◦•●◉✿❁ 2006 ❁✿◉●•◦
⠀
✒️ ❝ Ternyata ketidakpedulian bisa menjadi bumerang.
Saat sifat tak acuh terhadap segala yang ada membuat mata hati ikut tertutup.
Lalu bagaimana memperbaikinya?
Semua keterlanjuran ini, apa bisa di undo (dibatalkan) lagi? ❞
⠀
{ Notes 18 - Wim — Dilemma (Dilema) } ✒️
⠀
⠀
Restoran Jala Nelayan tampak begitu ramai sore ini. Selain dibangun di lokasi yang strategis karena berada di sekitar pantai, sekarang juga masih dalam suasana liburan sekolah. Bukan hanya kalangan remaja, keluarga, ada juga orang kantoran yang sedang rapat dengan relasinya berkumpul di sana.
Para pemuda dan pemudi lebih memilih makan di teras balkon, karena selain bisa melihat pemandangan, juga dapat mendengar ombak dan merasakan desau angin laut yang menguar asin.
Selva, Wim dan teman-temannya juga memilih menikmati makanan di balkon. Bersenda gurau sambil melahap aneka hidangan, mulai dari hidangan pembuka (appetizer), makanan utama (main course) yang mewah dan jarang mereka sentuh. Sampai hidangan penutup (dessert) yang menjadikan mood booster naik ke level tertinggi. Sel-sel kebahagiaan menjerit bergembira. Perut kenyang hati senang!
Namun yang tampak paling kalem hanya Fathir. Karena kali ini ia sedang menerapkan istilah, sedikit bicara, banyak mengunyah!
Saking lahapnya, Ruli sampai meledeknya 'The Dangerous Chewer (Kang Kunyah Berbahaya)'.
Fathir membalas dengan menempelkan cakarnya yang belepotan puding cokelat ke wajah Ruli yang putih. Ruli mencak-mencak sambil balas menempeli saus ke muka Fathir. Fathir melesat terbang menghindar — secepat badan bongsornya bisa berkelit — sehingga jari Ruli tanpa sengaja terlanjur meluncur ke muka … Deki!
Timothius tergelak kencang menikmati kerusuhan yang terjadi. Wim juga. Ia sampai memegangi perutnya saking gelinya.
Tidak terima, Deki mengejar Ruli dengan kecap di tangannya. Ruli berlari sekencang mungkin mengelilingi meja pengunjung lainnya sambil berkali-kali bilang “Sorry, bro ... sorry ...!!!” dengan tawa yang tak kunjung bisa ia tahan.
Sementara itu Fathir sudah aman, duduk dengan akrab di samping bocah lelaki yang tengah sibuk menyuap ice cream. Sesekali memelototi ice di tangan anak itu dengan pandangan maut. Si anak jadi gregetan kemudian segera berlari ke tempat ibunya demi menyelamatkan ice cream-nya.
Timothius segera mengamankan Ruli dan Deki sebelum security terlalu emosi dan menendang mereka dari sana.
Tinggal Selva dan Wim yang duduk di meja itu. Saling berpandangan dan tersenyum dengan pikiran yang sama-sama mengambang.
Wim teringat lagi pembicaraannya dengan teman-temannya kemarin malam. Saat itu mereka sedang mendekor dan menata barang-barang Selva di kamar tidurnya.
⠀
◦•●◉✿❁ FLASHBACK ❁✿◉●•◦
⠀
"Fiu ... Fiu ...."
Wim berkacak pinggang sambil mengagumi foto-foto kolase Selva yang telah selesai ia tempel di dinding. Itu semua adalah potret Selva waktu di pantai beberapa hari yang lalu. Dilatarbelakangi oleh semburat senja dengan lengkungan pelangi. Entah yang cantik ini pemandangannya atau justru objeknya. Atau mungkin keduanya. Wim mendesah kagum dengan mata berbinar.
"Cantik banget," ucapnya tanpa sadar.
"Pastinya cantik." Fathir ikut berdiri di sebelahnya, menghadap kolase. "Kalau nggak, nggak mungkin jadi artis."
Hah? Artis?
"Siapa yang artis?" tanya Wim bingung.
Teman-temannya mengerutkan kening pada Wim. Lalu saling pandang satu sama lain.
"Wim? Mata loe masih ada beleknya ya? Cuci muka, gih!" ucap Timothius pedas.
"Ih ..., gue serius nanya. Siapa yang artis?"
"Ya Selva dong, dodol!" Deki habis kesabaran lalu mencekik leher Wim. Membuatnya tersedak. "Kalau nggak ngapain gue hampir pingsan pas loe ngenalin dia ke gue ...?!"
Wim termangu. Masih mencoba mencerna kenyataan ini. Kenapa ia bisa tidak tahu, ya? Apa secuek itu ia pada dunia entertainment?
"Masa sih loe nggak nyadar-nyadar Wim. Loe lihat rumahnya, lihat barang-barangnya. Bunga-bunga, boneka-boneka, hampir semuanya dikirim dengan nama yang berbeda-beda," jelas Ruli gemas. "Blom lagi, closet room. Mana ada orang biasa yang punya koleksi baju, sepatu, tas, semua pernak pernik yang nggak ngerti gue namanya sebanyak itu .... Udah kayak butik gitu!"
Wim menggaruk kepalanya. Dulu waktu Selva memberinya kartu nama, ia hanya fokus membaca nomor ponsel dan alamat Selva saja. Ia sendiri sudah lupa kemana menaruh kartu nama Selva.
"Jadi ..., dia artis apa, ya? Sinetron, kah? Gue nggak nonton sinetron soalnya." Wim cengengesan.
