◦•●◉✿❁ 2006 ❁✿◉●•◦
⠀
✒️ ❝ Terkadang tamu yang tak diundang,
anehnya bisa saja menjadi penentu keputusan.
Makanya, jangan pernah membuat kesepakatan kontrak dengan iblis,
jika tidak ada rincian mau dibawa ke mana.
Siapa tahu dia mencoba menyeretmu ke neraka! ❞
⠀
{ Notes 2 - Wim — Deal with Demon (Berurusan dengan Setan) } ✒️
⠀
⠀
Daimon menghempaskan tubuhnya dengan lunglai di sofa kamar seorang remaja. Mata zamrudnya menatap hampa pada ruangan dengan warna monokrom hitam dan kelabu. Ia menghela napas berat. Melirik tubuh atletis remaja tadi. Adiknya.
Remaja itu tengah sibuk mengutak-atik kamera digital. Ia memutar tubuhnya. Dengan pandangan penuh tanda tanya — melihat kepenatan yang tertera jelas di paras kakaknya — remaja itu menaruh kamera tadi dengan hati-hati ke dalam ransel. Lalu beranjak memindahkan handycam yang berada persis di belakang pinggul kakaknya ke atas meja belajar – sebelum ada 'sesuatu' yang membuat ringsek benda kesayangannya itu.
Meja itu sangat berantakan. Dipenuhi kertas-kertas desain, buku sketsa, rol-rol film yang belum sempat di cuci-cetak dan komputer serta gelas kosong yang tadinya berisi kopi. Lalu tak usah disebutkan, teman begadang lainnya, minuman bersoda, tumpukan cokelat dan makanan ringan berbagai merek. Ia bahkan tidak peduli berapa bungkus chiki yang telah dihabiskan dan sampahnya bertebaran ke mana-mana. Bahkan tadinya di wadah kopi itu juga banyak terdapat puntung rokok.
Namun syukurlah telah dibereskan sebelum kakaknya sempat memergoki.
Kalau sempat elang bondol itu tahu, maka matilah aku, batin remaja itu sedikit lega karena telah sempat menyingkirkan bukti-bukti kenakalannya.
⠀
"Kenapa loe? Sumpek amat kayaknya," sapanya mencibir. Ini orang bawa masalah mulu tiap datang ke sini.
Daimon merebahkan tubuhnya di sandaran sofa sambil memijit-mijit sekat antara kedua alisnya. Kelihatan lelah dan stres. Kacamatanya numplek di sisi kiri. Sebentar lagi juga remuk, nggak sengaja kehimpit seperti kejadian dua hari yang lalu.
"Audisi sudah sebulan lebih, rekomendasi sudah bejibun, tapi nggak ada satu peserta pun yang cocok meranin tokoh itu," keluhnya to the point.
"Emang kriteria 'tokoh' itu kudu kayak apa? Perfect (Sempurna) banget, ya?"
"Of course (Tentu saja)! Ini lebih parah daripada mencari pemeran utama cowok!" erangnya nyaris frustasi.
Si adik cuma tersenyum kalem. "Coba ceritain? Siapa tahu bisa bikin lega, atau gue kasih saran," hiburnya turut prihatin – meski tidak seresah Daimon. Sebentar lagi ia juga lupa. Itu 'kan derita loe! Hehe ....
Daimon menghempaskan napas keras. Memajukan tubuhnya ke dapan.
"Dari sekian ribu peserta audisi termasuk yang direkomendasikan, nggak ada satu pun yang bisa bikin produser berminat dengan karakter mereka. Gue nggak tahu harus gimana lagi, sementara problem ini harus segera clear (beres) hari ini juga!"
Daimon menjambak rambutnya. Wajahnya memerah.
"Loe tahu 'kan, gimana galaknya produser beken itu?!" ujarnya menggebu-gebu, menepuk-nepuk sandaran sofa dengan gemas – seakan sedang menghajar seseorang. "Gue harus ngasih alasan apa nanti kalau ketemu sama produser ...?!"
Sang adik mendengus. Mana gue tahu.
"Barusan yang gue tanya itu kriteria tokoh sama plot-nya."
"Oh iya, sorry, emosi." Daimon menggaruk-garuk kepala, membuat remaja itu nyengir.
Daimon kembali menatap paras adiknya tajam. Kali ini lebih kalem.
"Ceritanya tentang cewek yang punya kelainan, yeah ... nggak bisa dibilang kelainan juga, sih, soalnya itu bukan penyakit. Bener nggak, sih?” tanyanya ragu dengan mimik lucu.
Wim mengangkat sudut bibirnya. Menampilkan ekspresi, ‘Heh? Ngomong apa sih, loe?’
“Oke, lanjut,” Daimon mengibaskan tangannya. “Cewek itu hanya berbeda style dan selera dengan cewek-cewek pada umumnya. Point-nya dalam hal orientasi s*x yang nggak sepaket sama gendernya," ucapnya mengangkat jari telunjuk dan jari tengahnya membuat tanda kutip pada kata 'orientasi' dan 'gender'.
Adiknya mendengus. "Bilang aja butchy, susah amat orientasi s*x nggak sesuai paket bawahannya." Akhirnya remaja itu tidak kuat terkekeh. Membuat kakaknya mau tidak mau ikut-ikutan cengengesan.
"Okay, next," si kakak kembali serius. "Salah satu pemeran utama sudah oke baik sama produser maupun artis yang bersangkutan." Daimon makin bersemangat. "Dia artis yang lagi naik daun saat ini. Bintangnya layar lebar, wara-wiri iklan sana sini, cover semua majalah ibu kota, cuma belum cukup umur buat majalah dewasa!" Daimon terkekeh girang. "Sayang betul!"
Remaja itu membuat ekspresi poker face (muka datar) pada kakaknya. Mengembalikan pria bermata zambrud itu dari ketidak-sadarannya.
"Loe pasti tahu 'kan, Wim? Loe 'kan jurnalis majalah," tebaknya dengan mata melebar.
Namun, remaja yang dipanggil Wim tadi cuma menggeleng, mengangkat bahu dengan tak acuh. Tak peduli.
"Serius loe nggak tahu, Wim? Loe hidup di mana sih?"
"Gue separo hidup selama ini!" ujarnya ketus. Si kakak cemberut. "Lagian gue nggak doyan update infotainment selebritis. Kayak lagi ngorek-ngorek borok orang. Buat apaan? Dihujat? Dibuli? Dikomentarin? Nggak ada kerjaan lain?"
"Yeah ... itu 'kan tergantung pola pikir orang juga. Tapi, kadang buat artis-artis, khususnya seleb baru, itu bisa jadi ajang promo biar makin beken, loh. Digosipin berarti namanya disebut-sebut. Orang jadi penasaran siapa dia, makin tenar, deh!" tukas Daimon praktis sambil menjentikkan jari.
"Terserah loe, deh," tandasnya.
Wim mengalihkan pandangan ke pintu tembus kamarnya ke beranda samping. Lalu beranjak membuka pintu itu. Membiarkan udara segar merampas kepengapan kamar.
Dia 'ngap' setiap kali Daimon kesini.
"Nama cewek itu, Roselva Walen," lanjut Daimon. "Cantik, sexy, multitalent, cerdas, dan yang paling penting ... masih jomblo." Daimon menaik turunkan alisnya. "Loe nggak lihat langsung sih, idola cowok banget pokoknya, kalo nggak pasti loe naksir!" ceritanya penuh semangat dengan tawa berderai.
Wim mendehem keras dengan alis bertaut, membuat tawa Daimon surut seketika.
"Ups! Sorry," ujarnya meringis. Terkadang ia lupa siapa adiknya. "Nah, sekarang yang jadi masalah utama, cewek yang jadi pasangannya sampai detik ini belum ditemukan. Ada yang tampangnya keren kalau jadi cowok, body tinggi atletis, suara laki, gaya maskulin, tapi pas didandani jadi cewek, menjelma jadi bencong! Harusnya dia ada dipertengahan ganteng dan cantik!"
Menjelma jadi bencong? Loe kate siluman? Wim terkekeh dalam hati.
Matanya menatap langit-langit kamar, mengkhayal. Mencoba membayangkan. Gambaran macam apa ini yang muncul di kepalanya? Pria kekar ber-make-up menor dengan tank-top dan mini-skirt? Lengkap dengan bulu d**a dan bulu kaki yang keriting.
Lalu pipinya menggembung. Kemudian tertawa terbahak-bahak memegangi perut sampai air matanya berguguran. Suaranya yang rada-rada berat membahana di ruangan itu.
"Ke mana loe mau nyari, emang ada orang yang tipenya gitu? Pertengahan ganteng sama cantik, manusia macam apa itu? Siluman belut ...?!" akhirnya ia menyuarakan isi hatinya. Kembali cekikikan.
"Dasar kampret! Kasih solusi kek! Malah matahin ... habis semangat gue!" umpat Daimon kesal, memelototi adik semata wayang nya yang degil.
Namun, sesaat kemudian ia tersadar sambil menepuk jidatnya. Daimon tersenyum girang.
Melihat wajah kakaknya yang berubah secara drastis dan cara Daimon menyipit bak elang mengintai mangsanya, membuat Wim bergidik. Apalagi yang dipikirkan blackguard (b******n) nomor wahid ini? Ia menelan tawanya. Merasa tengkuknya merinding.
"Loe jadi vokalis sekaligus gitaris Blaze-Star, 'kan?" tanyanya mengutip grup band yang dibentuk Wim dua tahun lalu. "Trus, loe juga hobi motret," lanjutnya seraya mengumbar pandangan pada dinding kamar Wim yang dipenuhi beragam potret. Alam, hewan, manusia dalam beraneka peristiwa dan ekspresi.
Namun Wim masih meraba-raba ke mana arah pembicaraan ini. Ia ikut melongo mengikuti arah pandang kakaknya.
Daimon kembali menghujam mata tajamnya pada Wim.
Pandangan maut.
"Loe suka olahraga, kebut-kebutan ...," lanjut Daimon dengan suara selembut angin sepoi-sepoi, seberbahaya angin p****g beliung.
Apa yang direncanakannya?
Sepertinya inilah akhir hayatku, batin Wim miris.
Daimon menepuk tangannya perlahan, seakan mengenyahkan debu. Lalu tersenyum misterius.
"Loe mau, 'kan, nemenin gue malam ini ketemu produser?"
"Buat apa?" Wim mendelik curiga.
"Cuma nemenin aja, sekalian makan-makan. Loe rada kurusan sekarang."
Makan-makan?
Berarti ia nggak perlu nyari makanan lagi buat ntar malam. Penghematan! Wim tersenyum kecil.
"Jam berapa?"
"Jam 7 malam kita berangkat, jam 8 sudah ada di Azure Restaurant. Deal?" Daimon makin antusias.
"Okay," Wim setuju. "Tapi gue harus motret dulu buat artikel majalah."
"No problem. Just enjoy your time (Nggak masalah. Nikmati aja waktu loe)." Daimon mengangguk, tersenyum manis. Matanya berkilat licik.
.
.
.
◦•●◉✿❁♥❁✿◉●•◦