SORRY

1328 Kata
   Pagi ini, aku tengah berjalan di sebuah komplek perumahan. Bukan rumah Mama ataupun rumah Papa, namun kali ini aku ingin pergi ke rumah Melly. Ting tong... Ting tong...    Aku tersenyum manis ketika Mama Melly membuka pintu dan menyambutku.    "Tante, Melly nya ada?" tanyaku sopan.    "Ada di kamarnya, masuk aja," balasnya.    Aku pun masuk dan menapakkan kaki di dalam rumah Melly, lantas sang Mama menyuruhku untuk pergi ke kamar Melly yang berada di lantai dua.    "Kalo mau minum atau makan pergi ke dapur aja ya, nggak usah sungkan," tawar Mama Melly.    Aku tersenyum ramah dan mengangguk pelan, merespon sikap yang tak pernah lagi bisa kutemukan dalam diri Mama. Aku dan keluarga Melly memang sudah dekat, seperti keluarga sendiri, bahkan mungkin orang tua Melly lebih menganggapku anak dibanding orang tuaku sendiri. Aku sering pergi ke rumah ini di sela-sela waktuku, bermain ataupun mengerjakan tugas bersama Melly dan melakukan hal lain. Karena itu, keluarga kecil di rumah ini banyak mengerti tentang diriku. Clak!    Aku terdiam sesaat ketika melihat pemandangan didepanku. Melly di sana, di atas tempat tidur, membalut dirinya dengan selimut dan terpejam. Aku sungguh tak percaya, anak gadis semacam Melly masih tertidur ketika jarum jam hampir menunjukkan angka sepuluh. Dasar pemalas.    "Mel, bangun. Udah siang!" Ujarku sedikit berteriak.    Aku menutup pintu dan menghampiri Melly, lantas memukul-mukul tubuhnya.    "Bangun woy! Udah jam berapa ini?!!"    Melly menggeliat dan menatap sesaat diriku, lantas kembali tertidur.    "Bangun Mel!!! Kebo lo ah!"    "Ngapain lo kesini? Masih pagi-pagi buta gini udah ganggu orang tidur aja!" gerutunya dengan suara lemah khas orang mengantuk.    "Pagi-pagi buta apanya?!! Ini udah hampir jam sepuluh!"    Melly tak menjawab, ia justru menarik selimutnya dan membalut dirinya hingga kepala. Aku menghela napas panjang, lantas duduk di sisi ranjang miliknya. Aku membuka selimut itu perlahan hingga kepala Melly kembali terlihat. Aku mendekatkan bibirku ke telinga Melly.    "Mel, ada kak Nathan Mel," ujarku pelan    Melly segera berdiri dari posisinya dan berlari menuju kamar mandi di dalam kamarnya. Aku hanya menatapnya kaget. Secepat itukah responnya untuk seorang pengecut macam kak Nathan?    Aku menggelengkan kepalaku heran. Lantas aku membaringkan diri di ranjang Melly. Clak!    Melly keluar dari kamar mandi. Wajahnya sudah ia basuh dan tak menampakkan sedikitpun wajah bantal khas orang bangun tidur sepertinya.    "Mana Nathan?" tanyanya seraya menatapku.    "Nggak ada."    "Loh dia kemana? Udah pulang?"   "Emang dia dari tadi nggak ada di sini."    "Anjir, jadi lo bohong sama gue?!"   "Hm."    Melly menghela napas kesal. Lalu ia berjalan gontai menghampiriku dan berbaring di sampingku.    "Ada apa sih Key?"    Aku menatap Melly yang kini menguap.   "Lo tau alamat rumah kak Nathan nggak?"    "Tau."    "Kasih tau gue."   "Buat?" Melly diam sejenak. "Lo mau ke rumah cogan itu ya? Iya kan? Iya kan? Gue ikut dong!"    "Nggak usah."    "Ihh kok lo gitu? Gua kan juga kangen sama dia. Udah lama nih gue nggak liat muka ganteng kakak lo."    "Bodo."    Melly lagi-lagi menghela napas panjang.    "Cepetan catet alamat rumahnya!" Perintahku.    Melly menatapku kesal dan mengambil selembar kertas di atas meja belajarnya lantas menulis alamat yang kuminta.    "Nih!"    Aku mengambil lembar kertas itu. Aku lantas tersenyum semanis mungkin dan mencubit pipi Melly gemas.    "Makasih ya cantik. Nanti gua bakal rajin-rajin kasih contekan ke lo deh," ucapku sok manis.   "Sok imut lo. Jijik gue ah."   Melly lantas membaringkan lagi tubuhnya di atas ranjang tidur dan menarik selimut itu lagi untuk membalut tubuhnya.    "Yaudah makasih ya, gue pergi dulu."    "Hm."    Melly lantas memejamkan lagi matanya itu. Aku hanya terkekeh melihat sikap malasnya. Lantas sesegera mungkin aku pergi dari kamar ini.    "Loh, kamu mau kemana Key?" tanya Mama Melly ketika aku turun tangga.    "Mau pergi lagi Tante."    "Loh kok cuma sebentar, kirain mau pergi sama Melly."    "Enggak Tan, cuma ada urusan sebentar sama Melly," aku mengambil jeda. "Yaudah, Keyrina pergi dulu ya Tan."    Mama Melly tersenyum dan mengangguk, lantas aku berpamitan dan segera pergi dari rumah ini.    "Keyrina!"    Aku menoleh ketika mendengar namaku dipanggil. Aku melihat ke jendela di lantai dua itu, ternyata Melly yang memanggilku.    "Jangan lupa besok masuk sekolah. Pelajaran pertama bahasa Inggris, lo harus masuk karena gue butuh banget lo besok!" Teriaknya.    "Iya!"    Tanpa sepatah kata lagi, Melly kembali masuk ke dalam kamarnya dan menutup jendela itu. Aku pun lanjut berjalan menjauh dari rumah ini sambil sesekali melihat alamat rumah yang Melly berikan.    "Keyrina!"    Aku memutar bola mataku ketika mendengar suara itu lagi. Lantas aku menoleh dan mendapatinya dengan posisi yang sama seperti tadi.    "Titip cinta buat Nathan!"    Aku menghela napasku dan tak menggubris gadis malas di atas itu, lantas aku lanjut berjalan. ***    Aku menatap rumah besar dari balik gerbang di hadapanku ini. Aku menoleh kesana kemari, tapi tak ada yang aku temukan. Aku memencet bel di samping gerbang, tak ada yang merespon. Apakah Melly bercanda tentang alamat rumah ini?    Aku masih menatap ke sana. Tak ada satupun orang yang keluar. Aku makin heran. Apa ada orang di dalam?    "Cari siapa dek?"    Aku segera menoleh ke belakang di mana sumber suara itu berasal. Seorang perempuan dengan sekantung plastik di tangannya. Ia menatapku heran.    "Cari orang yang punya rumah ini Bu, tapi kok kayaknya nggak ada orang ya di dalem?" tanyaku sopan.    "Oh, Mas Nathan ya?"    Aku mengangguk.    "Dia mah emang suka pulang malem. Kadang malah suka nggak pulang. Temen saya yang jadi pembantu di rumah ini bilang katanya mas Nathan tuh sibuk dan lagi ada banyak masalah."    Aku mengernyit. "Masalah apa ya kalo boleh tau?"   "Kalo itu saya juga kurang tau dek."    "Terus kenapa nggak ada yang buka pintu dari tadi? Katanya temen Ibu jadi pembantu di rumah ini, berarti di dalem ada orang kan?"    "Setau saya, udah beberapa hari ini semua pembantu di rumah mas Nathan dikasih cuti, tapi nggak tau sampe kapan."    Aku mengangguk-angguk mengerti.    "Emang kamu siapanya mas Nathan?"    "Saya adiknya."    "Oh yaudah. Tunggu aja sampe mas Nathan pulang."    Aku tersenyum. "Iya Bu. Makasih ya."   Ia mengangguk dan pergi dari hadapanku. ***   Sekitar pukul sepuluh malam kini. Aku masih berada di depan rumahnya. Kakiku sudah pegal menopang tubuh, kepalaku pusing, dan mataku rasanya sesegera mungkin ingin terpejam. Namun, aku membunuh semua rasa lelah itu dengan berpikir bahwa kak Nathan sebentar lagi akan datang. Namun nihil. Rumah besar di hadapanku ini masih belum menunjukkan tanda-tanda kehidupan di dalamnya. Ini sudah malam, tapi lampu-lampu dalam rumah itu tak ada satupun yang menyala. Jika terus di perhatikan, rumah itu mungkin terlihat seperti rumah angker yang dihuni makhluk-makhluk seram di dalamnya. Aku berjongkok dan memeluk lututku. Lantas aku menangis. Mengapa ia tak kunjung datang?    Entah mengapa aku merasa bersalah padanya. Aku ingin kak Nathan datang tiba-tiba dan memelukku meski hanya sesaat.   "Papa, adek nakal!"    Aku terdiam ketika kak Nathan berteriak seperti itu. Ia menangis kini dan terus menatapku penuh kesal. Papa datang dan berjongkok menjajari posisi kak Nathan dan aku. Ia lantas menghapus air mata itu dari pipi kak Nathan dan tersenyum hangat.   "Robot mainan Nathan dirusakin adek," adunya, lalu kak Nathan menangis. Kak Nathan menunjukkan robot mainan yang tangannya putus itu pada Papa seraya masih menangis.   "Adek kan masih kecil, dia mungkin nggak sengaja. Dimaafin dong, kan kamu kakaknya harus bisa bersikap bijak," balas Papa lembut.    "Tapi dia nakal Pa."    "Kan robot mainan Nathan masih banyak, mainin aja yang lain, baikan sama adek terus main bareng ya."    Kak Nathan semakin menangis mendengar Papa lebih membelaku. Isak tangisnya makin deras dan terus semakin deras.    "Nathan, listen to me," ucap Papa membuat kak Nathan menatap Papa lekat. "Boys don't cry."    Isak tangis itu memudar. Hanya suara napas yang tak teratur yang terdengar kini. Aku menatap kak Nathan, lalu aku menarik pelan bajunya, membuatnya menoleh padaku.    "I'm sorry," ucapku, lantas perlahan melingkarkan tanganku di tubuhnya.   Kini rasanya, sikap itu harus benar-benar kulakukan kembali padanya. ***
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN