Senja mulai beranjak, menyisakan bayangan merah di langit yang mulai gelap. Jalan tol sangat sepi, hanya diselingi oleh deru kendaraan yang lewat sesekali. Di dalam sebuah mobil sedan berwarna hitam, Dr. Arya Santoso menggenggam tangan istrinya, Prof. Maya Santoso, dengan erat. Kedua ilmuwan ini bekerja di sebuah Laboratorium peneliti swasta terkemuka di Amerika . Mereka berdua sedang dalam perjalanan menuju bandara untuk terbang ke Bali sebagai pembicara di World Water Forum, di mana Maya akan memaparkan penemuannya yang revolusioner tentang teknologi pengolahan air yang mampu mengubah air laut menjadi air minum dengan efisiensi dan biaya rendah.
Maya merasakan kegelisahan suaminya melalui genggamannya yang erat.
"Apa yang kamu pikirkan, Arya?" tanyanya lembut, mencoba memberikan ketenangan pada suaminya tercinta.
Arya menoleh dan tersenyum tipis, namun matanya yang biasanya bersorot teduh, kini menunjukkan kekhawatiran.
"Aku hanya merasa ini terlalu besar, Maya. Terlalu banyak yang dipertaruhkan. Penemuanmu ini bisa mengubah dunia, tapi juga bisa membuat banyak orang yang berkuasa merasa terancam."
Maya mengangguk. Ia tahu risikonya, namun ia juga tahu manfaat yang bisa diberikan oleh penemuannya bagi umat manusia.
"Kita sudah sejauh ini, Arya. Ini adalah kesempatan kita untuk membuat perubahan besar. Aku yakin kita bisa melakukannya bersama. Aku percaya dengan adanya penemuan ini, tidak ada lagi ancaman kekeringan dan kekurangan air bersih untuk seluruh umat manusia. "
Arya tersenyum, meski raut wajahnya masih penuh kekhawatiran.
"Aku tahu tujuanmu mulia Maya, makanya aku selalu mendukungmu. Kita akan menghadapi ini bersama-sama apapun yang terjadi. Aku akan terus mendukungmu selamanya karena aku sangat mencintaimu. "
Mereka melanjutkan perjalanan dalam keheningan, suara mesin mobil menjadi latar belakang yang monoton. Tiba-tiba, Maya merasakan sesuatu yang aneh. Ia melihat ke kaca spion yang ada di samping mobil dan Maya melihat sebuah mobil SUV hitam terus mengikuti mereka sejak beberapa kilometer lalu. Naluri Maya mengatakan ada sesuatu yang tidak beres.
"Arya, kamu melihat SUV hitam itu? Mereka sudah mengikuti kita cukup lama."
Arya melihat lewat kaca spion , dan kekhawatirannya semakin bertambah. "Aku melihatnya, mereka sudah mengikuti kita dari putaran pertama saat kita masuk ke jalan tol ini. Aku akan mempercepat laju mobil."
Arya segera menekan pedal gas, dan mobil mereka melaju lebih cepat. Namun, SUV hitam itu tetap mengikuti dengan kecepatan yang sama. Maya merasakan detak jantungnya semakin cepat.
"Apa kita dalam bahaya, Arya?"
"Tetap tenang, Maya. Kita harus mencari tempat yang ramai untuk berhenti. Mereka tidak akan bertindak gegabah di tempat umum."
Namun, sebelum mereka sempat menemukan tempat yang aman, SUV hitam itu semakin mempercepat laju mobilnya dan mereka mendekat dengan cepat. Tiba-tiba terdengar suara tembakan memekakkan telinga, menyebabkan kaca belakang mobil mereka pecah. Maya berteriak histeris . Arya segera membanting setir untuk menghindari tembakan berikutnya. Mobil mereka melaju zigzag di jalan tol sepi itu, mencoba menghindari peluru yang terus ditembakkan.
Arya berusaha menjaga kendali, namun situasi semakin tak terkendali. Mobil mereka dipepet keluar dari jalan tol dan melaju memasuki jalan yang sangat sepi, membuat keadaan mereka berdua semakin rentan dan bahaya. SUV hitam itu mendekat dan menabrak sisi belakang mobil mereka, membuat mobil mereka hampir terguling.
"Kita harus keluar dari mobil, Maya! Cepat!" Arya berteriak panik.
Maya membuka pintu dan keluar dari mobil dengan cepat, diikuti oleh Arya. Mereka berlari ke arah semak belukar yang tinggi di pinggir jalan, berharap bisa berlari menghindari kejaran dari mobil-mobil SUV itu. Namun, SUV hitam itu ternyata juga ikut berhenti, dan beberapa pria bertopeng keluar dengan senjata di tangan mereka. Kedua lelaki itu lari mengejar Arya dan Maya dengan kecepatan yang meyakinkan,sepertinya mereka pembunuh bayaran yang sangat terlatih dengan tugas harus membunuh target sesuai pesanan dari atasan mereka.
"Arya, mereka mendekat!" Maya berbisik dengan suara gemetar.
Arya meraih tangan Maya dan menariknya lebih dalam menuju semak belukar tinggi, berusaha bersembunyi di antara semak-semak itu.
“ Dorr….” Suara tembakan terdengar lagi, kali ini dibarengi jeritan membahana Arya “ AUUUUU! ” Dia merasakan sakit yang luar biasa di punggungnya. Arya lalu terjatuh ke tanah, membuat Maya berhenti dan berbalik.
"Tidak, Arya! Bangun!" Maya mencoba mengangkat suaminya, tetapi tubuh Arya terlalu berat.
"Terus lari, Maya. Jangan berhenti. Kamu harus selamat," Arya berbisik dengan napas tersengal, darah keluar dari punggungnya.
"Tidak, aku tidak akan meninggalkanmu!" Maya meneteskan air mata, merasa putus asa.
Arya meraih wajah Maya dengan tangan yang gemetar. "Kamu harus melakukannya. Penemuanmu... dunia membutuhkan itu. Aku mencintaimu, Maya. Selalu! Kamu teruslah berlari. Tetap terbang kembali ke Indonesia, kamu lebih aman di sana, tapi jangan hadiri acara itu, pergilah ke Jakarta atau daerah lainnya, jangan terbang ke Bali seperti yang kita rencanakan. Kamu harus menghilang sejenak , semua orang akan mengincarmu, karena penemuanmu itu pasti membuat banyak perusahaan pengolahan air merasa terancam . Kamu tidak akan aman lagi tinggal di Amerika bahkan tidak di seluruh dunia. Jadi kamu harus kembali ke Indonesia dan bersembunyi sampai keadaan aman. Jangan percayai siapapun. Percaya pada dirimu sendiri. "
“ Tapi.. Tapi... Tapi , aku tidak mungkin sembunyi di Indonesia. Aku tidak memiliki siapa-siapa lagi di sana. Apa yang harus aku lakukan?” Maya bertanya penuh kekalutan dan ketakutan.
Tapi sebelum Arya menjawab, tembakan terdengar lagi. Suara derap langkah laki-laki bertopeng semakin mendekati. " Ingat Maya…..Kamu.. kamu.. harus kembali ke Indonesia. Dan jangan lagi kembali ke Amerika. Tukar identitasmu, jadilah orang yang baru. Kalau tidak, kamu pasti akan dibunuh.”
Suara derap langkah semakin mendekat “ Lari, Maya. Jangan pedulikan aku. Kamu harus selamat. Aku mencintaimu selamanya." Suara Aryapun lenyap.
"Tidak! Arya.. Tidak.. Jangan tinggalkan aku."
" Ayo Maya, berlarilah. Aku akan mengecoh mereka, aku akan menahan mereka supaya tidak mengejarmu. Kamu lari ke arah berlawanan denganku. Teruslah berlari dan jangan pernah berpaling apapun yang kamu dengar nanti." Kata Arya pada Maya , agar Maya bersedia meninggalkannya
Maya panik tapi dia menyadari, saat ini kepanikan tidak akan menolongnya. Kalau ingin tetap hidup dia harus bergerak, kalau dia tetap diam, kematian akan menyergapnya, penemuannya akan sia-sia.
Dengan berat hati, Maya berdiri dan melanjutkan pelariannya, meninggalkan Arya yang dengan susah payah bangkit untuk berlari mengecoh para pembunuh bayaran yang sepertinya semakin mendekat. Maya berlari ke arah yang berlawanan dengan Arya. tiba-tiba Terdengar suara tembakan terakhir, dan Maya tahu suaminya itu telah pergi meninggalkannya. Air mata membanjiri wajahnya, tapi Maya terus berlari, terdorong oleh kata-kata terakhir Arya dan keinginannya untuk melindungi penemuan mereka.
Maya terus berlari hingga kakinya terasa mati rasa. Ia tahu dirinya harus bersembunyi dan mencari perlindungan. Maya terus berlari dan berlari sampai ia melihat lampu menyala pada sebuah rumah kecil yang terletak di sudut padang ilalang ini. Dengan sisa tenaga yang ada, ia berjalan tertatih-tatih, tangannya gemetar ketika maya mengetuk pintu dengan lemah, dan seorang wanita tua membuka pintu, terkejut melihat kondisi Maya.
"Tolong, saya butuh bantuan," Maya memohon dengan suara hampir tak terdengar.
Wanita tua dengan rambut memutih itu segara membawanya masuk dan memberikan tempat untuk beristirahat. Maya menghela nafas lega merasa aman untuk sementara, namun ia tahu ini hanya permulaan dari pelarian panjangnya. Ia harus menyembunyikan dirinya dan penemuannya, hingga ia bisa menemukan cara untuk mengungkapkan semuanya ke dunia.
Di tempat lain, di markas perusahaan pengolahan air WaterFlow, sebuah perusahaan pengolahan air konvensional yang menguasai seluruh system pengolahan air di Amerika dan beberapa negara di Eropah , seorang eksekutif berdiri di depan jendela kantornya. Ia menerima laporan bahwa target telah berhasil di taklukkan tetapi istrinya berhasil melarikan diri. Dengan tatapan dingin, ia memberi perintah kepada bawahannya, "Temukan dia. Apapun caranya. Teknologi itu tidak boleh jatuh ke tangan siapapun!"