Yanan mengetuk-ngetukkan jarinya di meja komputernya. Pria itu tengah mengamati komputernya yang menampilkan game online babak terakhir. Pria itu mempause gamenya, pikiran Yanan masih berkelana pada gadis yang kemarin dia temui. Gadis bernama Shena yang membuat Yanan penasaran setengah pingsan.
Yanan membuka tab baru di komputernya, pria itu mencari bermacam-macam penerbitan di situs web. Yanan tampak serius mencari dengan berbagai kata kunci, mulai penerbitan indonesia, nama Shena, sampai judul buku pelan-pelan, mas. Semua tidak luput dari pencarian Yanan.
Yanan sangat penasaran dengan gadis cantik yang bernama Shena. Namun sayangnya dia tidak punya kata kunci lain selain nama dan judul cerita. Yanan hanya menebak kalau Shena adalah penulis buku yang berjudul Pelan-pelan, Mas. Sesuai dengan garskin laptop perempuan tersebut. Namun Yanan yakin seratus persen kalau tebakannya tidak melesat.
“Kapten lagi ngapain itu?” bisik Vero pada Varel. Varel menyusupkan kepalanya di antara komputer miliknya dan milik Vero guna melihat Kapten timnya. Yanan tampak serius dan tidak mempedulikan krasak krusuk dari anak buahnya.
Roland, Maxim, Darkan dan lainnya ikut melihat Yanan. Biasanya Yanan sangat peka, tapi kali ini Yanan terus fokus pada pencariannya yang sama sekali tidak membuahkan hasil. Nama Shena yang muncul malah aktris luar negeri, memakai kata kunci pelan-pelan, mas yang muncul malah hal mesuum.
Jiwa usil tidak bisa dihentikan di diri Vero meski sekuat tenaga dia menahannya. Vero berdiri, pria itu menuju ke Yanan. Mata Vero melihat seksama apa yang dilihat Yanan. “Pelan-pelan, Mas!” ucap Vero yang membuat semua orang tertawa. Sedangkan Yanan segera mengklik ikon silang di pojok kanan atas. Yanan menatap seluruh anak buahnya dengan pandangan datar.
“Kapten, kenapa Kapten sukanya yang pelan-pelan? Lebih enakan yang-”
“Daren, cukup!” sela Yanan dengan cepat saat Daren berbicara ngawur.
“Woaah … pelan-pelan, Mas. Terkesan ambigu dan-”
“Vero, kembali ke tempat kamu!” titah Yanan dengan tegas. Vero terkikik geli, remaja itu segera duduk di tempat yang semula.
“Kapten, kalau masalah yang iya-iya bisa tanya sama Pedrosa yang lebih pengalaman, atau sama Renaldi yang sama-sama punya pengalaman,” kata Lionel ikut bersuara.
“Sudah cukup. Kalian tidak tahu apa-apa,” kata Yanan.
“Bos, ada pertandingan yang mengundang kita sebagai pemain,” ucap Maxim tiba-tiba.
“Dari GSP?” tanya Yanan balik.
“Em,” jawab Maxim menganggukkan kepalanya.
Yanan memutar-mutar kursi yang saat ini dia duduki. GSP, tim game yang setiap bulan mengajukan pertandingan padanya. Gsp tidak pernah membawa pulang kemenangan, tapi tidak ada kapok-kapoknya menantang Yanan. Yanan tahu betul kapten GSP atau Games Squad Player, yaitu Duta yang memiliki nama game 77. Pria yang seumuran dengannya, tapi tidak pernah berpikir dewasa. Duta selalu mengajukan pertandingan, tapi saat kalah akan merusuh.
“Kita terima, Kapten?” tanta Maxim.
“Terserah kalian. Terima dan pulang jadi pemenang atau mengabaikan dan jadi pengecut,” jawab Yanan.
“Oke terima. Kita bukan pengecut!” ucap Vero memukul meja komputernya dengan semangat. Sontak kelakuannya mengundang banyak mata yang memandangnya.
“Tapi, Kapten. Sampai kapan kita meladeni mereka? Mereka hanya ingin mengambil posisi kita, diam bukan berarti kalah. Kasihan yang masih sekolah banyak tugas,” ucap Roland yang ikut bersuara.
“Kita tidak apa-apa. Pantang mundur saat ada yang mengajak perang,” ucap Varel menyela.
“Sebentar lagi kamu akan ujian, kalau kamu latihan game terus, bisa-bisa nilai kamu anjlok dan tidak bisa melanjutkan kuliah kamu,” ucap Roland dengan tajam.
Maxim menatap Yanan dan Roland bersamaan. Memang benar kalau Vero dan Varel akan ujian, tapi kalau tidak menerima tantangan ini, bisa menjatuhkan citra Cruash Club.
“Kapten, gimana? Tidak datang sekali tidak akan membuat kita kalah,” keukeuh Roland.
Yanan menatap Vero dan Varel bergantian, sedangkan yang ditatap menggelengkan kepalanya, “Kita tetap main. Jangan biarkan Duta mengambil posisi kita,” ucap Varel mengangkat tangannya. Remaja itu sangat keras kepala, ia ingin menang itu tandanya wajib berangkat.
