Maya’s POV
Pesawat United yang membawaku terbang dari San Francisco akan transit dua jam di Jakarta sebelum melanjutkan perjalanan ke Bali. Aku memutuskan untuk berhenti di Jakarta saja, menghindari kejaran dua lelaki yang ingin membunuhku. Sesampainya di Jakarta, secepat kilat aku turun dari pesawat dan menuju toilet untuk meredakan degup jantungku serta mencari cara menghindari kedua lelaki itu.
Di toilet, aku melihat seorang wanita ground staff salah satu maskapai sedang merapikan makeup-nya. Ide brilian muncul di kepalaku. Dengan langkah ragu, aku menghampiri wanita yang tampak modis dan cantik itu, kontras dengan penampilanku yang tanpa makeup, berkacamata berbingkai bulat dengan wajah tak terawat khas peneliti.
"Maaf Nona, aku ingin membuat kejutan untuk suamiku yang akan tiba sebentar lagi dari Singapura. Kami naik pesawat yang berbeda dan berjanji bertemu di Jakarta sebelum melanjutkan perjalanan ke Bali untuk merayakan ulang tahun pernikahan kami yang ketiga," kataku, berusaha menenangkan rasa sakit di hatiku saat menyebutkan kata suamiku dan teringat Arya. Aku tidak sepenuhnya berbohong; bulan depan memang seharusnya aku dan Arya merayakan ulang tahun pernikahan kami yang ketiga.
"Selamat, Bu! Apa yang bisa saya bantu?" tanyanya ramah. Orang Indonesia memang terkenal dengan keramahannya yang luar biasa.
Aku berkata lirih, "Bisakah kamu membantu merias wajahku supaya suamiku terkejut saat bertemu denganku. Selama pernikahan kami, dia tidak pernah melihatku menggunakan make up.”
"Tentu bisa, Bu. Sini saya bantu. Pasti suami Anda akan pangling melihat Anda saat dia turun dari pesawat."
Tangannya mulai bergerak lincah, merapikan alisku, membubuhkan foundation, eyeshadow, dan semua teman-temannya yang selama ini tidak pernah aku miliki karena aku lebih memilih berkutat dengan penelitian di laboratorium.
"Ibu, Anda sebenarnya memiliki kontur wajah yang sangat sempurna. Tulang pipi Anda tinggi dan mata Anda begitu indah. Mungkin Anda sangat sibuk sehingga tidak sempat berdandan. Silakan buka mata Anda, Bu, dan lihat betapa cantiknya diri Anda," kata wanita baik itu.
Perlahan aku membuka mataku. Aku terkejut melihat bayangan di cermin menunjukkan seorang wanita yang begitu cantik sempurna.
"Ibu pasti akan tambah cantik kalau memakai softlens, dan mungkin akan tampak lebih segar jika rambut panjang Ibu digunting pendek," katanya memberi saran.
"Bisakah kamu membantuku mengguntingnya sekarang? Aku lihat kamu memiliki gunting di tas makeup-mu," kataku memohon, karena jika rambutku dipotong pendek, pasti para pembunuh itu tidak bisa menemukanku. Gunting rambut adalah langkah brilliant tercepat untuk merubah total penampilanku.
"Yakin Ibu mau kugunting rambutnya sekarang?"
"Yakin, biar suamiku benar-benar pangling."
"Baiklah, kebetulan aku belajar menggunting rambut di salon sebelum dapat panggilan kerja sebagai ground staff." Perempuan ramah itu menutup badanku dengan selembar kain putih dan mulai menggunting rambut panjang yang selalu kuikat sembarangan tanpa perawatan apa pun.
"Rambut Anda juga sangat bagus, Bu, hitam dan berkilau."
Beberapa saat kemudian, aku kembali takjub pada wajahku yang tampak segar dengan rambut bob pendek dan wajah sempurna dengan makeup. Hilang sudah wajah kuyu dan tak terawatku.
"Nanti tinggal beli contact lens, Bu. Suami Anda pasti pangling."
"Sebenarnya aku masih bisa melihat tanpa kacamata, minusku masih rendah. Hanya kebiasaan saja aku memakai kacamata supaya pandanganku lebih tajam saat melihat layar pe...… " aku tersentak, tidak boleh mengatakan kepadanya kalau aku memerlukan kacamata untuk obyek penelitianku. Aku tidak boleh percaya pada siapa pun. Kata-kata Arya kembali terngiang di telingaku.
"Oh, Ibu bekerja di balik layar ya?" tanyanya menebak lanjutkan perkataanku
Aku cepat-cepat mengangguk, agar dia tidak bertanya lebih lanjut "Haruskah aku membayarmu?"
"Tidak usah, Bu. Anggap saja hadiah pernikahan dariku untuk Ibu agar suami Ibu pangling saat melihat Ibu," katanya ramah.
"Terima kasih ya. I really appreciate it," kataku sambil menjabat tangannya.Menyimpan kacamata bulatku di tas agar para pemburuku tidak mengenaliku.
Aku segera pamit pada wanita ramah ini , lalu keluar dari toilet dengan langkah yakin menuju antrean Visa on Arrival. Dari sudut mataku, aku melihat dua lelaki tinggi besar yang celingak-celinguk dengan wajah penuh kegelisahan, mencari sosok yang mereka buru, yaitu aku. Aku harus melewati mereka tanpa menarik perhatian dan berharap mereka tidak menyadari perubahan drastis pada penampilanku. Aku harus tetap tenang, tapi setiap detik terasa seperti perangkap yang siap meledak.
