku. Ini salah satu kelemahanku, entah kenapa, setiap berpikir tentang kak Richard aku akan menangis.    "Nangis itu enggak berguna."    Aku mendongak menatap kak Richard yang entah kapan berdiri di hadapanku. Ia kini berlutut dan menjajari posisiku yang bersembunyi di bawah meja makan. Kak Richard, dengan banyaknya luka dan lebam di wajah tampannya tak membuatnya sungkan menghiburku. Namun aku masih menangis, seraya memeluk boneka beruang kesayanganku, aku pasrah mendengarkan kegaduhan pertengkaran Mama dan Papa dengan segala ketakutanku.    "Kakak di sini. Nggak usah takut," ujarnya lembut.    Ia semakin mendekat dan memelukku erat. Aku bisa merasakan tangan yang melingkar di tubuhku bergetar ketakutan, aku juga bisa mendengar jelas suara degup jantung kak Richard bahkan berdetak lebih keras daripada aku. Aku mendongak menatap wajah tampan itu. Wajah yang selalu tersenyum dan digilai seluruh siswi sekolahnya kini penuh oleh luka. Luka pukulan kasar akibat sikap tak sadar Papa yang terpengaruh alkohol. Namun, aku tak mengerti kekuatan apa yang membuat kak Richard dengan segala kesakitannya masih bisa tersenyum?    "Kamu itu sama aja kayak laki-laki lain! b******k!"    "Kamu bilang apa?! Hah?! b******k?! Kamu nggak sadar kalo kamu sendiri itu kayak w************n!!!"    Aku mengeratkan pelukanku. Tak kuasa lagi menahan ketakutan dengan kata-k********r antara orang yang seharusnya saling mencintai. Aku masih tiga tahun, tak mengerti apa itu cinta dan apa itu perceraian. Namun, kata-kata itulah yang senantiasa kudengar kala pertengkaran hebat terjadi lagi dan lagi.    "Kakak, Mama sama Papa bakal baikan kan? Bilang mereka, aku janji nggak akan minta banyak mainan lagi asal mereka berhenti berantem," ujarku sambil menangis terisak.    Kak Richard tersenyum. "Mereka akan baik-baik aja. Kamu nggak usah takut."    Aku tak tahu apa yang harus kulakukan kini selain menangis. Kak Nathan bahkan kini sedang brutal di kamarnya, membanting semua benda yang ada, terdengar jelas dari suara kehancuran dari dalam kamar yang tak jauh dari posisi kami. Kuyakin, kak Nathan merasakan ketakutan yang sama dengan diriku, ketakutan besar yang tak akan pernah bisa dideskripsikan dengan kata-kata. Namun, masih ada satu hal yang menjadi pertanyaanku. Aku sama sekali tak mengerti mengapa kak Richard begitu kuat menahan semua kehancuran ini. Tubuh bergetar dan degup jantung keras itu sudah menggambarkan ketakutan besar yang juga kak Richard rasakan. Namun, entah kekuatan apa yang Tuhan beri padanya hingga ia masih bisa tersenyum dan bersikap sekuat baja, atau mungkin lebih dari itu.    "Key, everything is gonna be allright." *** Clak!    Aku mematung pada posisiku. Bagaimana tidak, baru saja aku membuka pintu dan akan pergi sekolah, namun Leo lagi-lagi sudah berada di luar, tengah bersandar dengan segala kekerenannya.    "Cewek tuh kalo dandan berapa lama sih? Gua udah nunggu disini dari tadi, kenapa lo baru keluar?" gerutunya.    "Ngapain lo disini?"    "Ya mau berangkat bareng lah, masa iya gua mau numpang ke toilet."    Aku hanya terdiam. Leo kini melihat jam yang melingkar di tangannya, dan berdecak pelan.    "Udah, ayo berangkat. Ini hari kedua gua sekolah, gua belom mau nyari masalah."    Tanpa seizinku, Leo menarik dan menggenggam tanganku begitu saja. Tangan halus yang sejak awal sudah kukagumi kini kembali kurasakan. Aku tak akan mengelak kejadian ini. Justru ini yang kuharapkan. ***    "Key, minjem catetan biologi lo! Nggak pake alesan, sini cepetan!!" baru saja aku ingin duduk, Melly sudah menyanderaku dengan kalimat itu.    