"Artis horror dia. Judulnya Kuntilanak Undercover," jawab Timothius asal.
"Wow .... Serius loe? Ada DVD nya?" tanya Wim dengan mata berbinar sebelum Timothius menyentil jidat nya dengan sadis.
Teman-temannya hanya bisa menggelengkan kepala sambil mengusap-usap d**a dengan tabah.
"Bentar!"
Deki beranjak sambil mengobok-obok ranselnya. Mengeluarkan majalah Amora edisi terbaru.
"Loe liat majalah ini? Ini majalah Amora. Tempat loe nyari duit."
Wim berdecak. "Gue tahu, gue juga liat tulisannya Amora."
"Tulisan??? Loe cuma lihat tulisan ...?" Deki menggeplak kepala Wim dengan majalah Amora. "Lihat lagi baek-baek!" Ia menyorongkan majalah itu lagi ke muka Wim. "Model covernya dulu yang dilihat dodol ..., langsung buka daftar isi aja!" Deki langsung jadi bengek menghadapi Wim.
"Oh, iya. Ini Selva ya?"
Deki langsung lemas. Ruli dan yang lainnya tertawa cekakakan melihat mereka berdua.
"Gue kirain karena loe maen bareng sama Selva, makanya loe kenal sama dia ...," ucap Deki lagi.
"Hah? Maen bareng maksudnya?"
"Maen film, gobloook ...!" Deki mulai putus asa. "Kan loe yang cerita bakal maen film nya si Dai. Bunuh gue Tim!"
"Oke!" jawab Timothius cepat seraya menyambar martil di meja.
Deki melotot. "Njir! Punya dendam apa loe sama gue?! Taro! Itu cuma kiasan geblek!"
Timothius tergelak kencang. Fathir sudah memukul-mukul lantai dengan wajah memerah karena tertawa. Mereka semua memang paling senang membuat Deki emosi.
"Nih baca!" Deki membolak balik majalah Amora dengan tidak sabar. "Wawancara eksklusif bersama Roselva Walen."
⠀
✒️ Kali ini reporter majalah Amora tengah menyambangi artis remaja terpopuler se-Indonesia. Siapa yang tidak mengenal Roselva Walen. Selebriti multitalenta yang tengah naik daun, bukan hanya sebagai model, bintang iklan, bintang drama, Rosel juga memiliki beragam prestasi di sekolahnya. Apalagi yang kurang?
Selama liburan sekolah, Rosel justru lebih banyak melakukan pemotretan majalah termasuk majalah dari negara tetangga. Beberapa tawaran film juga muncul dari dalam dan luar negeri.
Makin wow aja ya ....
Ngomong-ngomong soal film, kabarnya ada film yang segera digarap dan bakal dibintangi oleh Rosel. Film ini diproduksi oleh Mars Entertainment. Ini bukan pertama kalinya Rosel bekerjasama dengan rumah produksi terkenal ini.
Namun, apa yang berbeda dari film yang dibintangi Rosel kali ini?
"Ini film pertama yang paling menantang menurut saya. Biasanya saya selalu dalam zone aman memerankan image gadis imut atau kisah romantis-komedi. Tapi, di sini saya berubah total dan dipercaya memerankan tokoh remaja yang agak nakal dan ingin mencoba segala hal.
Teman-teman mungkin sudah tahu, tema film ini tentang lesbian. Namun yang ditekankan dalam film ini bukanlah pada hal yang vulgar atau berbau seks, karena itu jelas tidak akan ditampilkan dengan gamblang. Ada banyak hal yang bisa dipetik dari film ini. Tapi saya belum bisa ngomong banyak. Takutnya spoiler. Malah nggak ada yang penasaran nantinya. Nonton film nya aja, ya," ungkap Rosel seraya memberi senyum misterius pada Amora. ✒️
⠀
Wim tidak membaca lanjutan artikel majalah itu lagi. Pikirannya terasa di awang-awang.
Roselva Walen, Wim membatin. Ia teringat lagi dengan penjelasan Daimon tempo hari.
⠀
'Nama cewek itu, Roselva Walen," ucap Daimon. "Cantik, multitalent, cerdas, dan ... masih jomblo," Daimon menaik turunkan alisnya. "Loe nggak lihat langsung sih, idola cowok banget pokoknya, kalo nggak pasti loe naksir!'
⠀
Sial!
Bagaimana bisa ia beradu akting dengan Selva? Wim mengusap wajahnya dengan kesal.
"Wim," Fathir menyentuh pundaknya. "Gue serius nanya. Loe suka nggak sama Selva?"
Wim terperangah shock. Bagaimana mungkin ia menyukai Selva, sementara Selva juga perempuan. Tapi Selva memang cantik pikirnya seketika terbayang senyuman gadis itu. Sial! Ada apa dengannya?!
"Ya jelas nggak mungkin," jawabnya sedikit terbata.
Fathir mengangkat sebelah alisnya. "Gue saranin, loe harus segera kasih tahu Selva identitas loe yang sebenernya. Jangan sampai dia benci sama loe dan nganggap loe nggak jujur."
"Kalau loe nggak bisa, yea ... jauhi dia. Sama kayak loe menghindar dari cewek-cewek lain selama ini," timpal Timothius.
Ruli ikut menatap Wim tajam. "Sejujurnya, kita bisa lihat, kalau ... Selva ada rasa sama loe. Dia suka sama loe Wim. Cara dia memperhatikan loe aja sudah menjelaskan semuanya."
.
.
.
◦•●◉✿❁♥❁✿◉●•◦