Saat aku berusaha melangkah dengan tenang, tiba-tiba salah satu dari mereka menoleh ke arahku. Pandangan kami bertemu sekejap sebelum aku segera memalingkan kepala dan mempercepat langkah. Hatiku berdebar kencang, apakah mereka mengenaliku? Dengan napas tertahan, aku berusaha mengendalikan kepanikan yang mulai berjalan akhirnya aku berhasil melewati mereka .
Dengan ujung mataku, aku terus mengawasi gerak-gerik mereka. Aku tidak bisa lengah. Bahaya yang mengintai lebih dekat dari sebelumnya.
Setelah melewati pemeriksaan, aku keluar dari area bandara. Langkah pertama yang harus aku lakukan adalah pergi ke mal, membeli makeup, baju, dan memikirkan di mana aku harus bersembunyi sampai keadaan kembali tenang. Langkahku berikutnya harus direncanakan dengan hati-hati. Aku tahu satu hal pasti , aku belum sepenuhnya aman sampai penelitianku bisa kupaparkan ke dunia. Aku ingin semua manusia bisa mendapatkan air bersih dengan murah dan efisien. Bahaya masih tetap mengintai, dan perjuanganku baru saja dimulai.
Sambil berjalan menuju taksi, aku merasakan ketegangan yang menggantung di udara. Setiap orang yang berlalu lalang tampak seperti ancaman potensial. Mataku terus-menerus mencari tanda-tanda bahaya. Saat aku akhirnya duduk di dalam taksi, memberi tahu sopir ke mana tujuanku dengan suara bergetar.
“ Tolong ke mall terdekat.”
Sopir mengangguk, dan taksi mulai bergerak. Namun, perasaan waspada tetap tidak meninggalkanku. Aku melihat ke belakang, memastikan tidak ada yang mengikuti. Jalanan Jakarta yang sibuk menjadi latar belakang yang kontras dengan kekacauan batinku. Aku mencoba menenangkan diri, tapi bayangan dua pria itu terus menghantui pikiranku.
Setibanya di PIK AVENUE Mall, aku langsung menuju toko pakaian. Aku memilih beberapa pakaian kasual yang tidak mencolok dan cepat-cepat menuju kasir. Aku membayar dengan uang tunai karena tidak mau ada jejak digital pemakaian kartu kreditku.
Setelah itu, aku bergegas ke toko kosmetik, membeli semua yang aku butuhkan untuk menjaga penampilan baruku supaya tidak dikenali.
Langkah-langkahku cepat dan tidak beraturan, mencerminkan kepanikan yang berusaha aku sembunyikan.
Saat keluar dari toko kosmetik, tiba-tiba aku melihat dua sosok lelaki. Mereka! Kedua lelaki itu berada di lantai yang sama, berjalan perlahan dan memeriksa setiap wajah yang mereka lihat. Bagaimana mereka bisa mengikuti aku? Apa mereka memasang alat penyadap di badanku atau handphoneku? Aku berusaha tetap tenang, tetapi keringat dingin kembali mengalir di kening ku. Mereka belum melihatku, tapi aku tahu ini hanya masalah waktu sebelum mereka menyadari keberadaanku. Aku bergegas kembali ke toko pakaian dan menyambar beberapa baju lagi, lalu menuju ruang fitting, mengeluarkan semua isi tas ranselku dan memeriksa semua barang-barangku dengan teliti, ternyata ada pulpen tracker penunjuk lokasi di tas ranselku. Aku memasukkan pulpen tracker itu ke tas toko baju berwarna bening dan meletakkannya di kursi di ruang fitting. Aku keluar dari toko baju dan dengan cepat menyelinap ke toko buku terdekat. Dari sudut mataku , aku bisa melihat kedua lelaki itu menghambur ke toko pakaian tempat aku meninggalkan pulpen tracker itu.
Di antara rak-rak yang penuh dengan buku, aku mencoba berpikir jernih. Aku harus menemukan tempat untuk bersembunyi sebelum mereka menemukanku. Napasku semakin cepat, tetapi aku tahu aku tidak boleh panik. Aku harus bertindak cepat dan cerdas.
Setelah memastikan mereka tidak melihatku, aku keluar dari toko buku dan mencari pintu keluar darurat. Langkahku semakin cepat saat aku menyadari bahwa mereka mungkin sudah berada di dekat pintu utama. Aku menemukan pintu darurat dan dengan hati-hati membukanya, berharap tidak mengeluarkan suara.
Aku keluar ke lorong belakang yang sepi. Di sinilah aku bisa berpikir jernih dan memutuskan langkah selanjutnya. Langit malam Jakarta terasa menekan, namun aku tahu aku harus terus bergerak. Setiap detik berharga, dan aku tidak bisa membuang waktu.
Aku menyelinap keluar dari mal melalui pintu belakang dan mulai mencari taksi lagi. Kali ini, tujuanku adalah hotel kecil terdekat di area ini, tempat di mana aku bisa bersembunyi untuk sementara waktu dan merencanakan langkah berikutnya.
Perjalananku masih panjang dan penuh bahaya, tetapi aku tahu aku harus terus bertahan. Setiap langkah yang aku ambil bertujuan supaya aku bisa membawa penelitianku ke dunia, agar semua orang di dunia bisa mendapatkan air bersih yang murah dan efisien. Meskipun bahaya nyata mengintai di setiap sudut, dan aku tidak tahu apa yang menunggu di depan, tetapi aku siap untuk menghadapi semuanya. Aku ingin Arya tidak mati sia-sia. Perjuanganku baru saja dimulai, dan aku tidak akan menyerah.