Roland menatap tajam Vero dan Varel, tapi yang ditatap pura-pura tidak melihat membuat Roland berdecak kesal.
“Aku mewakili Kapten, menerima pertandingan itu,” ucap Maxim tiba-tiba.
“Yeyyy ….” Sorak Varel, Vero, Lionel, Pedrosa, Darkan dan Darren. Sedangkan Roland dan Renaldi, pria itu memilih kembali menghadap ke komputernya. Yanan menatap playernya satu persatu, pria itu pun memilih pergi dari rumahnya.
“Kapten, mau ke mana?” tanya Maxim.
“Nyari angin,” jawab Yanan.
“Ikut!” pekik Maxim yang segera mengejar Yanan. Yanan menganggukkan kepalanya, pria itu keluar dari rumahnya. Suasana di dalam rumah yang panas tidak sebanding dengan suasana di luar yang gerimis rintik-rintik. Yanan berbalik kembali mengambil payung di belakang pintu, pria itu segera membuka payungnya. Maxim segera bergabung dengan kaptennya.
“Kapten, mau ke mana, sih?” tanya Maxim.
“Hanya jalan-jalan.”
“Biar aku yang bawa payungnya.” Maxim mengambil alih payung Yanan.
Bibir Maxim kembali akan bersuara, tapi ia urungkan kembali. Ada banyak uneg-uneg yang disimpan Maxim, tapi bibirnya seolah kelu saat akan bersuara.
Di sisi lain, Shena tengah menaiki line menuju jalan Ahmad Yani, tepatnya di toko buku bookmedia. Shena turun dari line dan segera berteduh di emperan toko yang sedang tutup. Toko buku masih ada di seberang jalan, tapi hujan yang semula hanya gerimis menjadi sangat deras.
Shena merutuki dirinya sendiri yang tidak membawa payung, dan Line yang menurunkannya tidak tepat di sisi kanan tempat Bookmedia. Melihat ke toko buku, sudah ramai dengan para remaja yang sudah pasti menantikan dirinya untuk bersapa ria.
Dari kejauhan, mata Yanan menyipit melihat perempuan yang tidak asing di matanya. Yanan tersenyum kecil saat ia sadar bahwa perempuan yang tengah berteduh di emperan toko adalah Shena, penulis mesuum yang kerap dia temui di Lugo Cafe.
“Kapten, ada apa?” tanya Maxim saat Yanan hanya terdiam, tidak melanjutkan jalannya.
Tanpa sepatah kata pun Yanan merebut payung yang dibawa Maxim.
“Eh eh … mau dibawa kemana payungnya?” tanya Maxim saat Yanan pergi melenggang begitu saja, sedangkan Yanan membiarkan Maxim kehujanan.
“Kapten, mau ke mana?” tanya Maxim berteriak. Yanan tidak mempedulikan, pria itu menuju ke tempat Shena berdiri.
“Butuh payung?” tanya Yanan yang membuat Shena menoleh.
“Kamu?” tanya Shena menatap Yanan dari atas sampai bawah.
“Kita belum kenalan secara resmi setelah bertemu di cafe Lugo. Aku Yanan,” ucap Yanan mengulurkan tangannya terlebih dahulu.
“Dasar pria gila,” umpat Shena memalingkan wajahnya.
“Butuh payung?” tanya Yanan lagi tidak menyerah.
“Tidak butuh kalau itu payung kamu,” jawab Shena dengan tajam.
“Kak Shena … Kak Shena ….” teriak suara para remaja di seberang toko buku. Shena melambaikan tangannya pada para penggemarnya.
Yanan menatap Shena dan beberapa orang di luar toko buku. Yanan menganggukkan kepalanya, sekarang dia yakin kalau Shena memang penulis dan akan bertemu dengan penggemarnya.
“Lihat, penggemarmu sudah menunggu!” ucap Yanan.
“Bukan urusan kamu,” sinis Shena.
“Tidak perlu gengsi, ini payung!” Yanan kembali menyodorkan payungnya. Shena menatap Yanan dengan lekat, tangan perempuan itu merebut payung milik Yanan. Tangan kiri Yanan yang semula memegang payung pun langsung terlepas begitu saja, digantikan tangan kanan Yanan yang memegang tepat di atas tangan Shena. Shena ingin menepis tangan Yanan, tapi tangan Yanan mencengkramnya dengan erat.
“Ayo jalan!” ajak Yanan seraya tersenyum. Yanan berjalan terlebih dahulu, mau tidak mau Shena pun ikut berjalan karena tangannya yang memegang payung dicengkram erat oleh Yanan.
Kini kedua orang asing itu saling berbagi payung di derasnya hujan yang mengguyur kota Surabaya. Tubuh Yanan dan Shena saling berdekatan, Yanan tidak bisa menahan kedutan bibirnya untuk tersenyum. Sedangkan Maxim menatap Yanan dan Shena dengan mulut yang menganga lebar. Ia ditinggalkan sendirian sedangkan Kaptennya asik dengan perempuan.