Tak bisa dipungkiri, Melly si pemalas pasti belum menyelesaikan catatan biologi yang memang tugas dari guru bidang studi tersebut. Aku tak pikir panjang, segera mengeluarkan buku itu dan memberikan padanya.    "Huhh..." aku menghela napas panjang kala berhasil duduk dengan nyaman setelah lelah berlarian tadi.    "Keyrina ada yang nyariin elo!" Teriak Arin yang baru saja memasuki pintu kelas.    Aku kembali menghela napas panjang. Baru saja bokongku kuletakan di kursi, kini sudah harus berdiri lagi. Setelah di ambang pintu, aku melihat seorang lelaki yang kini tengah balik badan hingga wajahnya tak terlihat. Namun aku tahu pasti itu siapa.    "Leo?"    Ia menoleh dan tersenyum canggung padaku. Ia lantas memberiku satu dari dua botol minuman dingin yang ia bawa.    "Ini buat lo. Gua tau pasti lo aus. Sori ya tadi gua ajak lari, abis gua pikir kita udah terlambat," perjelasnya.    Aku menerima minuman itu, dan mengangguk. "Iya nggak pa-pa."    "Cieee Keyrina. Pajak jadian nya jangan lupa!" Ledek teman sekelasku yang baru saja datang dan melihatku bersama Leo di depan pintu.    Leo makin canggung. "Ehmm. Iya udah deh, gua balik ke kelas aja ya," ujarnya lantas pergi setelah aku mengangguk. Aku menatap sejenak minuman itu dan segera masuk ke kelas.    "Cieee, siapa tuh Key?" tanya Gita.    "Pasti mah calon. Bentar lagi juga jadian. Ye gak?" jawab Arin seenaknya.    "Perhatian amat sampe dibeliin minuman gitu," ujar yang lain.    "Lumayan tuh Key. Sikat aja. Kalo gue jadi lo sih status gue udah bukan jomblo lagi sekarang."    "Yah, maunya ama yang ganteng. Dulu lo gua tembak di tolak. Huuu, dasar cewek!"    Itu setidaknya ledekan yang teman-temanku berikan. Aku hanya bisa tertawa kecil membalas semua itu dan lanjut berjalan menuju tempat dudukku tanpa peduli ledekan lagi. ***    "Ah, anjir. Gua udah nyalin catetan lo capek-capek ternyata gurunya nggak masuk. Mendingan tadi gue tidur dah!"    Aku tertawa kecil mendengar Melly menggerutu kesal karena guru biologi di pelajaran pertama kami ternyata tidak masuk karena sakit. Ini memang aneh. Di saat guru sedang sakit, kebanyakan murid justru senang karena pelajaran akan kosong, tak perlu lagi mendengar ocehan penjelasan ataupun mengerjakan tugas yang rumit, begitupun dengan aku.    "Key, nggak bete apa lo?" tanya Melly di sebelahku.    "Bete."    Melly menghela napas. "Nathan apa kabar?"    Aku mengangkat bahu. "Nggak tau."    "Kangen gue sama dia."    Aku terdiam.    "Nathan itu...    "Keyrina, ada yang nyariin lagi!" teriak Arin dari ambang pintu.    Aku beranjak berdiri dan menghampiri pintu depan. Sosok bocah lelaki yang tak asing bagiku kini berdiri di hadapanku.    "Kenapa?" tanyaku lembut.    Ia tak menjawab, ia memberiku selembar kertas, lantas aku melihatnya. Itu sebuah kertas ulangan. Nama Vikar tertera di sana, didekat angka dua koma lima yang ditulis besar dengan tinta merah.    "Nilai ulangan Vikar jelek lagi kak. Kertas ulangan itu harus di tanda tangan, tapi Vikar nggak berani bilang ke Mama atau Ayah," perjelasnya pelan.    "Kamu kok keluar kelas?"    "Lagi pelajaran olahraga, terus Vikar ke sini."    Aku mengelus pelan kepalanya. "Nanti kertasnya kakak tanda tangan, kamu balik ke lapangan sana, nanti kalo ketauan kabur kena hukum loh," ujarku.    Perlahan, Vikar melangkah pergi dari hadapanku, aku juga tak langsung masuk kelas, melihatnya dulu hingga benar-benar pergi. Langkahnya kian menjauh dariku. Namun, entah ketika langkah keberapa sudah ia tempuh, ia berlari kembali menghampiriku.    "Kakak, bawa Vikar pergi sama kakak, Vikar nggak mau di rumah." ***
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN