◦•●◉✿❁ 2006 ❁✿◉●•◦
⠀
✒️ ❝ Kamu tidak bisa mengenal seseorang dalam waktu sehari.
Tapi bisa untuk menyukainya dalam sedetik.
Dan jangan berharap mampu melupakannya dalam satu dekade. ❞
⠀
{ Notes 7 - Roselva Walen — Invited him (Mengundangnya) } ✒️
⠀
⠀
"WIM ...!!!"
⠀
Selva terperanjat ketika seseorang tiba-tiba saja menghentak, kemudian menarik tubuh pasangan dansanya. Menyeret mereka ke ujung lantai dansa.
Wim?
Jadi namanya Wim, pikir Selva. Ia berjanji akan merekam nama itu sampai mati. Idih! Norak banget!
⠀
"Nggak gitu juga kali Wim ...! Sejak kapan loe jadi monster cipokan gini, hah ...?!"
Wim mengibaskan tangannya dari cekalan pria berambut spike yang sepertinya personel Blazes Star juga.
"Loe mabok, Nyet?!" cowok itu mengendus Wim lagi.
Selva menganga. Wim mabok? Berarti dari tadi dia dansa sama orang mabuk? Tapi Wim nggak ada sempoyongan sama sekali.
Wim melirik Selva sekilas, sebelum menjawab. "Gua nggak mabok. Cuma minum dikit, doang. Apa sih, loe!" desisnya pelan.
"Loe nggak mabok, tapi loe nyosor dancer gitu, loe nyadar nggak sih itu siapa?"
Kening Wim mengernyit. Ia memang tidak meperhatikan siapa dancer yang tadi ia cium.
"Siapa emang?" tanya Wim pelan.
Selva melongo.
Bisa-bisanya Wim berciuman dengan seseorang tanpa tahu itu siapa?
Selva melirik meja teman-temannya. Ia ragu untuk beranjak ke sana, karena tangannya masih digenggam oleh Wim.
"Loe nggak tahu, loe nggak peratiin atau gimana?!" temannya Wim tampak emosi, apalagi ekspresi Wim benar-benar terlihat bingung. Membuat temannya meradang. "Itu ceweknya Arnold, g****k ...! Loe tahu 'kan, tuh cewek udah lama suka sama loe Wim!"
Wim mengusap mukanya kasar. "Sial!" rutuknya. "Arnold nya mana sekarang?"
"Pulang. Diputusin sama Lita," ucap teman Wim menantang.
"Anjirrr ...," Wim mengacak rambutnya dengan muka memerah.
Anehnya malah makin cakep di mata Selva. Ya ampuun ....
"Besok gue temuin Arnold, deh. Gue jelasin sama dia," Wim tampak gelisah. "Gue antar dia dulu, ya." Wim mengedikkan kepalanya ke arah Selva.
Temannya beralih menatap Selva. Terkekeh pelan, lalu memiting leher Wim gemas.
"Dasar player kampret! Bisa-bisanya banyak cewek cantik yang doyan sama loe! Pengen gue buka aja kedok loe biar mereka ngibrit satu-satu!"
"Anjir, lepas Rodeo b*****t!" Wim mengibas lengan berotot temannya dari lehernya. "Jealous (ngiri), ya ...? Emang loe nya aja nggak laku!" ucapnya menggosok-gosok tengkuknya.
Mereka terdiam, saling berpandangan. Mendengus, lalu tiba-tiba saja terbahak-bahak. Tinggal Selva yang kebingungan. Tadinya ia begitu ketakutan karena berpikir mereka berdua akan berkelahi di sana. Sekarang malah ketawa nggak jelas gini? Apa semua cowok memang se-absurd ini?
"Loe ikut gue abis ngater dia, ya," ucap cowok bernama Rodeo. "Itu Jimmy protes, loe ngancurin pintu toilet katanya. Kelihatan di CCTV tuh!"
Wim mendengus. Apa secepat itu ketahuan? Hmm ..., Jimmy memang mantap kalau soal untung rugi, kekehnya dalam hati.
Selva langsung shock. Ia menggenggam jemari Wim lebih kuat.
"Maaf, itu karena aku. Aku yang salah. Aku terkurung di toilet. Wim cuma nolong ...."
"Dia tetap aja harus tanggung jawab nona cantik ...," ujar Rodeo tersenyum ramah pada Selva, lalu mendelik jutek pada Wim. "Yang suruh dobrak pintu siapa? Kenapa nggak lapor Jimmy, dodol!"
"Gua nggak mikir sampai sono, Yo," Wim malah terkekeh. "Habis, dia nangis di dalam toilet. Loe nggak lihat aja maskaranya yang beleb ... aarrgggg ...!!!"
Selva mencubit pinggang Wim gemas. Membuatnya meringis meng-aduh-aduh. Kenapa sih cowok itu? Harus, gitu, nyeritain soal maskara segala! Itu 'kan, aib!
Rodeo mendengus. "Gue tunggu di sana, bareng Jimmy sama anak-anak yang lain tuh," ujarnya sabil menunjuk meja paling pojok.
"Oke. Eh, bentar," Wim menajamkan matanya. "Nggak, nggak, gue nggak bakalan ke situ. Loe nggak lihat apa di sana banyak gurita!"
Gurita? Selva ikut melirik meja yang ditunjuk Rodeo. Rasanya normal-normal saja. Gurita apanya? Menu makanan, kah?
"Ogah gue! Bilangin sama Jimmy, kirim aja bon-nya ntar gue ganti. Gue males ke situ."
"Halah, cemen loe! Tadi nyosor! Dikasih yang agresif, malah keok!" Rodeo mengucek-ucek muka Wim kesal. Lalu beranjak meninggalkan Wim dan Selva. Masih mengomel.
Wim cengengesan.
"Teman aku," ucapnya, "emang rada gesrek."
Iya, kamu juga, balas Selva dalam hati.
Mereka kembali ke meja tempat Selva duduk tadi. Senyum dan ekspresi para sahabatnya tampak seragam. Pertanda buruk, pikir Selva. Di semprot, nih.
⠀
"Romantis banget ...."
Tuh, 'kan, Yadine mulai! Selva merengut.
Belum sempat mereka bertanya lagi pada Wim dan Selva, serombongan cewek tiba-tiba mendekat, kemudian ikut-ikutan duduk di sisi Wim. Salah seorang diantara mereka berusaha mengecup pipi Wim, tapi untungnya Wim mengelak tepat pada waktunya. Membuat si cewek cemberut dan mencubit Wim gemas.
"Hey ... Wim. Aku cari kemana-mana. Kamu tinggal di mana sekarang?" ujar cewek tadi sok akrab. Dari wajah dan logat bicaranya sepertinya ia keturunan blasteran.
Selva dan teman-temannya saling berpandangan. Nggak sopan banget, gabung di meja orang nggak minta izin.
"Di rumah," Wim menjawab ketus.
"Iiih ... aku tahu kali di rumah ...," ucapnya terkikik manja. "Kamu lucu, dech ...."
Sok cantik, batin Selva.
"Emangnya ada apa?" tanya Wim singkat. Kelihatan sekali seperti tidak ingin didekati cewek pengganggu itu.
"Gini," ia menggenggam jemari Wim. "I need your help. I want you to makeover my bedroom again. Please (Aku butuh bantuanmu. Aku ingin kau merombak kamarku lagi. Tolong) ...," pinta si ganjen tadi manja. Ia mengenakan tank-top dengan mini skirt dan sepertinya sengaja mengangkatnya lebih tinggi saat duduk di samping Wim. Mungkin maksudnya supaya dilirik Wim, dengus Selva dalam hati. Norak!
Wim menggaruk-garuk kepala. "Gimana, ya. Kamar kamu 'kan baru diatur sebulan yang lalu. Kamu nggak suka sama dekorasi yang aku buat?"
Cewek itu gelagapan. "Bukan ... bukan gitu. Bukan kamarku, tapi kamar kakakku."
"Tadi kamu bilang kamar kamu. Dan kayaknya aku nggak pernah tahu tuh, sejak kapan kamu punya kakak," balas Wim.
"Ah ... masa sih aku bilang begitu. Maksudnya, kamar kamu yang dulu udah ada orang yang nempatin. Kakak sepupu aku, gitu," ujarnya tampak lebih gugup lagi.
Wim menatapnya tajam. Mendengus.
"Sasha, kayaknya aku nggak bisa deh," tegas Wim.
"Why (Kenapa)?" tanya cewek itu lagi kelihatan kecewa dan marah.
"Karena aku ada kerjaan. Sorry, ya. Aku lagi ngobrol sama mereka," ujar Wim menunjuk Selva dan kawan-kawan dengan dagu.
Pengusiran secara halus! Bagus! Selva besorak dalam hati.
"Kamu nggak gabung sama kita aja Wim? Itu Jimmy, Rodeo sama yang lain lagi di meja kita," tunjuknya ke arah personel Blazes Star di meja pojok. "Aku juga lagi ngerayain ulang tahun, di sana!" Cewek bernama Sasha itu tampak merajuk.
Muka tebel, batin Selva.
"Kamu ulang tahun?" Mata Wim membulat. "Okay. Happy birthday," lanjutnya acuh.
"Just like that (Cuma itu doang)?" Ia menatap Wim tak percaya.
Wim melengos.
Cewek itu menghentakkan kaki sambil menyipit keki kepada Selva dan teman-temannya yang masih terpana. Kemudian beranjak dari sana diikuti dayang-dayangnya. Mereka kembali bergabung dengan cowok-cowok Blazes Star yang lain.
Nabel bersiul puas.
"Tega banget loe, ya. Cewek cantik gitu di cuekin. Nggak rugi, tuh," komentar Nabel sepeninggal rombongan cewek genit tadi. Tapi dari senyumnya kelihatan suka dengan perlakuan sinis Wim pada mereka.
"Yeah. Nggak ada untungnya 'kan, ngeladenin mereka," katanya lagi. "Cewek-cewek tangan gurita itu!" tambah Wim.
Mereka mendengus serempak. Lalu tertawa ngakak.
"Emang loe diapain sama mereka?!" tanya Nabel penasaran di sela-sela tawanya. "Dikitik-kitik?"
Wim memutar bola matanya konyol sebagai jawaban.
Selva tersenyum kecil melihat gelagat Wim, kemudian ingat lagi dengan komentar Wim tadi, 'cewek-cewek tangan gurita!' ulang Selva dalam hati. Jadi maksudnya gurita itu ternyata cewek-cewek ini.
Selva mendengus.
Eh!
Seketika matanya membulat. Merasa mendapatkan ide brilian. Kayaknya dia harus berterima kasih sama si ganjen tangan gurita tadi!
"Hm ... tadi cewek itu bilang, minta diubah dekorasi kamarnya sama kamu. Kamu kerja di desain interior?" tanya Selva semangat.
"Sebenarnya nggak sih. Itu hanya sekedar hobby. Aku sendiri ngambil jurusan fashion desainer. Masih amatir. Tapi paling nggak, aku udah bisalah merancang banyak fashion syle saat ini."
"Punya model?"
"Nggak tetap."
"Apa kamu sering membuat gaun untuknya?"
"Maksud kamu cewek yang tadi?"
Selva mengangguk malu. Ia merasa pertanyaannya agak bernada menginterogasi atau bisa saja terdengar seperti cewek yang cemburu melihat pacarnya akrab dengan wanita lain.
"Aku hanya mendekor kamarnya. Itu pun baru sekali," katanya. "Memangnya kamu mau mendekor kamar juga?"
Bagus! Pas banget!
"Iya. Besok aku pindah dari apartemenku ke rumah lain."
"Kamu tinggal sendiri?"
"Iya."
"Masa sih. Masih SMA, 'kan?" tanyanya heran. Apartemen? Hebat betul.
"Iya, sih. Tapi aku nggak tinggal sama orang tuaku. Papaku tinggal di Australia. Bareng kangguru," ujar Selva sengaja membubuhkan nama kangguru, supaya modusnya nggak ketahuan betul.
Wim tertawa. "Well. Kapan aku bisa kerja?"
Apa?
Secepat itu? Wim menerima tawarannya tanpa berpikir?
Ingin rasanya Selva menjerit kencang dan menari-nari di sana, tapi ia nggak mau kelihatan norak. Hanya matanya yang berbinar-binarlah yang memberitahukan betapa Selva bahagia.
"Kalau bisa sih, besok," ucap Selva berusaha tetep kalem.
"Oke. Apartemen kamu di mana?"
Selva memeriksa tasnya lalu menyerahkan kartu nama ke tangan Wim. Di sana sudah ada alamat, nomor telepon dan handphone-nya. Selva menunggu.
Mungkin dia kenal siapa aku setelah melihat nama panjangku, batin Selva. Atau paling nggak dia ikut-ikutan ngasih kartu namanya. Tapi ternyata Wim hanya mengangguk-angguk. Kelihatan nggak peduli banget saat mengantongi kartu nama Selva. Selva langsung cengo.
"Sorry, aku nggak bawa ini," ia menunjuk kartu dalam kantongnya. Tapi, ntar aku hubungi lagi, jam berapa aku datang ke apartemen kamu. Trus kita bisa pergi sama-sama ngeliat rumah kamu yang baru. Gimana?"
"Oke," jawab Selva pasrah. Kayaknya dia nggak kenal sama aku, dech. Reaksinya datar-datar saja.
Tapi, masa sih dia nggak tau aku. Aku udah wara wiri di mana-mana juga! batin Selva tak terima.
"Aku pulang duluan, ya," katanya seraya mengangguk dan tersenyum ke arah teman-teman Selva. "Kalian juga, cepet pulang! Anak SMA sebenernya nggak boleh di sini, loh! Nggak mau aku laporin, 'kan," tambahnya seraya beranjak dari sana.
Selva dan kawan-kawan berjengit.
"Tukang ngatur-ngatur," Nabel mengomel, meleletkan lidahnya ke punggung Wim yang menjauh.
.
.
.
◦•●◉✿❁♥❁✿◉●•◦